Tuesday, December 29, 2015

Kebijakan ekonomi dan perpajakan di Indonesia di tahun 2015

Menjelang akhir tahun, perlu kita melihat kebijakan perpajakan yang telah dibuat di tahun 2015 :

Kebijakan ekonomi dan perpajakan 
Seperti diberitakan disini, ada kebijakan ekonomi yang sebagian menyangkut tentang perpajakan yang dibuat di tahun 2015 contohnya
- Pengesahan tax allowance dan tax holiday yang lebih cepat, 
 -Pembebasan PPN untuk impor alat angkut tertentu
- Pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir. 
 - Insentif untuk revaluasi aset

Pembuatan kebijakan ekonomi dilanjutkan dengan penerbitan aturan pajak contohnya atas revaluasi aset  lewat Peraturan Menteri Keuangan No: 191/PMK.010/2015 yang mendorong wajib pajak untuk melakukan penilain kembali atas aset mereka di tahun 2015 dan 2016 untuk dapat memperoleh keringanan pajak. Penghapusan pajak berganda dalam Real Estate Investment Trust (REIT). 



Untuk tax holiday, pemerintah juga memberi fasilitas bebas pajak selama maksimal 20 tahun dapat diberikan kepada industri pionir yang merupakan kenaikan dari sebelumnya hanya maksimal 10 tahun sesuai  PMK No. 159/PMK.010/2015 tanggal 14 Agustus 2015. Industri pionir mencakup, sebagai contoh, industri logam hulu, industri pengilangan minyak bumi,  industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, industri permesinan yang menghasilkan mesin industry atau industri pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).  

Tahun 2016
Selepas tahun 2015, apa yang akan dihadapi di tahun 2016? Tentunya tak lupa juga mengingat aturan thin capitalization berupa perbandingan 4:1 atas hutang dan modal yang efektif mulai berlaku tahun 2016

Bagaimana dengan UU Pajak untuk tahun 2016? Permasalahan utama diantara adalah kelanjutan revisi UU Pajak terutama UU KUP hingga UU atas Pengampunan Pajak. Dari draft UU KUP diketahui beberapa perubahan diantaranya pembukuan yang tidak lagi diperbolehkan menggunakan mata uang asing hingga perubahan sanksi jika sanksi yang dibayar sendiri.


Tuesday, November 17, 2015

Yurisprudensi dan Sengketa Pajak

Harian Kontan, 17 November 2015




Kasus keberatan pajak BCA, yang melibatkan mantan Dirjen Pajak, menimbulkan banyak polemik tentang sengketa pajak. Kasus ini sebenarnya adalah satu dari banyak sengketa perbedaan penafsiran hukum pajak di Indonesia karena tidak adanya atau kurangnya aturan pajak yang memadai atas satu masalah dalam pemeriksaan pajak.

Untuk tahun 2015, sengketa perbedaan penafsiran hukum pajak pasti akan meningkat karena target penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan naik sekitar 206% dibanding tahun sebelumnya (SE-09/PJ/2015).

Tulisan ini tidak memberikan penilaian atas putusan sengketa pajak, termasuk keberatan BCA, namun melihat permasalahan hingga manfaat yurisprudensi di Indonesia sebagai solusi atas semakin banyaknya sengketa pajak dari pajak penghasilan (PPh) hingga pajak daerah.

Hukum Yurisprudensi
Yurisprudensi dalam hukum dapat diartikan sebagai keputusan hakim terdahulu untuk menghadapi perkara yang tidak diatur dalam UU dan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim lainnya untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama meski perlu diingat hukum Indonesia berdasarkan civil law dan bukan common law.

Yurisprudensi disebabkan adanya peraturan yang tidak jelas dan masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan suatu perkara, contohnya dalam sengketa pajak dimana terjadi perbedaan penafsuran UU Pajak yang diselesaikan lewat banding di Pengadilan Pajak hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding.

Keputusan hakim yang berisi pertimbangan hukum dapat menjadi dasar putusan di kemudian hari untuk mengadili perkara dengan unsur-unsur yang sama. Putusan hakim tersebut dapat menjadi sumber hukum sebagai hukum yurisprudensi di Pengadilan, khususnya Pengadilan Pajak, untuk menghindari perbedaan putusan dalam perkara yang sama. Putusan MA untuk peninjauan kembali atas putusan banding Pengadilan Pajak dapat saja dipakai sebagai yurisprudensi terutama atas sengketa pajak yang belum jelas aturan hukumnya meski masih dapat diuji lebih lanjut secara akademis oleh MA.

