Tuesday, December 18, 2012

Holding Company, Permasalahan dan Penghindaran Pajak di Indonesia

Harian Kontan, 13 Desember 2012, halaman 23 (Opini)



Holding Company atau perusahaan induk biasa dipakai perusahaan multinasional dalam berinvestasi untuk memegang saham anak perusahaan. Bagi investor, baik asing atau asal Indonesia, holding company dapat digunakan untuk berinvestasi di Indonesia. Selain karena alasan bisnis, penghindaran pajak dapat dilakukan dengan memilih holding company di lokasi yang tepat, di Indonesia atau negara lain. Bank Indonesia belum ini bahkan merencanakan kewajiban holding company di Indonesia untuk bank asing. Lantas, permasalahan dan penghindaran pajak apa yang dapat terjadi serta dimanakah lokasi holding company yang paling menguntungkan dalam hal pajak?


Tax Treaty dan Holding Company
Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat mempermudah dan mendorong investasi asing di Indonesia dengan menghilangkan perpajakan berganda (double taxation) dan membagi hak pemajakan untuk jenis penghasilan tertentu antara dua negara. Namun Tax Treaty juga memberi kesempatan bagi investor untuk menggunakan holding company di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia dan memperoleh keuntungan pajak.

Data BKPM beberapa kali menunjukkan bahwa investor terbesar di Indonesia berasal dari Singapura, Belanda hingga British Virgin Islands. Negara tersebut sebagai offshore financial center biasa menjadi lokasi holding company. Hong Kong bahkan akan menjadi lokasi menarik bagi holding company untuk Indonesia karena Tax Treaty Indonesia dan Hong Kong telah diratifikasi.

Double Non Taxation
Holding company di negara mitra P3B dapat digunakan untuk memiliki saham perusahaan di Indonesia dan menurut Tax Treaty, pajak penghasilan atas penjualan saham berupa capital gain atas pengalihan saham dapat tidak terutang di Indonesia dan terutang di negara mitra P3B. Namun beberapa negara mitra P3B, yang menjadi lokasi holding company, tidak mengenakan pajak atas penghasilan capital gain dari penjualan saham sehingga capital gain tersebut sama sekali tidak dikenakan pajak (double non taxation). Hal ini dapat dilakukan perusahan multinasional dengan beberapa lapisan holding company.

Permasalahan double non taxation ini menjadi sorotan di India pada kasus Vodafone dimana atas penjualan saham perusahaan India, pemegang saham dengan menggunakan holding company di Mauritius berusaha mendapatkan keuntungan dari Tax Treaty yang berujung pada double non taxation. Berdasarkan Tax Treaty India dan Mauritius, hak pemajakan atas capital gain dari penjualan saham tersebut berada di Mauritius sedangkan Mauritius tidak mengenakan pajak atas capital gain. Holding company di Mauritius sendiri merupakan holding company lapisan kedua dibawah holding company lapisan pertama yang berada di negara lain.

Otoritas pajak India berusaha mengenakan pajak atas capital gain tersebut dan beralasan bahwa India mempunyai hak pemajakan atas penjualan saham tersebut. Kasus Vodafone berujung pada sengketa pajak yang akhirnya dimenangkan oleh wajib pajak namun menyadarkan pemerintah India akan permasalahan double non taxation dan berusaha memperkuat peraturan atas penghindaran pajak (anti avoidance rule). Struktur serupa kasus Vodafone tentunya juga dapat terjadi di Indonesia.

Keuntungan tambahan dari holding company adalah adanya participation exemption di negara mitra P3B sehingga dividen yang diterima holding company hanya dikenakan di Indonesia sesuai Tax Treaty dan tidak lagi dikenakan di negara mitra P3B, lokasi holding company.

Holding company dalam perusahaan multinasional juga dapat berfungsi sebagai shared service center yang memberikan intra-group services seperti jasa manajemen, treasury atau jasa pendukung lainnya. Berdasarkan Tax Treaty, dengan syarat tertentu, Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan jasa tersebut karena negara mitra P3B mempunyai hak pemajakan atas penghasilan jasa tersebut. Kenyataannya, negara mitra P3B yang menjadi lokasi holding company dapat memberikan pembebasan pajak atas penghasilan dari jasa tersebut sehingga penghasilan dari jasa tersebut tidak dikenakan pajak dimanapun (double non taxation).

Anti Avoidance Rule di Indonesia
Indonesia sudah memiliki peraturan untuk mengatasi penghindaran pajak seperti terdapat dalam pasal 18 UU PPh. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 61 dan 62 Tahun 2009 untuk memperketat pemberian keuntungan Tax Treaty kepada pihak yang berhak mendapatkannya (beneficial owner) namun tidak mengatur rinci atas persyaratan seperti dalam hal penghasilan yang dikenakan pajak di negara mitra P3B dengan tarif 0%, jumlah pegawai serta outsourced management dari holding company.

Beberapa negara memasukkan klausa tentang anti avoidance rule dalam Tax Treaty untuk mencegah penyalahgunaan Tax Treaty. Hal ini dapat diterapkan oleh Indonesia terutama dalam renegosiasi Tax Treaty.

Meskipun pemerintah memasukkan ketentuan tentang tax haven dalam hal SPV sebagai holding company untuk memperoleh saham perusahaan di Indonesia seperti dijelaskan dalam Pasal 18(3c) UU PPh dan PMK No. 258/PMK.03/2008 namun sampai sekarang tidak ada kejelasan definisi tax haven.

Holding Company di Indonesia Berbeda dengan negara lain seperti Singapura, Hong Kong atau Belanda, holding company di Indonesia, tetap dikenakan pajak atas pengalihan saham. PPh atas deviden tidak dikenakan atas holding company jika memiliki saham lebih dari 25 persen namun terdapat permasalahan lain dalam hal merger dan akuisisi selain PPh penjualan saham yaitu PPN atas pengalihan asset dan BPHTB.

Kesimpulan
Akan lebih menguntungkan untuk mendirikan holding company di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia karena keuntungan pajak dari pembebasan pajak hingga double non-taxation. Pemerintah perlu membuat peraturan anti avoidance rule yang lebih kuat dalam perpajakan internasional namun perlu juga membuat peraturan yang lebih baik bagi holding company di Indonesia.


Catatan :
Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum diedit redaksi harian kontan. Hasil edit redaksi menghilangkan beberapa bagian dari tulisan asli yang juga dapat dilihat di epaper kontan.

Thursday, October 18, 2012

Perpajakan di Indonesia dan masalah Money Laundry serta korupsi

Benarkah Perpajakan dapat membantu pemecahan masalah pencucian uang (Money Laundry) dan pemberantasan korupsi? Masyarakat justru seringkali menghakimi bahwa kantor pajak merupakan sumber korupsi dan tidak berperan banyak dalam pemberantasan korupsi apalagi setelah kasus Gayus mencuat dan beberapa petugas pajak ditangkap dengan tuduhan korupsi dan pencucian uang seperti terlihat dalam kasus Bahasyim.  Artikel ini membahas kemungkinan peraturan dan informasi perpajakan dalam mendukung penyelesaian masalah pencucian uang dan korupsi tersebut.

Informasi perpajakan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedangkan informasi transaksi keuangan yang dapat menunjukkan adanya kasus pencucian uang berada di tangan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).

DJP telah membuat kerjasama yang memungkinkan DJP mendapatkan data PPATK tanpa melalui izin dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dan pidana perpajakan. Namun sejauh mana informasi perpajakan dapat digunakan untuk mencegah atau bahkan memberi sanksi atas tindak pidana tersebut?

Informasi Perpajakan
Pemerintah, dalam hal ini DJP, berdasarkan pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) berhak meminta informasi perpajakan mengenai penghasilan dan kekayaan wajib pajak , baik orang pribadi maupun perusahaan, pada instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain sebagai pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan bahkan pihak yang tidak menyediakan data tersebut dapat dikenakan sanksi pidana menurut pasal 41C UU KUP.
Pasal 35A dibuat melengkapi pasal 35 UU KUP yang memungkinkan pemerintah meminta data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan.

Lewat pasal 35A seharusnya penghasilan dan kekayaan wajib pajak yang disembunyikan dapat segera diketahui secara proaktif sebelum melalui pemeriksaan pajak. DJP dapat menggunakan pasal 35A untuk meminta data kepada kementerian lain untuk menguji kebenaran pelaporan pajak perusahaan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang merupakan amanat dari Pasal 35A tersebut. Dengan PP 31 tersebut, DJP dapat menggunakan pasal 3 dari PP tersebut untuk memperoleh informasi perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga pemerintah dan asosiasi sehingga kementerian negara, kamar dagang dan industry hingga perbankan nasional dapat memberikan informasi perpajakan.

Contoh pentingnya penerapan Pasal 35A dapat dilihat dalam rencana pemburuan pemilik mobil mewah untuk menguji kepatuhan pembayaran pajak.

Penggelapan pajak
Tindakan secara sengaja tidak melaporkan penghasilan kena pajak dengan benar merupakan penggelapan pajak dan dan dapat diganjar dengan sanksi perpajakan berupa sanksi pidana penjara maksimal selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP.)

Penggelapan pajak dapat dilakukan oleh orang pribadi serta perusahaan sehingga tuduhan penyelewengan pajak perusahaan dapat dibuktikan dan bagi orang pribadi, informasi pajak juga dapat digunakan untuk menguji kebenaran tuduhan money laundry hingga korupsi.

Money Laundry
Di luar negeri, pelaku tindak pidana, termasuk pelaku kejahatan pajak, berusaha untuk mencegah agar kejahatan merereka tidak diketahui oleh penegak hukum dan otoritas pajak. Jika seseorang ditangkap atau dikenakan pajak atas hasil kejahatannya maka ia akan berusaha agar hasil kejahatan tidak terlacak asal-usulnya. Demikian juga jika ia mau menggunakan uang hasil kejahatannya, akan terdapat dilema tentang bagaimana menggunakan sejumlah besar uang tanpa menarik perhatian otoritas pajak. Permasalahan inilah yang mendasari OECD di tahun 2009 menerbitkan laporan “Money Laundering Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors” yang dapat diterapkan di Indonesia.

Karena itulah peraturan pajak dapat mendukung UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan mengetahui kekayaan hasil kejahatan yang disembunyikan dimana kekayaan dari hasil tindak pidana money laundry di Indonesia merupakan penghasilan kena pajak.

Contoh terkenal dari sanksi pajak dan money laundry adalah kasus Al Capone di Amerika Serikat yang dijerat dengan sanksi pidana dari UU Pajak atas penghasilan yang tidak dilaporkan meskipun penegak hukum tidak berhasil menemukan bukti pelanggaran hukum.

