Monday, April 6, 2009

PTKP dan Masalah Ketidakadilan Pajak dari gugatan hingga putusan MK

Berita tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dipermasalahkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) di Indonesia, sudahkah PTKP memberikan keadilan bagi Wajib Pajak? Menkeu sendiri dalam tanggapannya menyatakan bahwa PTKP sudah memberikan keadilan.

Uji materi tersebut diajukan karena pasal 7 ayat (1) dari UU Pajak Penghasilan (PPh) tentang PTKP, selain karena pasal 9 ayat (1), dirasa memberatkan beban hidup pemohon dengan menyatakan adanya pasal tersebut menyebabkan beban hidup pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup minimum.

PTKP di Indonesia
UU PPh menetapkan PTKP bagi WP OP untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sehingga WP OP mengurangi penghasilan netonya dengan PTKP yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya untuk menghitung pajak yang harus dibayar, penghasilan kotor WP OP dapat dikurangi biaya-biaya yang ia keluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan hingga Wajib Pajak mendapatkan penghasilan neto. Setelah itu, WP OP dapat mengurangkan PTKP untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Namun apakah jumlah PTKP tersebut telah memberikan keadilan? Ternyata ada beberapa permasalahan.

Pertama-tama, meski salah satu teori yang dianut dalam pemungutan pajak adalah teori gaya pikul yang menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang sehingga pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, PTKP pada dasarnya menyamaratakan semua WP OP kecuali status pernikahan dan jumlah tanggungan. Contoh perbedaan biaya hidup bisa dilihat dari penyamaan WP OP yang sakit dan yang sehat walau WP OP yang sakit-sakitan akan merasakan ketidakadilan bila PTKP yang ia dapatkan disamakan dengan PTKP orang yang sehat karena ia membutuhkan biaya besar untuk perawatan kesehatan.

Kedua, PTKP juga seakan-akan menganggap semua orang tidak memerlukan biaya untuk pendidikan. Seorang Wajib Pajak yang bekerja secara profesional seperti programmer, dosen atau pengacara membutuhkan pendidikan berkelanjutan untuk menambah ilmunya dan dengan peraturan PTKP, mereka tidak dapat mengurangi biaya pendidikan mereka untuk mengurangi pajak. Bagi Wajib Pajak yang berkeluarga, biaya pendidikan yang jauh lebih besar dibutuhkan untuk anak mereka yang sedang kuliah sedangkan dalam PTKP tidak ada perbedaan demikian.

Ketiga, penyesuaian jumlah PTKP berdasarkan UU PPh dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PTKP harus selalu sesuai dengan keadaan contohnya dengan tingkat inflasi. Penyesuaian jumlah PTKP yang tidak tepat waktu dapat menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.

Keempat, PTKP tidak membedakan Wajib Pajak berdasarkan lokasi tempat tinggal. Dirjen Pajak dalam peraturan tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto secara tidak langsung mengakui adanya perbedaan biaya hidup antara Wajib Pajak yang tinggal di 10 ibu kota propinsi, kota propinsi dan tempat lainnya, sehingga Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Jakarta akan menanggung biaya usaha lebih besar dan membuat penghasilan netonya akan lebih kecil dibandingkan Wajib Pajak dengan usaha sama di Papua misalnya. Pembedaan ini ternyata tidak ada dalam PTKP sehingga tidak ada pembedaan PTKP antara Wajib Pajak di Jawa dan luar Jawa misalnya.

Perbandingan dengan negara lain
Di negara lain, PTKP dapat dibandingkan dengan allowance atau personal deduction atau personal relief kepada Wajib Pajak. Peraturan Pajak di Amerika Serikat memungkinkan Wajib Pajak mengurangkan biaya sekolah anak, biaya perawatan kesehatan, biaya bunga atas pinjaman rumah hingga pembayaran tunjangan istri (alimony payment). Hal yang sama juga dapat ditemukan di Eropa. Belanda, misalnya, mengijinkan adanya personal deduction bagi WP OP atas bunga pinjaman rumah yang ditempati Wajib Pajak serta biaya medis bagi masalah cacat tubuh.

Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memberikan hal yang sama bagi Wajib Pajak, bahkan kedua negara tersebut sama-sama memberikan personal relief yang cukup lengkap sebagai pengurang pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki anak dengan cacat tubuh. Singapura bahkan mengijinkan Wajib Pajak menerima personal relief khusus bagi Wajib Pajak yang merawat orang tua yang cacat. Jumlah personal relief di Singapura juga dibedakan berdasarkan umur. Malaysia selain memberikan hal-hal yang tersebut diatas, juga memberikan personal relief khusus bagi anak kandung yang cacat dan melanjutkan pendidikan tinggi serta beragam personal relief lainnya termasuk relief atas pendidikan lanjutan bagi Wajib Pajak biasa.

Dapat kita simpulkan bahwa peraturan pajak, khususnya dalam hal PTKP, sudah jauh tertinggal dibanding negara lain serta memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Peraturan yang lebih baik dalam hal PTKP akan sanggup menambah kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal inilah yang perlu dipahami tidak hanya bagi Wajib Pajak tapi juga bagi pemerintah dan hakim di mahkamah konstitusi yang akan memberikan putusannya.

Putusan MK
MK akhirnya mengeluarkan putusan dan menolak gugatan atas PTKP dimana majelis hakim MK menolak uji materi terhadap UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi itu diajukan oleh DR Gustian Djuanda yang berprofesi sebagai dosen STEKPI.
Ketua Majelas Hakim M. Mahfud MD mengatakan permohonan uji materi tersebut tidak dapat dikabulkan karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut.
"Dalil pemohon bahwa pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pasal 9 ayat 1 huruf g UU PPh 2008 bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28B ayat 1, dan pasal 28H ayat 1 UUD 1945 tidak terbukti sehingga oleh sebab itu permohonan tidak beralasan," katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno di gedung MK hari ini.

MK berpendapat bahwa pengaturan PTKP merupakan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang diwajibkan kepada setiap WN tanpa dikaitkan dengan upah minimum.

Kesimpulan
Penulis sendiri tetap berpendapat, seperti yang pernah penulis tulis di postingan sebelumnya bahwa dapat terjadi masalah ketidakadilan dalam PPh OP dan PTKP hanyalah salah satu permasalahan ketidakadilan selain beban istimewa lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa peraturan PPh OP di Indonesia sangat kurang dan berakibat kurangnya penerapan prinsip keadilan bagi WP OP.

Catatan :
Ternyata penulis tidak sendirian dalam hal masalah keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, gugatan ini menunjukkan ada yang menganggap bahwa PPh OP mempunyai masalah ketidakadilan Silahkan liat di posting sebelumnya tentang PPh OP dan ketidakadilan pajak


Referensi :
- Besaran PTKP dipermasalahkan, gugatan atas PTKP di mahkamah konstitusi
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00573169/besaran.ptkp.dipermasalahkan

- Ada peluang PTKP dinaikkan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03480286/ada.peluang.ptkp.dinaikkan

- Membayar Pajak tidak perlu kaya dulu serta putusan MK atas uji materi bagi PTKP
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/20/1412240/Dirjen.Pajak.Bayar.Pajak.Tak.Perlu.Kaya.Dulu

- MK tolak uji materi UU PPh
http://news.antara.co.id/arc/2009/3/20/mk-tolak-uji-materi-uu-pph/

- MK tolak permohonan uji materi soal PPh
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id109370.html

No comments: