Thursday, January 30, 2014

Asian Agri dan ulasan atas putusan Mahkamah Agung – Pajak Internasional

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Asian Agriterbukti bersalah menarik perhatian banyak orang di akhir tahun 2012 dan sampai sekarang, permasalahannya belum terbukti karena masalah penggelapan pajak belum selesai.  Bahkan di bulan Januari 2013 ini Kejaksaan Agung dan juga Direktorat Jenderal Pajak berusaha menagihpembayaran denda. 

Tulisan ini akan melihat putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012 yang selama ini belum banyak diperhatikan untuk melihat pertimbangan yang dipakai hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan tersebut.

1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut  dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur  yang sudah menjalani penahanan sejak Desember 2010.

2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan pajak di beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya tax planning meeting yang membahas perencanaan untuk mengecilkan pajak. (Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat karena tax planning tidak sama dengan tax evasion).

3.  Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 :

A. Rekayasa keuangan internasional disebutkan sebagai berikut, sebagaimana dikutip dibawah ini:
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer. Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual.
Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya ;

B. Rekayasa keuangan dalam negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya management fee.  Disebutkan lebih lanjut, dalam halaman  :

BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat dengan MEMO VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.

BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss". Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss.

BIAYA MANAJEMEN FEE, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak

C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.  Hal ini menimbulkan kerugian yang dijelaskan dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan negara berupa sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

4. Pajak Internasional
Penulis tidak dapat berkomentar tentang pembuktian atas pelaporan keuangan yang tidak seharusnya karena itu merupakan pembuktian di persidangan di hadapan para hakim, sebagai contoh dalam hal biaya jakarta dengan memo voucher. Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang mengapa sanksi pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal pembuktian dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam kasus ini.  

Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan dengan pajak internasional dan dianggap sebagai pendukung penggelapan pajak seperti berikut:

-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah perusahaan di luar negeri seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.  Begitu juga dengan perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta perusahaan di British Virgin Island yakni  Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak dijelaskan apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat diperkirakan merupakan perusahaan terkait karena nama Asian Agri.  
Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan SPV dan melakukan under invoicing.

-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait apakah hal sebaiknya peraturan yang diterapkan seharusnya merupakan peraturan transfer pricing sebagaimana diatur misalnya dengan Per DJP No. PER - 32/PJ/2011 tentang  penerapan Arm's Length Principle dalam related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer pricing dan tax evasion yang sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat putusan seperti ini.

-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah sesuai dengan standar akuntansi atau merupakan satu financial engineering yang merupakan satu penggelapan pajak.  Penentuan harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa yang dipakai dalam ekspor komoditas.  Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam hal harga pasar produk komoditas oleh pihak independen.  Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, dijelaskan bahwa  yang  telah terjadi adalah hedging fiktif.

-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee"). Umumnya hal ini menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya merupakan related party transaction.

Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management fee termasuk management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962 halaman 198).  Tidak dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan hubungan istimewa.

Mungkin diperlukan peraturan yang lebih jelas mana yang dapat digolongkan tax evasion dan mana tax avoidance dimana transfer pricing seharusnya merupakan bagian dari tax avoidance dan bukan tax evasion. Hal ini mungkin dapat dilihat dalam kasus Dolce Gabana seperti diberitakan disini dan disini  sehingga wajib pajak dapat memiliki kepastian hukum lebih besar lagi.