Harta dan hasil korupsi
Korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri sehingga menambah kekayaan dari penyelenggara negara sesuai pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terlepas dari sanksi pidana UU Tipikor, UU Pajak sesungguhnya mengatur sanksi atas tindak pidana korupsi.

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan (PPh) semua wajib pajak, termasuk pejabat negara, wajib melaporkan seluruh penghasilan, sesuai pasal 4 UU PPh. Penghasilan yang didapat secara tidak legal seperti korupsi juga harus dilaporkan dan dikenakan PPh. Namun dapat diperkirakan bahwa pelaku korupsi akan tidak melaporkan penghasilan dari korupsi dalam SPT Tahunan PPh OP.

Penghasilan kena pajak yang dengan sengaja tidak dilaporkan merupakan penggelapan pajak. Bahkan dalam kasus Gayus yang dianggap kasus korupsi, ada wacana untuk mengenakan sanksi pidana penggelapan pajak dimana penulis berpendapat seharusnya sanksi tersebut diterapkan pada seluruh kasus korupsi, tanpa terkecuali.

Terhadap wajib pajak orang pribadi (WP OP) sesungguhnya telah diterapkan pemeriksaan pajak yang menganggap adanya penghasilan kena pajak yang tidak atau kurang dilaporkan apabila WP OP memiliki barang mewah atau memiliki gaya hidup yang berada diatas gaya hidup normal sesuai penghasilan yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Pengadilan Pajak bahkan memiliki yurisprudensi atas WP OP  yang dikenakan sanksi pajak karena adanya penghasilan dan harta yang belum dilaporkan tersebut. Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan pada semua WP OP termasuk pada pejabat negara.

Tax Information Exchange Agreement
Penghasilan dan harta wajib pajak dapat disembunyikan di luar negeri dengan menggunakan offshore bank dan kepemilikan aset.

Pemerintah Indonesia bahkan telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) yakni perjanjian perpajakan yang dibuat berbagai negara untuk melakukan pertukaran informasi perpajakan dengan negara lokasi pusat keuangan dimana offshore bank banyak berada. TIEA dapat digunakan sebagai dasar untuk membuka rekening bank tempat wajib pajak menyembunyikan penghasilan. Selain dengan TIEA yang telah dibuat dengan Guernsey, Isle of Man dan Bermuda, pemerintah masih dapat menggunakan menggunakan ketentuan pertukaran informasi pajak pada Tax Treaty untuk menghindari penggelapan pajak.

Kesimpulan
DJP mempunyai kemampuan melacak harta dan penghasilan hasil korupsi dan money laundry yang belum dilaporkan. Peraturan pajak serta informasi perpajakan yang diterapkan dengan benar dapat mencegah, mempersulit dan mengatasi tindak pidana korupsi serta money laundry yang digolongkan penggelapan pajak karena sanksi perpajakan berupa sanksi pidana hingga pajak yang harus dibayar.



Thursday, August 30, 2012

Multiply.com, kepindahan kantor pusat dan pajak internasional

Multiply.com belum lama ini membuat berita dengan memindahkan kantor pusatnya dari Amerika Serikat ke Indonesia dan belakangan berencana menutup layanan social network termasuk blogging yang menggemparkan blogger multiply.

Lantas apa akibat perpajakan dari kepindahan ini?
Berdasarkan data dari website-nya dipastikan bahwa perusahaan memiliki kantor pusat di Indonesia dan dipimpin oleh CEO Stefan Magdalinski yang berkedudukan di Jakarta.

Tanpa melihat kepastian hukum apakah perusahaan ini masih berbadan hukum Amerika, kita dapat melihat akibat perpajakan atas kepindahan kantore pusat perusahaan ini ke Indonesia. Kewajiban perpajakan multiply.com, khususnya pajak penghasilan akan berada sepenuhnya di Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak dapat menggunakan Peraturan DJP No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 untuk menetapkan multiply.com sebagai subjek pajak dalam negeri di Indonesia dan memiliki hak pemajakan atas seluruh penghasilan multiply.com  dengan menggunakan pasal 15 dari PER-43 tersebut yang menjelaskan
(1) Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah Subjek Pajak badan yang:
a.mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana tercantum dalam akta pendirian badan,
b.mempunyai kantor pusat di Indonesia,

c.mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/atau pusat keuangan di Indonesia,
d.mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang melakukan pengendalian,
e.pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat keputusan strategis, atau
f.pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.

Jika perusahaan masih berbadan hukum Amerika, karena sebelumnya berkantor pusat di Florida, maka berdasarkan Tax Treaty Indonesia dan Amerika, pasal 4(1) dijelaskan bahwa :

In this Convention, the term "resident of a Contracting State" means any person who under the laws of that State is liable to tax therein by reason of his domicile, residence, place of incorporation, place of management or any other criterion of a similar nature.

Selanjutnya menurut pasal 4(4) dari Tax Treaty tersebut dijelaskan

Where by reason of the provisions of paragraph 1 a company is a resident of both Contracting States, when it shall be deemed to be a resident of the State in which it is organized or incorporated.


Melihat pasal 4(1) dan 4(4) dapat dikatakan bahwa jika multiply.com berbadan hukum Amerika maka Amerika Serikat, khususnya IRS dapat berpendapat bahwa multiply.com meski memiliki kantor pusat dan place of management di Indonesia namun akan tetap dianggap sebagai residen di AS dan menganggap bahwa multiply.com mempunyai permanent establishment (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia dan memberi kredit pajak atas penghasilan yang diterima di Indonesia.

Lain ceritanya jika multiply.com tidak berbadan hukum di Amerika Serikat atau negara lain yang tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia  maka DJP dapat menggunakan PER-43 serta pasal 2 UU PPh yang mengatakan bahwa subjek pajak dalam negeri dapat didasarkan atas badan yang bertempat kedudukan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Contoh lain, dalam skala yang jauh lebih besar adalah kepindahan kantor pusat Royal Dutch Shell dari London, Inggris ke Den Haag, Belanda  dengan tetap berbadan hukum Inggris

Dalam beberapa kasus, perpindahan kewajiban perpajakan dilakukan perusahaan multinasional untuk mendapatkan keuntungan pajak dengan memindahkan lokasi kantor pusat ke negara yang memberikan keuntungan pajak, tax incentives atau tarif pajak yang lebih rendah namun untuk kasus multiply.com yang terjadi adalah untuk mendekati pasar utama mereka di Indonesia dan Filipina.

Penulis juga mendapatkan paper ilimiah tentang Headquarter Relocation and International Taxation yang membahas kepindahan kantor pusat perusahaan multinasional dan permasalahan pajak yang ada

Perlu dicatat juga terlepas permasalahan diatas, multiply.com sebagai bentuk usaha tetap mempunyai kewajiban perpajakan atas PPN juga yang terkadang dilewatkan dalam perencanaan pajak di Indonesia

Thursday, July 19, 2012

PTKP yang naik, sudah tepatkah?

Membaca keterangan PTKP naik sebagaimana keterangan sebagai berikut di surat kabar :
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, pemerintah sudah berkonsultasi dengan DPR mengenai rencana menaikkan besaran PTKP menjadi Rp 24 juta per tahun. Menurutnya, saat ini pemerintah sedang menyelesaikan prosedur administrasinya.

 
Seperti diketahui, sesuai Pasal 7 ayat 3 UU No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan, penyesuaian besaran PTKP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), setelah dikonsultasikan dengan DPR.

Penulis jadi bertanya-tanya apakah kenaikan PTKP tersebut sudah tepat dan permasalahannya apakah PTKP telah memenuhi asas keadilan. Bagaimana perbandingannya dengan pajak penghasilan orang pribadi di negara tetangga? Tidak perlu studi banding ke luar negeri karena situs otoritas pajak memberikan penjelasan seperti ini :

-Malaysia
Berdasarkan laman Inland Revenue Board, dijelaskan adanya tax relief, yang pada dasarnya sama dengan PTKP, sebanyak 22 jenis untuk pelbagai hal dari pelepasan pajak untuk diri sendiri dan tanggungan, anak cacat, pengobatan orang tua, biaya pendidikan (yang sekarang makin mahal), tunjangan cerai, bunga pembayaran rumah hingga premi asuransi kesehatan.

-Singapura
Negara tetangga ini, menurut laman Inland Revenue Authority, memberi lebih sedikit dalam hal personal relief untuk income tax namun intinya personal relief, seperti PTKP diberikan mulai dari pembebasan pajak atas diri sendiri dan tanggungan, tunjangan atas tanggungan (anak, pasangan hidup) yang cacat, asuransi hingga pembantu asing.
Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan terdahulu yang menjelaskan PPh dan masalah keadilan serta gugatan atas PTKP di Mahkamah Konstitusi.

Penulis sendiri berharap dalam perubahan UU Pajak di masa mendatang, tunjangan pribadi ini akan dimasukkan tidak hanya semata-mata PTKP

Monday, July 9, 2012

Belajar Pajak Internasional dan perkembangan terbaru dari blog

Kalau tulisan sebelumnya membahas tentang webcast yang sepertinya merupakan kuliah atau pelatihan tanpa bayar, masih ada beberapa blog yang layak untuk dikunjungi, dibaca dan bahkan dipelajari untuk memahami perkembangan terbaru dari pajak internasional

-Tax Justice Network
Blog ini dibuat dan diperbaharui oleh LSM Pajak Tax Justice Network (TJN) yang banyak menyoroti offshore financial center, tax avoidance, tax evasion hingga tax haven. Salah satu contohnya adalah saran untuk penggunaan country-by –country reporting untuk menghindari penghindaran pajak di perusahaan multinasional. Salah satu kelebihan dari blog ini terutama adalah postingan yang hampir tiap hari dibuat oleh staf TJN.

-Tax Research UK
Ditulis oleh Richard Murphy yang terkait dengan Tax Justice Network, blog ini tidak semata membahas pajak tapi juga permasalahan ekonomi, keuangan atau investasi yang terkait dengan pajak. Ada banyak tulisan menarik tentang perpajakan internasional dan kritik tentang international tax planning dari perusahaan internasional dengan fokus terutama di Inggris.

-Financial Task Force Blog
Didirikan oleh lembaga think-tank di AS yang bertujuan mendukung transparansi system keuangan. Meski blog ini tidak semata-mata berisi pajak namun tulisannya banyak menyangkut pajak.

-International Tax Law Blog
Blog yang baru muncul ini cukup menarik dengan kasus perpajakan yang menarik seperti kasus Permanent Establishment di Spanyol dan India atau sorotan kasus indirect transfer of shares di India.

-Tax Prof Blog
Ditulis oleh profesor hokum pajak di Amerika Serikat yang tentunya membahas perpajakan di Amerika Serikat yang tetap dapat berguna jika ingin melihat perpajakan internasional menurut AS.

==
Diluar daftar diatas, dahulu sempat ada Asian Tax Blog yang sudah almarhum meski banyak memuat artikel menarik dan link pajak yang juga menarik.

Mungkin tulisan ini dapat diperbaharui jika ada blog lainnya yang dapat direkomendasi selanjutnya.

Monday, June 11, 2012

Belajar masalah Pajak Internasional secara cuma-cuma (lagi)

Menyambung cerita sebelumnya tentang belajar pajak internasional termasuk transfer pricing yang gratis, ternyata ada beberapa webcast cuma-cuma tentang permasalahan pajak internasional terbaru.

Terlepas dari Big Four yang umumnya secara berkala menerbitkan laporan menarik tentang permasahalan pajak satu negara seperti disini tentang pajak atas migas dan pertambangan  di Indonesia yang bagi sebagian orang dapat dikatakan sebagai bahan marketing perusahaan namun laporan tersebut tetaplah menarik.

Ada juga satu webcast yang membahas perpajakan internasional dan memungkinkan kita mengikuti seminar atau pelatihan tanpa bayar. Webcast yang menarik ini membahas beberapa topik menarik dari Tax Risk Management, Holding Company, Anti Avoidance Rule, Merger and Acquisition hingga Tax Treaty. Silahkan daftar dan belajar disini.

Dengan google kita juga dapat menemukan daftar webcast cuma-cuma dari berbagai institusi seperti disini. Tergantung keperluan kita, webcast dapat dipilih untuk belajar pajak secara cuma-cuma :-) dan mandiri dari internet.

Catatan : Tulisan ini bukanlah satu endorsement atau iklan hanya satu bahasan atas webcast yang ada. Tulisan ini juga dibuat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masuk tentang belajar pajak gratis di Internet.

Wednesday, May 30, 2012

Sejarah Pajak di Indonesia – UU Pajak

Secara singkat Undang-Undang Perpajakan di Indonesia baru memperoleh bentuknya sejak tahun 1984 karena sebelumnya masih memakai UU masa Belanda.

Contohnya :
-Pasal 34, UU No 7 tentang PPh Tahun 1983 menyatakan :
“Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.”

Serta
-Pembukaan UU No 6 tentang Ketentuan Umum Perpajakan Tahun 1983 mendasarkan pada
“Regeling van het Beroep in Belastingszaken (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1748)”

Mungkin ada yang bertanya apa manfaat dari belajar sejarah UU Pajak? Ada, diantaranya perpajakan dari perusahaan minyak dan gas bumi juga pertambangan masih mendasarkan pada UU Pajak yang lama seperti Pajak Perseroan seperti dinyatakan Pasal 33 dari UU No 7 tentang PPh Tahun 1983.

Jadi meskipun ada ketentuan daluarsa pajak, UU Pajak lama tetap dapat berlaku pada lex specialis seperti perusahaan migas dan tambang yang berdasarkan Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.

Perlu dicatat adalah perubahan UU Pajak yang hanya mencantumkan perubahan dan tidak mencantumkan keseluruhan pasal. Sebagai contoh UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan tahun 1983 yang diubah dengan UU Tahun 1994 kemudian 2000 dan terakhir tahun 2007.

Timor Leste dan UU Pajak Indonesia
Kalau dulu Indonesia menggunakan UU Pajak warisan Belanda, ternyata Timor Leste menggunakan UU Pajak warisan Indonesia terutama untuk Pajak Pertambahan Nilai. Untuk Pajak Penghasilan, Timor Leste mulai menggunakan UU mereka sendiri Taxes and Duties Act 2008.

Untuk UU PPN yang mereka pakai adalah UU PPN dan segala peraturannya hingga tahun 1999 yang merupakan masa referendum negeri baru tersebut. Jadi akan membingungkan kalau mereka menghitung PPN karena harus melihat peraturan Indonesia lebih dari satu dekade lewat.

Sejarah memang tidak boleh dilupakan, namun bagi pajak, sejarah berarti peraturan pajak di masa lalu.  Penulis sendiri memperhatikan sejarah pajak dengan menggunakan pencari peraturan pajak sesuai masa berlakunya peraturan tersebut. Sehingga untuk permasalahan pajak lewat, maka UU dan peraturan yang berlaku adalah peraturan pada saat itu. Untunglah sekarang sejarah pajak bisa dicari dengan mesin pencari cuma-cuma seperti yang pernah ditulis sebelumnya.

Friday, April 27, 2012

Sejarah Pajak di Indonesia (Bagian I) - Pajak dan Cukai

Pajak? Bagaimana sejarah permulaan pajak berasal? Serta darimana kata pajak berasal?
Kata pajak dikabarkan berasal dari bahasa Jawa yang akhirnya diserap oleh pemerintah menjadi bahasa nasional.
Buktinya? Kalau kita pergi ke Sumatera Utara, pajak bisa berarti pasar jadi pasar Inpres akan disebut sebagai pajak Inpres demikian juga dengan pajak ikan.

