Showing posts with label PPh. Show all posts
Showing posts with label PPh. Show all posts

Friday, July 31, 2015

Jaminan Sosial, Iuran Wajib dan Perubahan Peraturan PPh 21 di tahun 2015

Dapat dipastikan bahwa profesional pajak, konsultan pajak hingga petugas pajak yang berhubungan dengan PPh 21 atas penghasilan karyawan akan mengalami banyak pekerjaan tambahan karena di tahun 2015, perhitungan PPh 21 mengalami banyak perubahan berarti  karena adanya peraturan baru khususnya pada bulan Juni dan  Juli 2015.

Kenapa? Demikian alasannya: 

A.PTKP
Seperti sudah dijelaskan pemerintah sebelumnya, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan menjadi sebesar 3 juta rupiah sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.  122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 sehingga jumlah PTKP untuk Wajib Pajak selama setahun adalah sebesar : 

-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
-Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
-Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Berlaku surut
PTKP baru ini berlaku surut sehingga mulai berlaku awal tahun 2015 atau tepatnya Januari 2015 sehingga dipastikan akan terjadi kelebihan pembayaran PPh 21 dari Januari hingga Juni 2015 yang akan dikompensasikan ke bulan berikutnya lewat pembetulan SPT Masa PPh 21 pada bulan-bulan tersebut, selain itu dapat saja terjadi karyawan dengan upah UMR menjadi tidak terutang pajak dengan adanya PTKP baru di tahun 2015. 

Sebagai catatan, PTKP mengalami perubahan dari masa ke masa, sebagaimana dijelaskan disini, dari mulai Rp. 960.000  untuk WP OP di tahun 2009, sebesar Rp. 15.840.000 untuk WP OP hingga sekarang sebesar Rp. 36.000.000,- di tahun 2015

B. BPJS Kesehatan
Mulai 1 Januari 2015 semua perusahaan wajib mengikutsertakan karyawan dalam program BPJS Kesehatan, namun persentase iuran peserta BPJS meningkat sejak Juli 2015 berdasarkan Perpres No. 111 tahun 2013, tepatnya sesuai pasal 16 C, sehingga Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 adalah sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan perhitungan:
- 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
- 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.

Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri  sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 (satu) orang anak. Oleh karenanya maka jumlah PTKP yang baru seperti diatas akan membuat perubahan perhitungan iuran BPJS Kesehatan.  

Menariknya, perlu dicatat bahwa iuran ini juga berlaku bagi pekerja asing seperti ekspatriat yang tinggal lebih dari 6 bulan

c. Iuran Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Pemerintah telah menyetujui besar iuran pensiun BPJS sebesar 3 persen dari gaji pokok karyawan dengan porsi pembagian 2 persen dibayarkan oleh perusahaan dan 1 persen dibayarkan oleh pekerja seperti diberitakan disini.  Namun besaran iuran tersebut bakal direvisi secara bertahap selama tiga tahun sekali dan akan naik secara bertahap sampai 8 persen

Sebelumnya diberitakan pemerintah telah menyetujui iuran pensiun BPJS sebesar 8 % dari dari gaji pokok karyawan dengan iuran ini akan ditanggung pengusaha sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen.
 
d. Iuran wajib untuk Perumahan
Iuran perumahan  akan menjadi  iuran wajib sebagaiman telah direncanakan oleh pemerintah sehingga akan bersifat seperti iuran kepada  BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagaimana dijelaskan dalam berita dibawah ini,  rencana iuran perumahan akan menjadi demikian:
-Iuran wajib yang harus ditanggung pekerja dan pengusaha akan bertambah, iuran bulanan tabungan perumahan rakyat (Tapera).

-DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan targetnya, pemerintah dan DPR bisa mengesahkan RUU Tapera pada tahun ini.
RUU Tapera ini mewajibkan seluruh pekerja swasta dan wiraswasta menjadi peserta Tapera. Kewajiban ini tertuang dalam dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Tapera.

- RUU Tapera menetapkan besaran iuran tabungan perumahan sebesar 3% dari upah setiap bulan. Batas maksimal basis gaji yang dipungut iuran itu adalah 20 kali dari upah minimum. Dari porsi iuran itu, sebesar 2,5% akan ditanggung pekerja, dan 0,5% ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja.
Perlu dicatat, jumlah batasan adalah tergantung upah minimum sehingga dapat diartikan jumlahnya dapat tergantung lokasi dimana karyawan bekerja yakni sesuai Upah Minimum Regional atau Upah Minimum Propinsi.