Sengketa Pajak
Permasalahan keberatan BCA, diantaranya adalah piutang tak tertagih (non performing loan) yang kemudian dialihkan kepada BPPN yang juga dialami oleh bank lain.
Pertanyaannya adalah apakah piutang tak tertagih yang dialihkan ke BPPN dapat menjadi biaya bagi wajib pajak untuk mengurangi PPh sesuai pasal 6(1) huruf h UU PPh yakni (i) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersil, (iii) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta (ii) telah dibebankan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau BUPLN atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus,

Pada keberatan pajak BCA, DJP mengabulkan permohonan keberatan BCA dan memutuskan bahwa piutang tak tertagih itu dapat menjadi biaya pengurang PPh bagi Wajib Pajak.
Dalam kasus serupa, satu bank swasta mengajukan peninjauan kembali kepada MA atas putusan banding Pengadilan Pajak. Dalam putusan MA No. 32B/PK/PJK/2006 dijelaskan bahwa Pengadilan Pajak menerima pendapat DJP bahwa piutang macet yang telah dialihkan ke BPPN tidak dapat menjadi biaya pengurang PPh.

Dalam kasus lainnya, satu bank BUMD tidak dapat menjadikan piutang yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai biaya pengurang PPh. Dalam putusan Pengadilan Pajak No. PUT.28348/PP/M.X/15/2011, Majelis hakim juga menerima pendapat DJP bahwa piutang tak tertagih yang dialihkan kepada BPPN tidak dapat menjadi biaya pengurang PPh.

Untuk pajak daerah, kasus yang banyak disorot adalah sengketa pajak PT. Newmont Nusa Tenggara yang mendapatkan Surat Ketetapan Pajak Daerah dari Pemerintah Provinsi NTB yang menetapkan pajak daerah atas kendaraan bermotor dan bea balik nama atas Newmont sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Newmont beranggapan bahwa peraturan perpajakan baginya mengacu pada Kontrak Karya yang bersifat lex specialis sehingga aturan pajak mengacu pada aturan khusus pajak sesuai Kontrak Karya dan mengajukan banding atas Surat Keputusan Pajak tersebut.

Meskipun dalam putusan banding di Pengadilan Pajak, Pemprov NTB menang namun dalam putusan Peninjauan Kembali No. 21/B/PK/Pjk/2012, MA membalik putusan tersebut dan menerima argumentasi Newmont bahwa seharusnya pajak daerah yang berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak dapat diterapkan sebelum Kontrak Karya berakhir untuk memberikan kepastian hukum.

Manfaat Yurisprudensi
Bagi DJP, yurisprudensi atas penafsiran hukum pajak dapat dipakai sebagai acuan untuk membuat peraturan atas hal-hal yang belum diatur sehingga dapat memberikan kepastian hukum terutama saat pemeriksaan pajak, demikian juga dengan pajak daerah yang dikelola Pemda. Perbedaan penafsiran hukum pajak, seperti kasus di atas, tentunya lebih tepat untuk diputuskan oleh Pengadilan.
Yurisprudensi berguna agar masalah yang sama dan perbedaan interpretasi hukum tidak terulang lagi dalam sengketa pajak seperti pengalihan non performing loan, pajak daerah dalam kontrak karya hingga masalah tanggung renteng pengguna faktur pajak fiktif atau penghindaran pajak. Bagi wajib pajak, yurisprudensi memberikan kejelasan atas penafsiran atau penerapan aturan perpajakan.
Atas putusan pengadilan, DJP dapat membuat aturan untuk menyikapinya, seperti terbitnya SE-24/PJ/2014 setelah keluarnya putusan uji materi PPN barang pertanian di MA, No.70 P/Hum/2013
 
Kesimpulan
Perbedaan penafsiran hukum pajak memang sebaiknya diserahkan ke pengadilan namun pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan yurisprudensi sebagai dasar pembuatan aturan pajak terbaru untuk mengurangi sengketa pajak karena adanya kejelasan penafsiran hukum pajak bagi wajib pajak maupun petugas pajak untuk penegakan hukum pajak yang lebih baik. 

Catatan
- Tulisan diatas adalah tulisan sebelum disunting oleh redaksi Harian Kontan
- Dalam persidangan di Pengadilan Pajak, sebagai contoh, ada putusan yang berbeda untuk hal yang serupa atau bahkan sama sehingga tulisan ini dapat menjadi masukan

Friday, August 28, 2015

Something not certain in life, the story about international tax avoidance

We may have heard that there are two things certain in our life, namely death and tax but what if I tell you tax is not always certain in some fortunate circumstances as it has been enjoyed by some multinational companies as well as some wealthy people. 

The story is how we may see on how international tax avoidance could be legally done and cause double non taxation. It may sounds too good to be true, but the story below is definitely not a story from utopia land.

Death and Taxes
What are certain things in life? Benjamin Franklin, a former US President said in his letter, that "The only things certain in life are death and taxes,” and “in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.” His remarks are quite well known as it is used many times, for instance in this publication.

People still dream of a land or a country without tax, where people could live their joyful life and not paying tax or pay as low as they can be. The rich will become richer and could please themselves with the money they have. It may refer to the so-called tax haven or low tax jurisdiction where no tax or very low tax has to be paid. There are different definition for tax haven and it could be found in many countries which may also serve as financial offshore center.