Dalam alkitab bahasa Indonesia, dalam kisah Markus, diceritakan seorang pemungut cukai dan bukan seorang pemungut pajak. Hal ini yang membedakan Indonesia dan Malaysia sehingga di Malaysia, pajak disebut secara resmi sebagai cukai.

Sebagai tambahan, cukup menarik melihat sejarah ini waktu penulis berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta tentang timbangan pajak. Dijelaskan disana bahwa dulu, kabarnya, pembayaran pajak menggunakan timbangan ini dan bahkan Sultan menggunakan dirinya sebagai pembanding

Rasanya akan menarik mengetahui cara pembayaran pajak di jaman dulu kala, apakah menggunakan timbangan atau takaran tertentu di kerajaan nusantara

Cerita selanjutnya akan menyusul

Tuesday, April 3, 2012

Pelaporan penghasilan WNI di Luar Negeri

Lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang pelaporan SPT PPh OP, sekarang yang jadi pertanyaan adalah pelaporan penghasilan WNI di Luar Negeri , apakah penghasilan tersebut dilaporkan di Indonesia atau penghasilan tersebut dilaporkan di negara tempat WNI tersebut itu tinggal?

Sebagai contoh :
Bapak A, seorang WNI yang tinggal di Singapura mempunyai beberapa properti di Indonesia yang ia sewakan, namun ia sekarang bekerja di Singapura dan mempunyai penghasilan dari dividen atas perusahaan Indonesia dan Malaysia.
Bagaimana ia seharusnya melaporkan penghasilan tersebut?

Subjek Pajak Luar Negeri vs Subjek Pajak Dalam Negeri
Jika seorang WNI merupakan subjek pajak luar negeri sesuai pasal 2(4) UU PPh karena bertempat tinggal di luar negeri selama lebih dari 183 hari dalam masa 12 bulan (setahun) maka seharusnya penghasilan yang ia terima hanya dilaporkan di negara tempat ia bertempat tinggal . Menariknya, Singapura menganut territorial tax base sehingga penghasilan dari luar Singapura pada dasarnya tidak dikenakan pajak di Singapura. Berbeda dengan Indonesia yang menganut worldwide tax base sehingga seluruh penghasilan baik dari dalam dan luar negeri dilaporkan di Indonesia.

Pelaporan SPT
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tampaknya Bapak A akan tetap dapat wajib melaporkan SPT di Singapura dan Indonesia. Namun tentunya perlu pengujian lebih lanjut untuk peraturan di Singapura yang jelas berbeda dengan Indonesia.

Permasalahan lain
Dapat saja terjadi seseorang dianggap sebagai residen di dua negara, missal Indonesia dan Singapura. Masalah lain yang bisa terjadi apabila seseorang tidak bertempat tinggal lebih dari 183 hari di satu negara pun. Permasalahan ini dapat dicari jalan keluarnya terutama jika terdapat tax treaty antara kedua negara.

Permasalahan seperti Bapak A semakin sering terjadi terutama karena semakin banyaknya WNI yang menjadi PR di negara lain sehingga mereka dapat saja memperoleh penghasilan di kedua negara dan dapat secara sah tinggal di kedua negara.

Contoh di negara lain
IRS (Internal Revenue Service) dari Amerika Serikat mempunyai ketentuan tersendiri tentang pelaporan pajak dari warga negara AS yang tinggal di negara lain dan warga non AS yang mempunyai green card sehingga semakin sukar tampaknya untuk lari dari kewajiban pajak bagi warga AS.

Thursday, March 8, 2012

Pelaporan SPT PPh OP untuk WNI di luar negeri

Semakin banyak WP OP yang karena semakin banyak yang memiliki NPWP dan harus menyampaikan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh OP selambat-lambatnya akhir Maret

Saya sendiri melihat beberapa pilihan penyampaian SPT selain penyampaian secara langsung di KPP atau drop box yakni :

a. Penyampaian lewat pos dari luar negeri
Berdasarkan Pasal 6 (2) UU KUP dijelaskan bahwa
"Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan."

Dari ayat ini dapat kita artikan bahwa pos tidak harus pos Indonesia dan pos luar negeri juga bisa dan seharusnya tidak hanya pos namun berupa jasa kurir untuk surat dari luar negeri asalkan tercatat

b. Penyampain SPT lewat electronic filling (eFIN)
Kelebihannya adalah penyampaian secara elektronik, dengan mendaftar terlebih dulu di laman DJP dan kemudian data akan dikirim ke rumah, yang jadi masalah adalah bila seluruh keluarga WP berada di luar negeri, siapa yang akan menerima?
Mungkin akan lebih bijak jika kita mendaftar terlebih dulu sebelum pergi atau tinggal di luar negeri. Perlu dicatat juga bahwa eFIN hanya terbatas pada SPT 1770 S dan 1770 SS

Seperti bisa dilihat di laman ini tentang eFIN, ada beberapa hal tentang eFIN yang dapat kita pelajari

Apa pilihan kita, yang terpenting adalah mengisi SPT Tahunan PPh OP dengan benar termasuk dalam pelaporan harta kekayaan yang bagi sebagian orang atau pejabat pemerintah merupakan hal sangat penting karena berhubungan dengan pelaporan kekayaan kepada pemerintah

