Showing posts with label Yurisprudensi Pajak. Show all posts
Showing posts with label Yurisprudensi Pajak. Show all posts

Tuesday, August 12, 2014

Taxpayer and constitutional right in Constitutional Court

Taxpayer and constitutional rights, should we go to Constitutional Court for judicial review?

The taxpayer, PT Cotrans Asia, has challenged article 23(2) of Income Tax Law (ITL) about withholding tax which is deemed to be causing loss on the taxpayer's constitutional rights or have potential to cause loss for the taxpayer as a company in shipping service. The article 23(2) of ITL stipulates:
" Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri  Keuangan".

or in English version
"Further provisions concerning other types of services as referred to in paragraph (1) letter c number 2 is regulated by or under the Minister of Finance".

Taxpayer  argued to the Court  that the article 23(2) of ITL should be tested using article 22A, 28D, 28I of Undang-Undang Dasar 1945 (1945 Constitution) which state, among others, that everyone has the right to get freedom from discriminating treatment and has the right to get protection from the discriminating treatment.
Further, taxpayer's argument also mentions several things including the fact that Directorate General of Taxation (DGT) has no right to determine characteristics for shipping services if it is again other Law, e.g. Shipping Law. Additionally DGT should follow other Laws and regulation in its ruling which may determine business characteristics.

Accordingly, taxpayer is of opinion that article 23(2) of ITL should be declared as non binding if it is interpreted without considering other Laws in Indonesia.

During hearing process, taxpayer added that one of the problems due to article 23(2) of ITL is DGT may interpret that article 23(2) or article 15 should apply for shipping service. The panel of judges questions if the main issue is actually on the Regulation of Ministry of Finance, if yes, the Constitutional Court is not the right place.  It is indeed interesting to see the opinion from the panel of judges in the hearing process.

Previously other taxpayer has filed judicial review regarding PTKP or other tax allowance and rejected by the Court, could this taxpayer win the case?

Versi Indonesia

Wajib Pajak dan hak konstitusional,  haruskah kita pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review?

Wajib pajak, PT Cotrans Asia, telah menantang pasal 23 (2) dari UU PPh (yang dianggap menyebabkan kerugian hak konstitusional wajib pajak atau memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian bagi wajib pajak sebagai perusahaan dalam pengiriman layanan. Pasal 23 (2) UU PPh menetapkan:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan".

Wajib Pajak telah menyatakan kepada Majelis bahwa pasal 23 (2) UU PPh harus diuji menggunakan pasal 22A, 28D, 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, antara lain, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dari perlakuan diskriminatif dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif.

Selanjutnya, argumen wajib pajak juga menyebutkan beberapa hal termasuk fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memiliki hak untuk menentukan karakteristik untuk jasa pengiriman jika lagi UU lainnya, misalnya UU Pelayaran. Selain itu DJP harus mengikuti Hukum lainnya dan peraturan dalam keputusannya yang dapat menentukan karakteristik bisnis.

Dengan demikian, wajib pajak berpendapat bahwa pasal 23 (2) dari UU PPh harus dinyatakan sebagai non mengikat jika ditafsirkan tanpa mempertimbangkan Hukum di Indonesia.

Selama proses sidang, wajib pajak menambahkan bahwa salah satu masalah karena pasal 23 (2) dari UU PPh adalah DJP dapat menafsirkan bahwa pasal 23 (2) atau pasal 15 UU PPh harus berlaku untuk layanan pengiriman. Majelis hakim pertanyaan jika masalah utama adalah benar-benar di Peraturan Menteri Keuangan, jika ya, Mahkamah Konstitusi bukanlah tempat yang tepat. Hal ini memang menarik untuk melihat pendapat dari majelis hakim dalam proses persidangan.

Sebelumnya wajib pajak lainnya telah mengajukan judicial review mengenai PTKP atau tunjangan pajak lainnya dan ditolak oleh Pengadilan, bisa wajib pajak ini memenangkan kasus ini?

Note: the original version is in English, the second one is to help some readers

Thursday, January 30, 2014

Asian Agri dan ulasan atas putusan Mahkamah Agung – Pajak Internasional

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Asian Agriterbukti bersalah menarik perhatian banyak orang di akhir tahun 2012 dan sampai sekarang, permasalahannya belum terbukti karena masalah penggelapan pajak belum selesai.  Bahkan di bulan Januari 2013 ini Kejaksaan Agung dan juga Direktorat Jenderal Pajak berusaha menagihpembayaran denda. 

Tulisan ini akan melihat putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012 yang selama ini belum banyak diperhatikan untuk melihat pertimbangan yang dipakai hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan tersebut.

1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut  dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur  yang sudah menjalani penahanan sejak Desember 2010.

