Showing posts with label PPh Potput. Show all posts
Showing posts with label PPh Potput. Show all posts

Friday, July 31, 2015

Jaminan Sosial, Iuran Wajib dan Perubahan Peraturan PPh 21 di tahun 2015

Dapat dipastikan bahwa profesional pajak, konsultan pajak hingga petugas pajak yang berhubungan dengan PPh 21 atas penghasilan karyawan akan mengalami banyak pekerjaan tambahan karena di tahun 2015, perhitungan PPh 21 mengalami banyak perubahan berarti  karena adanya peraturan baru khususnya pada bulan Juni dan  Juli 2015.

Kenapa? Demikian alasannya: 

A.PTKP
Seperti sudah dijelaskan pemerintah sebelumnya, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan menjadi sebesar 3 juta rupiah sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.  122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 sehingga jumlah PTKP untuk Wajib Pajak selama setahun adalah sebesar : 

-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
-Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
-Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Berlaku surut
PTKP baru ini berlaku surut sehingga mulai berlaku awal tahun 2015 atau tepatnya Januari 2015 sehingga dipastikan akan terjadi kelebihan pembayaran PPh 21 dari Januari hingga Juni 2015 yang akan dikompensasikan ke bulan berikutnya lewat pembetulan SPT Masa PPh 21 pada bulan-bulan tersebut, selain itu dapat saja terjadi karyawan dengan upah UMR menjadi tidak terutang pajak dengan adanya PTKP baru di tahun 2015. 

Sebagai catatan, PTKP mengalami perubahan dari masa ke masa, sebagaimana dijelaskan disini, dari mulai Rp. 960.000  untuk WP OP di tahun 2009, sebesar Rp. 15.840.000 untuk WP OP hingga sekarang sebesar Rp. 36.000.000,- di tahun 2015

B. BPJS Kesehatan
Mulai 1 Januari 2015 semua perusahaan wajib mengikutsertakan karyawan dalam program BPJS Kesehatan, namun persentase iuran peserta BPJS meningkat sejak Juli 2015 berdasarkan Perpres No. 111 tahun 2013, tepatnya sesuai pasal 16 C, sehingga Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 adalah sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan perhitungan:
- 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
- 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.

Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri  sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 (satu) orang anak. Oleh karenanya maka jumlah PTKP yang baru seperti diatas akan membuat perubahan perhitungan iuran BPJS Kesehatan.  

Menariknya, perlu dicatat bahwa iuran ini juga berlaku bagi pekerja asing seperti ekspatriat yang tinggal lebih dari 6 bulan

c. Iuran Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Pemerintah telah menyetujui besar iuran pensiun BPJS sebesar 3 persen dari gaji pokok karyawan dengan porsi pembagian 2 persen dibayarkan oleh perusahaan dan 1 persen dibayarkan oleh pekerja seperti diberitakan disini.  Namun besaran iuran tersebut bakal direvisi secara bertahap selama tiga tahun sekali dan akan naik secara bertahap sampai 8 persen

Sebelumnya diberitakan pemerintah telah menyetujui iuran pensiun BPJS sebesar 8 % dari dari gaji pokok karyawan dengan iuran ini akan ditanggung pengusaha sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen.
 
d. Iuran wajib untuk Perumahan
Iuran perumahan  akan menjadi  iuran wajib sebagaiman telah direncanakan oleh pemerintah sehingga akan bersifat seperti iuran kepada  BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagaimana dijelaskan dalam berita dibawah ini,  rencana iuran perumahan akan menjadi demikian:
-Iuran wajib yang harus ditanggung pekerja dan pengusaha akan bertambah, iuran bulanan tabungan perumahan rakyat (Tapera).

-DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan targetnya, pemerintah dan DPR bisa mengesahkan RUU Tapera pada tahun ini.
RUU Tapera ini mewajibkan seluruh pekerja swasta dan wiraswasta menjadi peserta Tapera. Kewajiban ini tertuang dalam dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Tapera.

- RUU Tapera menetapkan besaran iuran tabungan perumahan sebesar 3% dari upah setiap bulan. Batas maksimal basis gaji yang dipungut iuran itu adalah 20 kali dari upah minimum. Dari porsi iuran itu, sebesar 2,5% akan ditanggung pekerja, dan 0,5% ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja.
Perlu dicatat, jumlah batasan adalah tergantung upah minimum sehingga dapat diartikan jumlahnya dapat tergantung lokasi dimana karyawan bekerja yakni sesuai Upah Minimum Regional atau Upah Minimum Propinsi.

Aturan Pajak atas perubahan yang terjadi
Perubahan aturan diatas pastinya akan berpengaruh pada perhitungan PPh 21 seperti dijelaskan dibawah ini:
-Perubahan PTKP
Sesuai pasal 7 UU PPh, wajib pajak orang pribadi dapat menggunakan PTKP sebagai pengurang pajak.

-Perubahan iuran asuransi kesehatan kepada BPJS
Premi asuransi kesehatan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan sesuai pasal 9(1) UU PPh jika  premi asuransi kesehatan, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

-Perubahan iuran dana pensiun
Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Menkeu dapat menjadi pengurang penghasilan dari penghasilan kena pajak sesuai pasal 6(1c) UU PPh sehingga akan mempengaruhi perhitungan PPh orang pribadi. 

-Iuran Tapera
Jika iuran tapera dibayarkan pemberi kerja maka dapat dihitung sebagai penghasilan bagi karyawan sebaliknya iuran tapera yang dibayarkan karyawan belum tentu dapat menjadi pengurang penghasilan.

Kesimpulan
Perubahan peraturan akan memberi banyak pekerjaan kepada praktisi pajak, konsultan pajak hingga pegawai pajak sendiri. Bagi praktisi pajak, mereka perlu menghitung ulang PPh 21 perusahaan atau orang pribadi pemberi kerja, melakukan pembetulan SPT Masa PPh 21 dari Januari sampai Juni
Bagi fiskus, pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak 2015 dapat membuat mereka menghitung ulang pengaruh perbedaan PPh 21 berdasar aturan lama dan baru.
 
Penulis sendiri berharap agar pedoman teknis perhitungan PPh 21 dapat diubah berupa revisi atas Per DJP No. PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh 21 dan 26.

Tuesday, August 12, 2014

Taxpayer and constitutional right in Constitutional Court

Taxpayer and constitutional rights, should we go to Constitutional Court for judicial review?

The taxpayer, PT Cotrans Asia, has challenged article 23(2) of Income Tax Law (ITL) about withholding tax which is deemed to be causing loss on the taxpayer's constitutional rights or have potential to cause loss for the taxpayer as a company in shipping service. The article 23(2) of ITL stipulates:
" Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri  Keuangan".

or in English version
"Further provisions concerning other types of services as referred to in paragraph (1) letter c number 2 is regulated by or under the Minister of Finance".

Taxpayer  argued to the Court  that the article 23(2) of ITL should be tested using article 22A, 28D, 28I of Undang-Undang Dasar 1945 (1945 Constitution) which state, among others, that everyone has the right to get freedom from discriminating treatment and has the right to get protection from the discriminating treatment.
Further, taxpayer's argument also mentions several things including the fact that Directorate General of Taxation (DGT) has no right to determine characteristics for shipping services if it is again other Law, e.g. Shipping Law. Additionally DGT should follow other Laws and regulation in its ruling which may determine business characteristics.

Accordingly, taxpayer is of opinion that article 23(2) of ITL should be declared as non binding if it is interpreted without considering other Laws in Indonesia.

During hearing process, taxpayer added that one of the problems due to article 23(2) of ITL is DGT may interpret that article 23(2) or article 15 should apply for shipping service. The panel of judges questions if the main issue is actually on the Regulation of Ministry of Finance, if yes, the Constitutional Court is not the right place.  It is indeed interesting to see the opinion from the panel of judges in the hearing process.

Previously other taxpayer has filed judicial review regarding PTKP or other tax allowance and rejected by the Court, could this taxpayer win the case?

Versi Indonesia

Wajib Pajak dan hak konstitusional,  haruskah kita pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review?

Wajib pajak, PT Cotrans Asia, telah menantang pasal 23 (2) dari UU PPh (yang dianggap menyebabkan kerugian hak konstitusional wajib pajak atau memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian bagi wajib pajak sebagai perusahaan dalam pengiriman layanan. Pasal 23 (2) UU PPh menetapkan:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan".

Wajib Pajak telah menyatakan kepada Majelis bahwa pasal 23 (2) UU PPh harus diuji menggunakan pasal 22A, 28D, 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, antara lain, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dari perlakuan diskriminatif dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif.

Selanjutnya, argumen wajib pajak juga menyebutkan beberapa hal termasuk fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memiliki hak untuk menentukan karakteristik untuk jasa pengiriman jika lagi UU lainnya, misalnya UU Pelayaran. Selain itu DJP harus mengikuti Hukum lainnya dan peraturan dalam keputusannya yang dapat menentukan karakteristik bisnis.

Dengan demikian, wajib pajak berpendapat bahwa pasal 23 (2) dari UU PPh harus dinyatakan sebagai non mengikat jika ditafsirkan tanpa mempertimbangkan Hukum di Indonesia.

Selama proses sidang, wajib pajak menambahkan bahwa salah satu masalah karena pasal 23 (2) dari UU PPh adalah DJP dapat menafsirkan bahwa pasal 23 (2) atau pasal 15 UU PPh harus berlaku untuk layanan pengiriman. Majelis hakim pertanyaan jika masalah utama adalah benar-benar di Peraturan Menteri Keuangan, jika ya, Mahkamah Konstitusi bukanlah tempat yang tepat. Hal ini memang menarik untuk melihat pendapat dari majelis hakim dalam proses persidangan.

Sebelumnya wajib pajak lainnya telah mengajukan judicial review mengenai PTKP atau tunjangan pajak lainnya dan ditolak oleh Pengadilan, bisa wajib pajak ini memenangkan kasus ini?

Note: the original version is in English, the second one is to help some readers

Tuesday, November 15, 2011

PPh Potput / Withholding Tax di Indonesia

Pemotongan / Pemungutan PPh atau disebut sebagai Withholding Tax di Indonesia mempunyai banyak jenis dan tarif yang berbeda. Apakah permasalahan yang ada hanya sekedar menghapal jenis PPh Potput yang ada serta tarif yang tepat? Ternyata tidak hanya seperti itu, tulisan berikut menjelaskan permasalahan yang ada

Banyaknya jenis PPh Potput di Indonesia
PPh Potput harus diterapkan dengan benar terutama oleh pihak yang memberikan penghasilan atau seharusnya memotong karena kesalahan pemotongan PPh dapat menimbulkan sanksi perpajakan.

Adalah wajar jika seseorang, bahkan mungkin juga fiskus, tidak hapal tarif pajak PPh Potput. Dari PPh 21 yang perhitungannya panjang dan cara perhitungannya beda hingga PPh Pasal 26. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. PPh Pasal 21
b. PPh Pasal 22
c. PPh Pasal 23
d. PPh Pasal 26
e. PPh Pasal 4(2)
f. PPh Pasal 15

Untuk PPh Pasal 21, perhitungan dibedakan diantaranya dengan pegawai tetap dan tidak tetap serta penghasilan yang berkesinambungan dan tidak.
PPh 21 dibedakan antara barang impor dan produk tertentu.
PPh 23 diterapkan atas pembayaran royalti, dividen, bunga, sewa hingga jasa. Berdasarkan UU PPh terbaru sesungguhnya tariff PPh Pasal 23 sudah disederhanakan sehingga dapat dikatakan jika tarif PPh 23 untuk jasa adalah sebesar 2%
PPh 26 diterapkan terutama atas pembayaran atau pemberian penghasilan kepada pihak di luar negeri dengan tarif sebesar 20% kecuali atas pembayaran asuransi atau reasuransi di luar negeri.
PPh Pasal 4 (2) yang sering disebut PPh final pada dasarnya dibuat untuk memudahkan pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun bisa menimbulkan permasalahan keadilan karena Wajib Pajak tidak dapat memperhitungkan kerugian yang ia peroleh.
PPh Pasal 15 juga mempermudah pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun dapat menimbulkan pertanyaan tentang dasar perhitungan tarif sebesar 1,2%, 1,8%, 2,64%, 0,44% yang juga tidak memungkinkan Wajib Pajak untuk memperhitungkan kerugian yang diterima.

Sukarnya Klasifikasi atas PPh Potput
Sulitnya penggolongan jenis PPh Potput dapat membuat Wajib Pajak salah menerapkan tarif PPh yang membuat Wajib Pajak terancam terkena sanksi perpajakan berupa kenaikan hingga denda. Sebagai contoh :

- Adanya perbedaan tarif PPh final Pasal 4(2) antara pelaksanaan konstruksi dan pemberian jasa konstruksi dapat menimbulkan kesalahan dan perbedaan pendapat. Yang manakah yang merupakan jasa konstruksi dan yang mana merupakan pelaksanaan konstruksi. Salah satu solusi yang dapat dipakai Wajib Pajak adalah membuat rincian pembayaran yang membedakan antara jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultasi atas konstruksi.

- Perbedaan klasifikasi antara PPh Final antara PPh Jasa Pelayaran sesuai PPh Pasal 23 dengan jasa penujang migas sesuai PPh Pasal 4(2) jika satu perusahaan memberikan jasanya kepada perusahaan migas.

PPh Potput dan PPN
PPh Potput juga dapat menjadi acuan ekualisasi bagi PPN karena adanya transaksi yang merupakan objek PPh Potput dan juga objek PPN contohnya seperti jasa konstruksi.
Perlu diperhatikan juga antara bagi penerimaan apakah sudah termasuk PPh Potput dan PPN karena kesalahan perhitungan dapat membuat sanksi pajak dapat diterapkan pada pihak yang seharusnya memotong PPh.

Kesimpulan
Indonesia dibandingkan dengan negara lain mempunyai lebih banyak jenis pajak sehingga Wajib Pajak Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan kewajiban perpajakannya seperti dapat dilihat di laporan berikut dari World Bank.

Karena itulah Wajib Pajak harus berhati-hati dalam melakukan perencanaan atas PPh Potput dan mungkin bagi Pemerintah diperlukan peraturan yang lebih jelas untuk menghindari perbedaan pendapat atau bahkan mengurangi jenis pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk menolong Wajib Pajak seperti dilihat di laporan World Bank tersebut