Aturan Pajak atas perubahan yang terjadi
Perubahan aturan diatas pastinya akan berpengaruh pada perhitungan PPh 21 seperti dijelaskan dibawah ini:
-Perubahan PTKP
Sesuai pasal 7 UU PPh, wajib pajak orang pribadi dapat menggunakan PTKP sebagai pengurang pajak.

-Perubahan iuran asuransi kesehatan kepada BPJS
Premi asuransi kesehatan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan sesuai pasal 9(1) UU PPh jika  premi asuransi kesehatan, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

-Perubahan iuran dana pensiun
Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Menkeu dapat menjadi pengurang penghasilan dari penghasilan kena pajak sesuai pasal 6(1c) UU PPh sehingga akan mempengaruhi perhitungan PPh orang pribadi. 

-Iuran Tapera
Jika iuran tapera dibayarkan pemberi kerja maka dapat dihitung sebagai penghasilan bagi karyawan sebaliknya iuran tapera yang dibayarkan karyawan belum tentu dapat menjadi pengurang penghasilan.

Kesimpulan
Perubahan peraturan akan memberi banyak pekerjaan kepada praktisi pajak, konsultan pajak hingga pegawai pajak sendiri. Bagi praktisi pajak, mereka perlu menghitung ulang PPh 21 perusahaan atau orang pribadi pemberi kerja, melakukan pembetulan SPT Masa PPh 21 dari Januari sampai Juni
Bagi fiskus, pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak 2015 dapat membuat mereka menghitung ulang pengaruh perbedaan PPh 21 berdasar aturan lama dan baru.
 
Penulis sendiri berharap agar pedoman teknis perhitungan PPh 21 dapat diubah berupa revisi atas Per DJP No. PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh 21 dan 26.

Thursday, April 2, 2015

Pajak, NIK dan Kerahasiaan Perbankan





 Harian Kontan, 12 April 2015, halaman 23 
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana agar pelaporan pajak perbankan untuk bunga atas deposito, tabungan atau jasa giro  menyertakan informasi perbankan nasabah seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari nasabah yang bersangkutan disertai rincian pembayaran bunga lewat bukti potong setiap nasabah. Hal ini dinyatakan dalam Peraturan DJP No. PER-01/PJ/2015 (PER 01) tentang bentuk formulir Surat Pemberitahuan Masa PPh,  namun karena adanya  penolakan terutama pihak perbankan dengan alasan diantaranya pelanggaran kerahasiaan perbankan dan kemungkinan kepindahan uang nasabah ke luar negeri, PER 01 tersebut dibatalkan oleh PER-14/PJ/2015.  

Salah satu alasan terbitnya aturan PER 01 tersebut adalah karena DJP bermaksud menguji kebenaran pelaporan pajak terutama untuk wajib pajak orang pribadi.  Namun benarkah kerahasiaan perbankan dilanggar dengan pelaporan pajak atas nasabah perbankan dengan menggunakan NIK dan rincian penerimaan bunga mereka? 

Penggunaan NIK
NIK sebenarnya telah digunakan dalam database Wajib Pajak di  DJP sehingga sekarang database tersebut juga memiliki informasi NPWP dan NIK dari Wajib Pajak.  Penggunaan NIK  sejalan dengan rencana pemerintah atas Single Identity Number (SIN) dan akan digunakan dalam berbagai dokumen dari KTP, NPWP, SIM, rekening bank atau sertifikat kepemilikan. Sejatinya, hal ini akan memudahkan DJP untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak dengan menggunakan NIK dan bukannya NPWP.

Di negara lain yang menjadi percontohan SIN seperti Malaysia, SIN  dapat digunakan juga dalam pelaporan pajak selain menggunakan Tax Identification Number (TIN) atau NPWP contohnya dalam SPT Tahunan. 

Kerahasiaan Perbankan
Berdasarkan pasal 35 UU Ketentuan Umum Perpajakan, kewajiban untuk merahasiakan dalam  perbankan dapat ditiadakan apabila DJP memerlukan keterangan atau bukti dari Wajib Pajak untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dengan permintaan tertulis yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan  Menteri Keuangan No. 87/PMK.03/2013. 

Pembukaan kerahasiaan perbankan juga didukung oleh pasal 41 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menjelaskan bahwa kerahasiaan perbankan dapat diterobos untuk kepentingan pajak berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, kemudian  Bank Indonesia (OJK) memberikan perintah kepada bank untuk memberikan keterangan yang diperlukan.  Namun untuk perbankan syariah, pasal 42 UU No. 21 tahun 2008 tentang  Perbankan Syariah  menjelaskan bahwa pembukaan rahasia bank dapat dilakukan terbatas untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan. 