2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan pajak di beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya tax planning meeting yang membahas perencanaan untuk mengecilkan pajak. (Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat karena tax planning tidak sama dengan tax evasion).

3.  Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 :

A. Rekayasa keuangan internasional disebutkan sebagai berikut, sebagaimana dikutip dibawah ini:
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer. Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual.
Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya ;

B. Rekayasa keuangan dalam negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya management fee.  Disebutkan lebih lanjut, dalam halaman  :

BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat dengan MEMO VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.

BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss". Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss.

BIAYA MANAJEMEN FEE, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak

C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.  Hal ini menimbulkan kerugian yang dijelaskan dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan negara berupa sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

4. Pajak Internasional
Penulis tidak dapat berkomentar tentang pembuktian atas pelaporan keuangan yang tidak seharusnya karena itu merupakan pembuktian di persidangan di hadapan para hakim, sebagai contoh dalam hal biaya jakarta dengan memo voucher. Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang mengapa sanksi pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal pembuktian dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam kasus ini.  

Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan dengan pajak internasional dan dianggap sebagai pendukung penggelapan pajak seperti berikut:

-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah perusahaan di luar negeri seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.  Begitu juga dengan perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta perusahaan di British Virgin Island yakni  Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak dijelaskan apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat diperkirakan merupakan perusahaan terkait karena nama Asian Agri.  
Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan SPV dan melakukan under invoicing.

-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait apakah hal sebaiknya peraturan yang diterapkan seharusnya merupakan peraturan transfer pricing sebagaimana diatur misalnya dengan Per DJP No. PER - 32/PJ/2011 tentang  penerapan Arm's Length Principle dalam related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer pricing dan tax evasion yang sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat putusan seperti ini.

-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah sesuai dengan standar akuntansi atau merupakan satu financial engineering yang merupakan satu penggelapan pajak.  Penentuan harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa yang dipakai dalam ekspor komoditas.  Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam hal harga pasar produk komoditas oleh pihak independen.  Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, dijelaskan bahwa  yang  telah terjadi adalah hedging fiktif.

-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee"). Umumnya hal ini menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya merupakan related party transaction.

Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management fee termasuk management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962 halaman 198).  Tidak dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan hubungan istimewa.

Mungkin diperlukan peraturan yang lebih jelas mana yang dapat digolongkan tax evasion dan mana tax avoidance dimana transfer pricing seharusnya merupakan bagian dari tax avoidance dan bukan tax evasion. Hal ini mungkin dapat dilihat dalam kasus Dolce Gabana seperti diberitakan disini dan disini  sehingga wajib pajak dapat memiliki kepastian hukum lebih besar lagi. 

Sunday, October 17, 2010

Keterbukaan Informasi Pengadilan Pajak

Harian Kontan, 13 Oktober 2010, halaman 23



Pengadilan Pajak yang berperanan penting dalam sengketa perpajakan terkait dengan rencana reformasi pajak oleh pemerintah. Reformasi dapat mencakup pengawasan atas majelis hakim serta keterbukaan atas sengketa perpajakan. Pengadilan Pajak sampai saat ini masih menutup akses kepada publik atas putusan yang telah dibuat meski pemerintah telah mengesahkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang memungkinkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya. Ketertutupan ini ditengarai memungkinkan terjadinya penyimpangan seperti kasus Gayus dan kerugian lain bagi pemerintah dan masyarakat.


Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak banyak mendapat sorotan terutama setelah kasus Gayus mencuat dan bahkan Gayus mengakui di pengadilan bahwa ia membantu Wajib Pajak (WP) dalam proses banding di Pengadilan Pajak.

Salah satu cara untuk menguji kebenaran pengakuan Gayus adalah dengan menguji putusan majelis hakim Pengadilan Pajak yang tidak dibuka kepada umum. Belum lama ini ketua Pengadilan Pajak mengatakan meskipun masyarakat boleh melihat proses pengadilan namun untuk putusan perkara, tidak semuanya boleh dibaca publik karena banyak rahasia dari perusahaan yang berperkara (detik.com. 4 Agustus 2010). Pendapat yang sebenarnya bertentangan dengan UU KIP, pasal 18, yang menyatakan bahwa putusan peradilan merupakan informasi publik.


Proses Peradilan

Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak dimana WP dapat mengajukan Banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak. Banding diajukan WP terhadap keputusan keberatan yang dibuat oleh DJP sedang Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau keputusan perpajakan. Proses banding menjadi semakin penting karena berdasar UU No. 28 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), pasal 27 ayat 5d, dikatakan bahwa dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding.

Pengadilan Pajak terdiri atas beberapa majelis hakim yang dapat saja membuat keputusan yang berbeda atas kasus yang sama jika putusan pengadilan pajak tidak dibuka untuk umum. Putusan yang terbuka dapat meningkatkan pengawasan oleh masyarakat, pemerintah serta Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim Pengadilan Pajak termasuk di hakim luar Jakarta karena adanya rencana pemerintah membuka Pengadilan Pajak di daerah.