Pembuatan Status Wajib Pajak Non Efektif 
Ada pilihan lain jika kita tinggal di luar negeri yakni dengan mengajukan permohonan sebagai Wajib Pajak Non Efektif (WP NE) sehingga kita dapat terhindar dari sanksi pajak karena tidak menjalankan kewajiban perpajakan. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 89/PJ/2009 tanggal 14 September 2009 yang menjelaskan sebagai berikut:

- Wajib Pajak Non Efektif yang selanjutnya disebut dengan WP NE adalah Wajib Pajak yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang nantinya dapat diaktifkan kembali (Butir ke-1)

-Wajib Pajak dinyatakan sebagai WP NE apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 
......
Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. (Butir ke-2)

- WP NE dapat berubah status menjadi Wajib Pajak efektif apabila:
.............
mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali.(Butir ke-3

-Pengusulan WP NE dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksud pada angka 2 huruf a, huruf b, huruf c atau huruf d diusulkan secara jabatan oleh Account Representative; atau
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g mengajukan permohonan sebagai WP NE ke KPP, dengan melampirkan:
.......
4) fotokopi passpor dan kontrak kerja atau dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g.

-Adanya penegasan bahwa WP NE tidak diawasi pembayaran dan pelaporan SPT 
"Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan label “NE” tetap tercantum dalam Master File Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;
tidak turut diawasi pembayaran masa/bulanannya dan tidak diterbitkan STP atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT;"

Tentunya meskipun dimungkinkan menjadi WP NE berdasarkan SE-89 tersebut namun jika satu saat Wajib Pajak kembali ke Indonesia dan menerima penghasilan, kewajiban perpajakan harus dijalankan kembali



Monday, February 13, 2012

Akhir Tahun 2011 dan Perpajakan Internasional - Penagihan Pajak di Luar Negeri berdasarkan Tax Treaty (Bagian III)

Lanjutan bagian sebelumnya

Dalam PER-42/PJ/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak Berdasarkan Tax Treaty, dijelaskan bahwa Dirjen Pajak dapat menggunakan Tax Treaty (P3B) untuk menagih hutang pajak atas Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Luar Negeri.
Sebaliknya negara Mitra dari Tax Treaty juga dapat meminta Indonesia untuk melakukan penagihan pajak untuk Wajib Pajak mereka.

Dalam lampiran dari PER 42 tersebut turut menjelaskan prosedur serta data-data apa saja yang diperlukan untuk menjalankan prosedur penagihan berdasarkan Tax Treaty.

Penagihan Pajak berdasarkan Tax Treaty
Penagihan Pajak berdasarkan Tax Treaty menurut sejarahnya dikatakan berawal dari adanya imigran Belanda yang bermigrasi menjadi warga Kanada namun mempunyai hutang pajak di Belanda dan tidak membayar hutang pajak tersebut. Dalam perkembangannya, pasal 27 dari OECD Model memuat tentang “Assistance in the collection of taxes” namun baru tahun 2011 pasal tersebut dimasukkan dalam revisi UN Model tahun 2006.

Dalam sebagian besar Tax Treaty di Indonesia, tidak terdapat pasal tersebut, mungkin karena banyaknya treaty yang mengacu pada UN Model dan bukan OECD Model dan belum diperbaharui. Sebagai contoh, dalam Tax Treaty Indonesia-Belgia termuat pasal 26 mengenai “Assistance in Collection”. Sayangnya tidak ada pasal demikian dalam Tax Treaty dengan Singapura, Malaysia atau Australia dimana banyak warga Indonesia yang tinggal di negara tersebut.

Kegunaan Pasal tersebut
Salah satu kegunaannya adalah terhadap WNI yang mempunyai hutang pajak besar tetap dapat dilakukan penagihan pajak di Luar Negeri dan Indonesia tetap mempunyai dasar yang kuat. Hal ini bahkan dapat menjadi satu dasar perpajakan yang menarik dalam hal kasus korupsi, money laundry dan penggelapan pajak lainnya.

Penulis sendiri berpendapat bahwa untuk memperoleh pasal ini dalam Tax Treaty semestinya pemerintah melakukan renegosiasi atau revisi atas Tax Treaty yang ada.

Friday, February 3, 2012

Akhir Tahun 2011 dan Perpajakan Internasional - Pemeriksaan di Luar Negeri berdasarkan Tax Treaty (Bagian II)

Seperti telah dijelaskan di bagian pertama, pada akhir tahun 2011, Dirjen Pajak menerbitkan peraturan perpajakan internasional secara bersamaan tanggal 28 Desember 2011 tentang:
-Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri
-Pemeriksaan Pajak berdasarkan Pertukaran Informasi dalam Tax Treaty
-Pelaksanaan Penagihan Pajak Berdasarkan Tax Treaty

Pemeriksaan Pajak di Luar Negeri
Peraturan yang diterbitkan adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-41/PJ/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan dalam rangka Pertukaran Informasi berdasarkan Tax Treaty yang melibatkan negara mitra.