Pada prakteknya, pembukaan rahasia perbankan tidak mudah karena DJP dapat diminta juga untuk menyebutkan nama nasabah dan nama kantor bank tempat penyimpanan dari Wajib Pajak yang dimintakan keterangan sesuai Peraturan BI No.2/19/PBI/2000.  NIK yang menjadi identitas tunggal belum diatur dalam pembukaan rahasia bank. 

Akhir kerahasiaan perbankan
Pada tahun 2009, negara-negara G20 dimana Indonesia termasuk didalamnya, membuat pernyataan bahwa kerahasiaan perbankan telah berakhir  yang terutama ditujukan untuk mengatasi penggelapan pajak lewat tax haven

Sikap G20  didukung oleh OECD dengan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes yang bertujuan memastikan penerapan standar yang diakui secara internasional atas transparansi dan pertukaran informasi untuk pajak dimana  standar dibagi dalam tiga elemen pokok yakni ketersediaan informasi, akses atas informasi dan pertukaran informasi.
Dengan peer review, forum ini melihat apakah negara anggota telah sepenuhnya menerapkan standar tersebut sebagai bagian dari komitmen anggota.  Review dibuat dalam dua tahap, tahap pertama mencakup analisa atas kerangka peraturan dan perundang-undangan yang dilanjutkan dengan tahap kedua berupa penerapan peraturan tersebut dalam prakteknya.

Hasil peer review  akan menggolongkan apakah satu negara anggota sebagai non compliant, partially compliant, largely compliant dan compliant.  Berdasarkan hasil peer review  tahun  2014 atas 71 negara anggota forum yang telah melewati dua tahap dimaksud diatas, sebagaimana dijelaskan dalam Tax Transparency 2014 - Report on Progress, Indonesia digolongkan sebagai partially compliant sama seperti Andorra, Barbados, Israel, Saint Lucia dan Turkey. 

Negara yang mendapat peringkat compliant diantaranya adalah Australia, Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Korea, Afrika Selatan hingga Swedia.  Peringkat Indonesia bahkan lebih rendah daripada Cayman Islands, Singapura, Hong Kong dan Mauritius yang sering disebut sebagai tax haven karena mereka mendapat peringkat largely compliant.  Perlu dicatat, World Bank dapat menggunakan hasil peer review suatu negara untuk melakukan evaluasi atas kelayakan investasi di negara tersebut.  

Hasil peer review dapat menjelaskan bahwa akses DJP atas kerahasiaan perbankan untuk kepentingan pajak  belum sepenuhnya memenuhi standar internasional bahkan tidak lebih baik dari Singapura dan Hong Kong.  

Pertukaran informasi
Negara-negara G20  di bulan September 2013 telah mengesahkan rencana OECD atas  standar tunggal pertukaran otomatis atas informasi keuangan atau Common Reporting Standard untuk mengatasi penggelapan pajak dan memastikan kepatuhan perpajakan.  

Standar ini, yang disebut sebagai versi global dari FATCA atau bahkan EU Saving Directive, akan meminta negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan informasi dari lembaga keuangan dan secara otomatis melakukan pertukaran informasi dengan negara lain secara tahunan.  

Kesimpulan
Pemerintah wajib memperbaiki aturan hukum atas akses pajak terhadap informasi perbankan baik perbankan umum dan syariah, terutama untuk kepentingan pemeriksaan, penagihan dan penyidikan pajak. Hal  ini  tidak hanya karena keperluan DJP berdasarkan UU Pajak namun juga karena komitmen yang telah dibuat Indonesia dalam G20 dan Global Forum OECD untuk menerapkan standar yang diakui internasional atas akses pajak terhadap kerahasiaan perbankan

Catatan : 
-Tulisan ini adalah versi asli sebelum disunting oleh redaksi Kontan 
-Sebagian bahan dari tulisan ini pernah dijadikan bahan Kuliah Umum di FISIP UI

-Referensi untuk kali ini disertakan di bagian berikut ini untuk mendukung pemahaman yang lebih baik dari aspek hukum atas masalah diatas

Referensi :
-Wajib Cantumkan NIK di SPT Pajak, Harian Kontan, 7 Februari 2015

- Soal Ditjen Pajak Bisa 'Intip' Deposito, Menkeu Bambang: Ditunda

-Ada 66.567 Nasabah Bank di RI Punya Simpanan di Atas Rp 5 Miliar

-London Summit, Leader’s Statement (G20)
Dalam pernyataan ini dijelaskan komitmen untuk mengakhiri kerahasiaan perbankan, lihat point 15, halaman 6 dari pernyataan tersebut. 

-The Era of Banking Secrecy is Over  (OECD  Report)

-Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes

-  Progress Report : Transparency Report - Global Forum (2014)
Dalam laporan ini dijelaskan hasil peer review terhadap negara anggota termasuk Indonesia yang memuat peringkat atas hasil peer review untuk tahap pertama dan kedua.