Yurisprudensi Pajak

Indonesia tidak menganut common law yang dipakai di Inggris dimana putusan hakim dapat menjadi case law berupa yurisprudensi bagi putusan lainnya namun dalam hal perpajakan yurisprudensi tetap dapat dipakai di Indonesia

Hakim Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk membuat putusan atas kasus yang belum ada hukumnya tetapi telah masuk ke pengadilan. Keputusan hakim tersebut menjadi dasar putusan hakim lainnya di Pengadilan Pajak yang mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang sama dan selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan sehingga mengurangi disparitas putusan hakim dalam perkara yang sama (Kaidah Hukum Yurisprudensi, Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004).

Meskipun ketua Pengadilan Pajak menegaskan tidak akan membuka putusan Pengadilan Pajak namun sebagian putusan telah dapat dilihat dalam buku Putusan Pengadilan Pajak yang diterbitkan oleh Sekretariat Pengadilan Pajak. Buku tersebut dapat menunjukkan kepada masyarakat beberapa hal seperti penyebab sebagian besar banding dimenangkan oleh Wajib Pajak, menguji kualitas pemeriksaan serta putusan keberatan yang dilakukan DJP, menguji putusan majelis hakim Pengadilan Pajak serta dapat berfungsi sebagai yurisprudensi pajak di Indonesia.

Majelis hakim yang berbeda di Pengadilan Pajak seharusnya memberikan putusan yang sama atas masalah yang sama sehingga pembukaan putusan dapat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengacu pada putusan Pengadilan Pajak dan juga majelis hakim bersangkutan untuk mengacu putusan majelis yang lain agar dapat membuat putusan yang sama. Masyarakat dan pemerintah dapat segera menguji apakah majelis yang satu membuat keputusan yang berbeda dengan majelis hakim lainnya dalam perkara yang sama baik bagi majelis hakim pada Pengadilan Pajak di Jakarta atau daerah lainnya.

Putusan yang dibuat Pengadilan Pajak sebenarnya merupakan yurisprudensi yang belum berkekuatan hukum tetap karena pihak yang bersengketa masih dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Putusan PK di MA yang dapat menjadi yurisprudensi pajak yang berkekuatan hukum tetap bahkan telah dibuka di situs resmi MA sebagai bagian dari peradilan Tata Usaha Negara sehingga terasa janggal jika MA telah membuka putusannya namun Pengadilan Pajak malah menutup diri atas putusan yang dibuat.

Bagi DJP atau Badan Koordinasi Fiskal yang akan menjadi pembuat peraturan perpajakan, putusan hakim dapat menjadi dasar untuk memperbaiki peraturan yang kurang memadai.

Keterbukaan Informasi

UU KIP, dalam pasal 18, pada dasarnya meminta pemerintah membuka putusan badan peradilan yang termasuk dalam informasi publik yang wajib dibuka kepada masyarakat. Bahkan masyarakat, sesuai pasal 4 (4), dapat mengajukan gugatan kepada pemerintah jika mendapat hambatan dalam memperoleh putusan pengadilan pajak.

Keterbukaan informasi dalam putusan badan peradilan selain telah diterapkan oleh MA seperti disebut diatas juga telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam situsnya.


Kesimpulan

Pemerintah wajib segera membuka putusan Pengadilan Pajak kepada publik tidak hanya karena UU KIP tapi juga karena putusan tersebut merupakan yurisprudensi pajak yang diperlukan dan bahkan telah dilakukan oleh MA. Keterbukaan atas putusan Pengadilan Pajak dapat meningkatkan pengawasan masyarakat, pemerintah dan juga Komisi Yudisial karena yurisprudensi pajak dapat meningkatkan kepastian hukum serta mengurangi penyimpangan di pengadilan pajak.


Catatan

- Ini adalah tulisan asli sebelum diedit (sedikit) oleh Harian Kontan

- Sayang sekali keterbukaan informasi dan yurisprudensi belum diterapkan dengan baik dalam Pengadilan Pajak.

- Contoh yurisprudensi pajak sebenarnya dapat berguna agar kasus yang sama tidak disidangkan berulangkali dan pemerintah dapat memperbaiki peraturan atas dasar yurisprudensi tersebut

- Di luar negeri, kekalahan pemerintah dalam Pengadilan Pajak membuat mereka dapat segera memperbaiki peraturan pajak, hal yang sepertinya belum ada di Indonesia

- Jika hal ini, yurisprudensi pajak tidak diperbaiki, beban Pengadilan Pajak akan semakin tinggi juga adanya kemungkinan penyimpangan karena putusan yang tidak dibuka.