Tuesday, June 29, 2010

Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing

Akhirnya Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan pedoman pemeriksaan atas Hubungan Istimewa (Transfer Pricing) yang akan menjadi pedoman bagi pemeriksa pajak dalam menjalankan pemeriksaan pajak dengan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor : S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010

Ada beberapa hal yang dicermati dalam S-153 tersebut diantaranya :
- penerapan prinsip kewajaran (arm’s length principle)
- pemilihan pembanding (comparables)
- penerapan prinsip kewajaran dalam pemeriksaan pajak

Beberapa penerapan praktis diantaranya:
- klasifikasi perusahaan menurut KLU atau klasifikasi industri dalam penggunaan pembanding
- perbedaan kegiatan manufaktur dalam (i) manufaktur fungsi penuh, (ii) contract manufacturer dan (iii) toll manufacturer.
- perbedaan kegiatan distribusi kedalam (i) distributor fungsi penuh (ii) terbatas dan (iii) resiko – rendah – komisioner
- kewajaran penggunaan jasa atau intangible property dari pihak afiliasi (related party) seperti jasa manajemen dan royalty.
- penggunaan pertukaran informasi dengan treaty partner untuk pemeriksaan

Yang bisa menjadi pertanyaan adalah sejauh mana sosialisasi dari S-153 ini bagi aparat pajak? Selain itu kenapa hanya berupa surat dan tidak memberi penegasan berupa peraturan pajak yang lebih kuat seperti peraturan dirjen pajak?

Tuesday, June 15, 2010

Sanksi Perpajakan atas Gayus

Baru saja diberitakan bahwa polisi menyita uang tunai sebanyak Rp 60 milyar milik Gayus Tambunan diluar Rp 30 M yang ada di rekening bank sebelumnya.
Apa sanksi atas permasalahan ini?

Kasus Gayus Tambunan menarik perhatian masyarakat Indonesia sejak Maret 2010 terutama sejak Susno Duadji mengungkapkan keterlibatan Gayus dalam kasus pajak skala besar yang bermula dari laporan PPATK tentang rekening mencurigakan.
Sekarang Gayus telah ditahan setelah sebelumnya sempat melarikan diri ke Singapura bersama anak istrinya. Kasusnya dapat dipastikan akan diproses dengan hukuman pidana oleh polisi berdasarkan Hukum Pidana.

Sanksi pajak atas korupsi
Namun bagaimana dengan sanksi pajak? Ada beberapa pasal yang dapat dikenakan kepada Gayus :

A. Hasil korupsi dapat digolongkan sebagai

“tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak (Pasal 4 ayat 1 huruf p UU PPh)”

B. Penghasilan dari korupsi merupakan objek pajak sehingga Gayus tetap harus membayar pajak atas penghasilan yang diterimanya tersebut.
Jika menggunakan tarif tertinggi, atas penghasilan diatas Rp 500 juta maka dari sekitar Rp 30 milyar yang belum dilaporkan akan terutang pajak sebesar Rp. 9 milyar.

C. Sanksi atas penghasilan yang tidak dilaporkan
Dalam kasus ini Gayus tidak melaporkan dan mengisi SPT secara benar sehingga dapat dikenakan sanksi perpajakan.
Pasal 39 ayat (1) UU KUP mengatakan

Setiap orang yang dengan sengaja:
.......
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Tapi apakah hakim akan menggunakan sanksi tersebut?
Yang jelas sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak dapat mengenakan sanksi tersebut, pasal 39 ayat (1) UU KUP, kepada Gayus atau siapapun yang sebenarnya harus melaporkan penghasilan yang terutang termasuk dari hasil korupsi.


Sanksi pidana atas pajak yang belum dilaporkan dapat digunakan hakim dalam kasus Gayus sedang atas sanksi denda dapat dipakai Dirjen Pajak atas pajak yang belum disetorkan oleh Gayus.

Sebenarnya hal serupa dapat diterapkan atas kasus-kasus korupsi lainnya tidak hanya terbatas pada pegawai pajak.