Salah satu dasar pemeriksaan di luar negeri adalah adanya pertukaran informasi yang memungkinkan negara penandatangan tax treaty mempertukarkan informasi yang dapat dilihat, sebagai contoh, dalam pasal 26 dari OECD Model tentang Exchange of Information. Dalam pasal 26(5) dari OECD Model bahkan dikatakan bahwa informasi yang dicakup dalam pasal tersebut juga mencakup :
-data yang dimiliki perbankan atau lembaga keuangan
-data kepemilikan

Namun ketentuan tentang pertukaran informasi dalam Tax Treaty berbeda dengan UN Model yang tidak menyebut secara jelas tentang informasi dari perbankan,lembaga keuangan atau data kepemilikan.
Dalam praktek, tidak akan mudah melaksanakan pemeriksaan pajak di luar negeri karena suatu negara mungkin akan membatasi informasi yang dipertukarkan karena kerahasiaan perbankan contohnya seperti Singapura yang Tax Treaty dengan Indonesia tidak mengatur kerahasiaan perbankan seperti tampak disini

Bagaimanapun juga dalam lampiran PER-41 tersebut dijelaskan adanya persyaratan informasi yang harus dilengkapi untuk melaksanakan pemeriksaan , seperti :
nama Wajib Pajak Luar Negeri, Tax Identification Number (TIN), dan alamat Wajib Pajak Luar Negeri termasuk email atau alamat internet bila diketahui, nomor registrasi perusahaan bila diketahui, hubungan Wajib Pajak luar negeri tersebut dengan Wajib Pajak yang sedang diperiksa atau disidik, bagan atau diagram organisasi bila diketahui, atau dokumen lain yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat;

Salah satu contoh kemungkinan penerapan peraturan ini adalah apabila seorang Wajib Pajak Indonesia yang tinggal di luar negeri di negara mitra Tax Treaty namun belakangan diketahui bahwa ada permasalahan pajak dengan perusahaan lama tempat ia dulu bekerja dan memiliki saham.

Melihat sejarah pertukaran informasi dalam prakteknya, sepertinya akan perlu waktu lama untuk melakukan pertukaran informasi apalagi untuk pemeriksaan di negara mitra.

(lanjut ke bagian 3)

Tuesday, January 31, 2012

Akhir Tahun 2011 dan Perpajakan Internasional - Subjek Pajak Luar Negeri (Bagian I)

Di akhir tahun 2011, Dirjen Pajak menerbitkan beberapa peraturan pajak, secara bersamaan tanggal 28 Desember 2011, yang mengatur tentang perpajakan internasional :
-Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri
-Pemeriksaan Pajak berdasarkan Pertukaran Informasi dalam Tax Treaty
-Pelaksanaan Penagihan Pajak Berdasarkan Tax Treaty


(Bagian I)
Subjek Pajak Luar Negeri
Peraturan DJP No: PER-43/PJ/2011 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri berguna untuk menjelaskan penentuan seseorang atau perusahaan sebagai subjek pajak dalam negeri dan luar negeri sehingga dapat diketahui, berdasarkan penjelasan PER-43 ini, negara mana yang memiliki hak untuk mengenakan pajak (taxing right) atas wajib pajak tersebut. Dalam pasal 7 hingga pasal 13 dari PER-43 diatur cara penentuan subjek pajak untuk wajib pajak orang pribadi. Bagi wajib pajak badan, pasal 14 hingga pasal 16 mengatur secara lebih lanjut.

Contoh penerapan PER-43 adalah sebagai berikut :
a. Ekspatriat asing yang tinggal di Indonesia
Berdasarkan peraturan ini, ekspat WNA akan mulai menjadi wajib pajak di Indonesia dimana seluruh penghasilan di seluruh dunia dari ekspat tersebut akan dikenakan pajak di Indonesia yang dapat diterapkan sejak saat ia menerima kartu ijin tinggal atau mulai tinggal di Indonesia meski ia belum berada di Indonesia lebih dari 183 hari sesuai Pasal 11 dari PER-43.

Hal ini berakibat tarif PPh yang dikenakan adalah tarif PPh progresif sesuai Pasal 17 UU PPh jika ia dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri sedangkan jika ia tidak dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri, tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 20% berdasarkan Pasal 26 UU PPh.

b.WNI yang meninggalkan Indonesia
PER-43 memberi penjelasan bahwa WNI yang tinggal di luar negeri, yang dibuktikan dengan green card atau ijin tinggal di luar negeri sesuai Pasal 8 dari PER-43, dapat tidak dikenakan pajak sebagai subjek pajak dalam negeri dan Indonesia tidak memiliki hak mengenakan pajak (taxing right) atas keseluruhan penghasilan dari orang pribadi tersebut.

Jika WNI tersebut menerima penghasilan tersebut dari Indonesia, penghasilan tersebut akan dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%.

c.Perusahaan asing yang menjalankan manajemen strategis perusahaan di Indonesia
Meskipun satu perusahaan didirikan di luar negeri dengan hukum luar negeri namun perusahaan tersebut dapat sepenuhnya dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri di Indonesia dimana Indonesia memiliki hak penuh untuk mengenakan pajak (taxing right) atas keseluruhan penghasilan perusahaan tersebut jika ketentuan dalam Pasal 15 dan 16 dari PER-43 tersebut terpenuhi apabila keputusan strategis atau manajemen operasional perusahaan asing tersebut dijalankan di Indonesia.

Perusahaan asing tersebut akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri sama dengan perusahaan Indonesia yang didirikan di Indonesia.

Kesimpulan
Secara singkat, PER-43 merupakan penjelasan atas praktek yang telah lama berlaku di Indonesia serta dapat menjadi satu cara untuk mengatasi penghindaran pajak dari wajib pajak.

(lanjut ke bagian berikutnya)