-       Hasil dari peer review untuk Indonesia tahap pertama
Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes  : Peer Review Report Phase 1 – Legal and Regulatory Framework  - Indonesia

-Use of Offshore Financial Centers in World Bank Group Private Sector Operations
Dalam laporan ini terdapat pernyataan bahwa perusahaan perantara dapat didirikan di satu negara tergantung atas hasil penilain peer review dari negara tersebut.

Thursday, September 18, 2014

Visi Misi Manajemen Perpajakan untuk Pejabat Negara

Harian Kontan, Kamis 18 September 2014, halaman 23





Visi misi perpajakan seringkali diabaikan atau tidak dipahami  oleh pejabat negara, termasuk pemimpin daerah. Dalam pemilu presiden kemarin diungkapkan rencana menaikkan tax ratio menjadi 16% dan kabarnya pemerintah merencanakan terbentuknya badan penerimaan negara untuk menggantikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).  Tulisan ini akan membahas visi misi perpajakan pejabat negara untuk meningkatkan tax ratio  dan penerimaan pajak sebagai sumber dana pembangunan. 

Tax ratio
Manajemen perpajakan diperlukan untuk meningkatkan tax ratio yang menurut laporan OECD tentang Revenue Statistic  (2014) adalah sebesar 12.9%  di Indonesia di tahun 2012, lebih rendah dibanding Malaysia 16,7% ,  Jepang dan Korea sebesar 26-28%  atau bahkan negara OECD  rerata sekitar 34%. Kenaikan tax ratio,  perbandingan antara pajak yang diterima dengan produk domestik bruto, tentunya dapat meningkatkan penerimaan pajak.
Dalam laporan Economic Survey tahun 2012, OECD memberikan rekomendasi perpajakan, diantaranya, meningkatkan jumlah wajib pajak (WP) dari para pengusaha, meningkatkan sumber daya audit dan peningkatan penggunaan informasi pihak ketiga untuk melakukan penaksiran kewajiban perpajakan.  Laporan tersebut juga menjelaskan bahwa penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dari keseluruhan penerimaan pajak Indonesia adalah sebesar 12% dibandingkan negara OECD  sebesar 52% yang dapat diartikan bahwa tingkat kepatuhan WP OP masih rendah dimana dilaporkan banyak penghasilan yang belum dikenakan pajak disimpan di luar negeri.

Informasi Perpajakan
Dari saran OECD diatas, sepertinya penggunaan informasi pihak ketiga merupakan hal yang paling memungkinkan untuk segera dilaksanakan. Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan  Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2012 (PP 31) tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Perpajakan yang diterbitkan atas dasar pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang menetapkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara kepada DJP.
Sesuai PP 31 tersebut, pimpinan berbagai asosiasi, menteri dan pejabat di lembaga atau instansi negara, gubernur, bupati  seharusnya sadar akan kewajiban memberikan informasi perpajakan  secara elektronik kepada DJP. Namun kesadaran tersebut belum ada,  dari keterangan KPK,  lebih dari 50% perusahaan tambang tidak membayar pajak sebagaimana seharusnya.
Apabila kewajiban pemberian data dan Informasi perpajakan tersebut dengan sengaja tidak dipenuhi, berlaku ketentuan pengenaan sanksi pidana berupa penjara maksimal setahun berdasarkan pasal 41C UU KUP namun sanksi untuk tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi bagi pejabat negara tidak diatur secara jelas di PP 31.
Informasi perpajakan untuk DJP berhubungan erat dengan pajak daerah yang didasarkan pada UU No. 28 Tahun 2009  tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meski pasal 172 UU tersebut tidak mengatur tentang pemberian informasi perpajakan kepada DJP dan bahkan dapat membatasi pemberian informasi perpajakan kepada DJP.  

Pajak Daerah
Pajak pusat seperti  PPh juga berkaitan dengan kepala daerah karena PPh terutama PPh OP akan diberikan kepada daerah lewat Dana Bagi Hasil sesuai UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sehingga seharusnya kepala daerah, tidak hanya karena PP 31, berkepentingan mendukung pemberian informasi perpajakan bagi DJP selain karena adanya pemberlakuan Single Identity Number.

Kepala Daerah seperti gubernur juga berkepentingan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor hingga pajak rokok atau bupati terhadap pajak hotel , pajak hiburan hingga PBB pedesaan perkotaan dan BPHTB dengan informasi perpajakan.

Dukungan politik
Dukungan politik dari pejabat negara sangat diperlukan DJP karena pertukaran informasi perpajakan dari pemda dan badan pemerintah dapat mengungkap perilaku korupsi hingga pencucian uang sebab dapat dipastikan pelaku tidak akan melaporkan penghasilan korupsi atau pencucian uang sebagai penghasilan terutang pajak. Belum lama ini otoritas pajak Jepang menemukan dugaan korupsi  di Indonesia, Uzbekistan dan Vietnam setelah melakukan pemeriksaan pajak atas perusahaan Jepang dan menemukan pembayaran  yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang patut diduga sebagai uang  pelicin. OECD bahkan telah menerbitkan satu laporan tentang  Bribery and Corruption Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors yang berisi panduan atas permasalahan korupsi dalam pemeriksaan pajak.

DJP seharusnya dapat melakukan sinergi atas informasi perpajakan dengan pemda seperti di Belanda dimana setiap orang asing yang mendapat ijin tinggal di Belanda, akan otomatis mendapatkan surat himbauan pelaporan pajak yang dikirim ke alamat terdaftar. Di Belanda pula, para pedagang kaki lima dapat mendapat fasilitas berjualan dari pemda (gementee) asalkan mereka membayar PPh dengan benar, dimana hal sama dapat diterapkan di Indonesia untuk PPh final 1% untuk UKM berupa kerjasama antara pemda dan DJP sehingga para pedagang mendapat ijin berjualan di pusat perdagangan atau pasar  hanya jika mereka membayar PPh dengan benar dan bila ini terjadi maka Sensus Pajak Nasional tidak diperlukan lagi. DJP dan Pemda DKI sepertinya dapat memperluas kerjasama pertukaran informasi perpajakan yang belum lama dibuat tahun ini.
Kerjasama manajemen informasi perpajakan dapat digunakan untuk mengenakan PPh atas tambahan kekayaan neto yang belum dilaporkan sebagai penghasilan sesuai pasal 4(1)(p) UU PPh. Di negara lain seperti Amerika Serikat, sistem whistle blower digunakan untuk menerima laporan penggelapan pajak.

Kesimpulan

Pejabat negara memerlukan visi misi  perpajakan tidak hanya untuk pajak  pusat namun juga pajak daerah dimana sinergi diperlukan untuk manajemen perpajakan tidak hanya atas informasi perpajakan tapi juga dukungan politik untuk  penegakan aturan pajak dengan hasil akhir pertambahan penerimaan pajak. 


Catatan: 
-Tulisan diatas adalah tulisan asli sebelum edit dari redaksi Harian Kontan
-Yang menarik, redaksi tertarik dengan kutipan yang mengatakan bahwa pertukaran informasi antara Pemda dan pemerintah dapat mengungkap korupsi seperti diungkap dalam pojok kiri atas halaman opini  

Tuesday, August 12, 2014

Taxpayer and constitutional right in Constitutional Court

Taxpayer and constitutional rights, should we go to Constitutional Court for judicial review?

The taxpayer, PT Cotrans Asia, has challenged article 23(2) of Income Tax Law (ITL) about withholding tax which is deemed to be causing loss on the taxpayer's constitutional rights or have potential to cause loss for the taxpayer as a company in shipping service. The article 23(2) of ITL stipulates:
" Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri  Keuangan".

or in English version
"Further provisions concerning other types of services as referred to in paragraph (1) letter c number 2 is regulated by or under the Minister of Finance".

Taxpayer  argued to the Court  that the article 23(2) of ITL should be tested using article 22A, 28D, 28I of Undang-Undang Dasar 1945 (1945 Constitution) which state, among others, that everyone has the right to get freedom from discriminating treatment and has the right to get protection from the discriminating treatment.
Further, taxpayer's argument also mentions several things including the fact that Directorate General of Taxation (DGT) has no right to determine characteristics for shipping services if it is again other Law, e.g. Shipping Law. Additionally DGT should follow other Laws and regulation in its ruling which may determine business characteristics.

Accordingly, taxpayer is of opinion that article 23(2) of ITL should be declared as non binding if it is interpreted without considering other Laws in Indonesia.

During hearing process, taxpayer added that one of the problems due to article 23(2) of ITL is DGT may interpret that article 23(2) or article 15 should apply for shipping service. The panel of judges questions if the main issue is actually on the Regulation of Ministry of Finance, if yes, the Constitutional Court is not the right place.  It is indeed interesting to see the opinion from the panel of judges in the hearing process.

Previously other taxpayer has filed judicial review regarding PTKP or other tax allowance and rejected by the Court, could this taxpayer win the case?

Versi Indonesia

Wajib Pajak dan hak konstitusional,  haruskah kita pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review?

Wajib pajak, PT Cotrans Asia, telah menantang pasal 23 (2) dari UU PPh (yang dianggap menyebabkan kerugian hak konstitusional wajib pajak atau memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian bagi wajib pajak sebagai perusahaan dalam pengiriman layanan. Pasal 23 (2) UU PPh menetapkan:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan".

Wajib Pajak telah menyatakan kepada Majelis bahwa pasal 23 (2) UU PPh harus diuji menggunakan pasal 22A, 28D, 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, antara lain, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dari perlakuan diskriminatif dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif.

Selanjutnya, argumen wajib pajak juga menyebutkan beberapa hal termasuk fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memiliki hak untuk menentukan karakteristik untuk jasa pengiriman jika lagi UU lainnya, misalnya UU Pelayaran. Selain itu DJP harus mengikuti Hukum lainnya dan peraturan dalam keputusannya yang dapat menentukan karakteristik bisnis.

Dengan demikian, wajib pajak berpendapat bahwa pasal 23 (2) dari UU PPh harus dinyatakan sebagai non mengikat jika ditafsirkan tanpa mempertimbangkan Hukum di Indonesia.

Selama proses sidang, wajib pajak menambahkan bahwa salah satu masalah karena pasal 23 (2) dari UU PPh adalah DJP dapat menafsirkan bahwa pasal 23 (2) atau pasal 15 UU PPh harus berlaku untuk layanan pengiriman. Majelis hakim pertanyaan jika masalah utama adalah benar-benar di Peraturan Menteri Keuangan, jika ya, Mahkamah Konstitusi bukanlah tempat yang tepat. Hal ini memang menarik untuk melihat pendapat dari majelis hakim dalam proses persidangan.

Sebelumnya wajib pajak lainnya telah mengajukan judicial review mengenai PTKP atau tunjangan pajak lainnya dan ditolak oleh Pengadilan, bisa wajib pajak ini memenangkan kasus ini?

Note: the original version is in English, the second one is to help some readers

Thursday, October 17, 2013

Pajak UKM - masalah di Indonesia dan cerita dari Belanda

Pajak atas Usaha Kecil Menengah telah diberlakukan di Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 tanggal 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 July 2013 dengan ketentuan sebagai berikut diantaranya : - PPh final sebesar 1% dikenakan atas penghasilan bruto
 - Berlaku untuk wajib pajak orang pribadi (OP) dan badan diluar bentuk usaha tetap
 - Pendapatan berasal dari kegiatan usaha, bukan dari pekerjaan atau sebagai individu profesional;
 - Penghasilan bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak Ada tambahan ketentuan bagi WP OP yakni peraturan ini tidak termasuk WP OP yang memiliki fasilitas darurat yang bisa dibongkar, permanen atau tidak permanen atau menggunakan tempat umum untuk bisnis atau penjualan,

Melihat aturan diatas\ada beberapa permasalahan yang dapat terjadi diantaranya:
 - Pengawasan atas pembayaran pajak terutama untuk pedagang kecil dan kaki lima, rasanya sukar untuk mengetahui jumlah pasti omset pedagang kecil setiap bulannya apalagi jika mereka tidak memiliki catatan yang rapi
 - Kerugian tidak dapat diperhitungkan karena merupakan PPh final Mungkin kita bisa menengok negara lain seperti Belanda dalam hal pengawasan pajak pedagang kaki lima di Albert Cuyp Market di Amsterdam.

Pasar kaki lima ini buka setiap hari, rapi dan dibersihkan tiap hari. Menariknya, pemerintah Belanda membuat satu sistem dimana pedagang kaki lima tersebut dapat diawasi pembayaran pajaknya seperti dilaporkan disini Pelajaran yang didapat dari pemerintah Belanda:
 -Ada semacam kamar dagang kaki lima yang melakukan pendaftaran, Kamer Van Koophandel yang dapat menerima laporan penghasilan si pedagang kaki lima
-Petugas pengawas berkeliling mengecek laporan pajak si pedagang dan pajak tinggal didebet dari rekening bank -Keuntungan dari pembayaran pajak adalah diberikannya tempat berdagang hingga jaminan sosial saat tidak bisa berdagang, semacam unemployment insurance yang khas negara Eropa.

 Akhir kata dapat dikatakan kalau sistem dibuat terintegrasi, pengawasan akan mudah dilakukan serta pedagang pun akan lebih patuh membayar pajak. Penulis membayangkan jika pedagang kaki lima di Tanah Abang, Senen atau Jatinegara  bahkan pedagang kaki lima di Malioboro Yogya dapat menjadi proyek percontohan untuk sistem yang terintegrasi karena Pemerintah Daerah juga berkepentingan agar Pajak Penghasilan meningkat dimana mereka juga mendapat bagian dari Pajak Penghasilan yang diterima.


Friday, August 28, 2009

Transaksi dengan Tax Haven di SPT Tahunan PPh Badan (1771)

Dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor:PER-39/PJ/2009 tanggal 2 Juli 2009 terdapat formulir SPT Baru untuk PPh Badan (1771) yang berbeda dari bentuk sebelumnya. Salah satu perbedaannya adalah dalam bagian induk halaman ke-2, angka 16 yang menjelaskan

16.
a. Wajib melampirkan Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2 Buku Petunjuk Pengisian SPT)* Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimewa dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country.
(Wajib melampirkan Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2 Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
b. Tidak Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimewa dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country.

Dalam penjelasan sebagai catatan kaki diterangkan demikian :

*)Wajib Pajak dapat langsung mengunduh dari situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id. atau mengambil di KPP/KP2KP terdekat.

Permasalahannya adalah daftar tersebut belum dibuat sampai saat ini. Kemungkinan Dirjen Pajak beranggapan bahwa daftar tersebut akan dibuat sebelum batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2009.
Pembuatan daftar tersebut sepertinya didukung oleh anggapan banyak pihak bahwa Tax Haven merugikan Indonesia, namun yang menjadi pertanyaan kritis adalah :

- Apa kriteria Tax Haven?
- Bagaimana dengan Tax Haven yang mana Indonesia membuat Tax Treaty seperti Labuan, Swiss dan Singapura atau Seychelles yang mempunyai Offshore Financial Center seperti dapat dilihat disini
- Peraturan Transfer Pricing sangat lemah dan terbatas, SE-04/PJ.7/1993

Tampaknya Dirjen Pajak membutuhkan kerja keras untuk mengatasi masalah penghindaran pajak lewat transfer pricing dan lainnya lewat Tax Haven.

Monday, April 6, 2009

PTKP dan Masalah Ketidakadilan Pajak dari gugatan hingga putusan MK

Berita tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dipermasalahkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) di Indonesia, sudahkah PTKP memberikan keadilan bagi Wajib Pajak? Menkeu sendiri dalam tanggapannya menyatakan bahwa PTKP sudah memberikan keadilan.

Uji materi tersebut diajukan karena pasal 7 ayat (1) dari UU Pajak Penghasilan (PPh) tentang PTKP, selain karena pasal 9 ayat (1), dirasa memberatkan beban hidup pemohon dengan menyatakan adanya pasal tersebut menyebabkan beban hidup pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup minimum.

PTKP di Indonesia
UU PPh menetapkan PTKP bagi WP OP untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sehingga WP OP mengurangi penghasilan netonya dengan PTKP yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya untuk menghitung pajak yang harus dibayar, penghasilan kotor WP OP dapat dikurangi biaya-biaya yang ia keluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan hingga Wajib Pajak mendapatkan penghasilan neto. Setelah itu, WP OP dapat mengurangkan PTKP untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Namun apakah jumlah PTKP tersebut telah memberikan keadilan? Ternyata ada beberapa permasalahan.

Pertama-tama, meski salah satu teori yang dianut dalam pemungutan pajak adalah teori gaya pikul yang menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang sehingga pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, PTKP pada dasarnya menyamaratakan semua WP OP kecuali status pernikahan dan jumlah tanggungan. Contoh perbedaan biaya hidup bisa dilihat dari penyamaan WP OP yang sakit dan yang sehat walau WP OP yang sakit-sakitan akan merasakan ketidakadilan bila PTKP yang ia dapatkan disamakan dengan PTKP orang yang sehat karena ia membutuhkan biaya besar untuk perawatan kesehatan.

Kedua, PTKP juga seakan-akan menganggap semua orang tidak memerlukan biaya untuk pendidikan. Seorang Wajib Pajak yang bekerja secara profesional seperti programmer, dosen atau pengacara membutuhkan pendidikan berkelanjutan untuk menambah ilmunya dan dengan peraturan PTKP, mereka tidak dapat mengurangi biaya pendidikan mereka untuk mengurangi pajak. Bagi Wajib Pajak yang berkeluarga, biaya pendidikan yang jauh lebih besar dibutuhkan untuk anak mereka yang sedang kuliah sedangkan dalam PTKP tidak ada perbedaan demikian.

Ketiga, penyesuaian jumlah PTKP berdasarkan UU PPh dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PTKP harus selalu sesuai dengan keadaan contohnya dengan tingkat inflasi. Penyesuaian jumlah PTKP yang tidak tepat waktu dapat menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.

Keempat, PTKP tidak membedakan Wajib Pajak berdasarkan lokasi tempat tinggal. Dirjen Pajak dalam peraturan tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto secara tidak langsung mengakui adanya perbedaan biaya hidup antara Wajib Pajak yang tinggal di 10 ibu kota propinsi, kota propinsi dan tempat lainnya, sehingga Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Jakarta akan menanggung biaya usaha lebih besar dan membuat penghasilan netonya akan lebih kecil dibandingkan Wajib Pajak dengan usaha sama di Papua misalnya. Pembedaan ini ternyata tidak ada dalam PTKP sehingga tidak ada pembedaan PTKP antara Wajib Pajak di Jawa dan luar Jawa misalnya.

Perbandingan dengan negara lain
Di negara lain, PTKP dapat dibandingkan dengan allowance atau personal deduction atau personal relief kepada Wajib Pajak. Peraturan Pajak di Amerika Serikat memungkinkan Wajib Pajak mengurangkan biaya sekolah anak, biaya perawatan kesehatan, biaya bunga atas pinjaman rumah hingga pembayaran tunjangan istri (alimony payment). Hal yang sama juga dapat ditemukan di Eropa. Belanda, misalnya, mengijinkan adanya personal deduction bagi WP OP atas bunga pinjaman rumah yang ditempati Wajib Pajak serta biaya medis bagi masalah cacat tubuh.

Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memberikan hal yang sama bagi Wajib Pajak, bahkan kedua negara tersebut sama-sama memberikan personal relief yang cukup lengkap sebagai pengurang pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki anak dengan cacat tubuh. Singapura bahkan mengijinkan Wajib Pajak menerima personal relief khusus bagi Wajib Pajak yang merawat orang tua yang cacat. Jumlah personal relief di Singapura juga dibedakan berdasarkan umur. Malaysia selain memberikan hal-hal yang tersebut diatas, juga memberikan personal relief khusus bagi anak kandung yang cacat dan melanjutkan pendidikan tinggi serta beragam personal relief lainnya termasuk relief atas pendidikan lanjutan bagi Wajib Pajak biasa.

Dapat kita simpulkan bahwa peraturan pajak, khususnya dalam hal PTKP, sudah jauh tertinggal dibanding negara lain serta memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Peraturan yang lebih baik dalam hal PTKP akan sanggup menambah kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal inilah yang perlu dipahami tidak hanya bagi Wajib Pajak tapi juga bagi pemerintah dan hakim di mahkamah konstitusi yang akan memberikan putusannya.

Putusan MK
MK akhirnya mengeluarkan putusan dan menolak gugatan atas PTKP dimana majelis hakim MK menolak uji materi terhadap UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi itu diajukan oleh DR Gustian Djuanda yang berprofesi sebagai dosen STEKPI.
Ketua Majelas Hakim M. Mahfud MD mengatakan permohonan uji materi tersebut tidak dapat dikabulkan karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut.
"Dalil pemohon bahwa pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pasal 9 ayat 1 huruf g UU PPh 2008 bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28B ayat 1, dan pasal 28H ayat 1 UUD 1945 tidak terbukti sehingga oleh sebab itu permohonan tidak beralasan," katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno di gedung MK hari ini.

MK berpendapat bahwa pengaturan PTKP merupakan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang diwajibkan kepada setiap WN tanpa dikaitkan dengan upah minimum.

Kesimpulan
Penulis sendiri tetap berpendapat, seperti yang pernah penulis tulis di postingan sebelumnya bahwa dapat terjadi masalah ketidakadilan dalam PPh OP dan PTKP hanyalah salah satu permasalahan ketidakadilan selain beban istimewa lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa peraturan PPh OP di Indonesia sangat kurang dan berakibat kurangnya penerapan prinsip keadilan bagi WP OP.

Catatan :
Ternyata penulis tidak sendirian dalam hal masalah keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, gugatan ini menunjukkan ada yang menganggap bahwa PPh OP mempunyai masalah ketidakadilan Silahkan liat di posting sebelumnya tentang PPh OP dan ketidakadilan pajak


Referensi :
- Besaran PTKP dipermasalahkan, gugatan atas PTKP di mahkamah konstitusi
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00573169/besaran.ptkp.dipermasalahkan

- Ada peluang PTKP dinaikkan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03480286/ada.peluang.ptkp.dinaikkan

- Membayar Pajak tidak perlu kaya dulu serta putusan MK atas uji materi bagi PTKP
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/20/1412240/Dirjen.Pajak.Bayar.Pajak.Tak.Perlu.Kaya.Dulu

- MK tolak uji materi UU PPh
http://news.antara.co.id/arc/2009/3/20/mk-tolak-uji-materi-uu-pph/

- MK tolak permohonan uji materi soal PPh
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id109370.html