OECD surveys shows that the happiest people on earth live in high tax country not in low tax country, it is supported by the fact that the tax money is used to support welfare system including healthcare, free education, infrastructures, public service etc.

But the question is, is it really true that tax is always certain in our life?
There is even a joke saying that death and taxes may be certain, but we don't have to die every year.

Tax Avoidance
Let me share a story about Starbucks, a well-known coffee brand famous worldwide.

Let us see what the famous companies, as multinational companies has done in the last decade.

Starbucks in the UK did not pay tax for many years, the reason is they suffer losses

Amazon sold lots of books in the UK as part of the company’s operation in Europe but the company could pay no tax in UK. Tax in here refers to both income tax and value added tax (VAT) or also known as GST.

Perhaps in lower level, Google has managed to pay much lower tax rate, with only

Because of public pressure in the UK, several companies decided to pay the tax to UK government

Story about Amazon and Starbucks
Based on investigation, it is found that Starbucks had made over £3bn in UK sales since 1998 but had paid less than 1% in corporation tax. For many years, Starbucks suffered losses, for 5 consecutive years until 2012 though the management claimed that the business is profitable

Starbucks, for example,had sales of £400m in the UK in 2012, but paid no corporation tax. It transferred some money to a Dutch sister company in royalty payments, bought coffee beans from Switzerland and paid high interest rates to borrow from other parts of the business.

Starbucks has said it isdown to where the company books its profits. Accounts filed for its British, German and French units, which make up 90 percent of European revenues, show a loss of $60 million in 2011, hence very little tax.

Amazon
The company was also underthe spotlight since 2012. Online retailer Amazon had generated sales of more than £7.6bn in the UK over the past three years until 2012 but had not paid any corporation tax on the profits from those sales.

Amazon employs hundreds of staff in the UK, at several large depots, selling tens of millions of items each year to millions of UK customers. (http://www.bbc.com/news/business-17625874 )


In 2012, also reportedthat Amazon.co.uk, Britain's biggest online retailer, generated salesof more than £3.3bn in the country last year but paid no corporationtax on any of the profits from that income and it is under investigation by the UK tax authorities despite the fact that It is reported that Amazon sells nearly one in four books sold in Britain

Amazon has a near monopoly of the UK digital book publishing market. According to reliable estimates, it sells nine out of 10 ebooks in the UK.

Amazon in UK operation pays 3% VAT on the sales of eBook to Luxembourg but not to UK Taxauthorities which applies 20% VAT. The price of ebooks in Britain is expected to plummet following a vote in Brussels this week that could cut VAT on them from 20 per cent to zero.


Amazon’s EU base is inLuxembourg and its customers in Britain are treated as buying theirgoods from there, even if they are distributed from a warehouse in Britain. Profit on sales to British shoppers is accounted for as a profit in Luxembourg.

Google
In 2012, it is known that despite generating $18 billion of revenue in Britain from 2006 to 2011, the Internet search giant paid only $16 million in taxes to British authorities or around 0,0056 %.

Google says it does not have a sales presence in Britain and therefore cannot be considered resident for tax purposes, lowering its obligations.

An investigation byReuters has shown that some of the 1,300 people employed by Google UK Ltd are engaged in sales-type work or have titles that suggest involvement in sales and marketing activities, but Google says it hires people with a sales background even if they are not directly involved in selling.

Google has faced fiercecriticism for designating its UK office as primarily a marketingoperation, apparently supporting its European base in Ireland. But a Reuters investigation alleged that Google's employees in the UK were actually responsible for sales and not their colleagues in Ireland.

Google brazenly arguedbefore this committee that its tax arrangements in the UK aredefensible and lawful. It claimed that its advertising sales take place in Ireland, not in the UK.
To avoid UK corporation tax, Google relies on the deeply unconvincing argument that its sales to UK clients take place in Ireland, despite clear evidence that the vast majority of sales activity takes place in the UK.

Apple sells to non-US customers from a base in Ireland, while Google has an Irish business though which the search giant’s UK sales are funneled.

A Mail on Sunday analysisin 2012 found that Apple, Amazon and Google would have paid more than £600million in corporation tax in 2010 if their sales to British customers had gone through a UK company. They actually paid £15million.

Apple Inc.
An investigation by theU.S. Senate showed that the maker of iPads and iPhones had paid just 2 percent tax on income of $74 billion over the past three years, largely by exploiting an unusual loophole in Ireland's tax code.

Apple sells to non-UScustomers from a base in Ireland, while Google has an Irish business though which the search giant’s UK sales are funnelled.

What do the companies do to deal with those issues?
Those companies abovementioned has to face boycott from the customers, name and shaming for the multinationals. Some of them had to deal with the parliament in UK and some of the videos could be seen on how to answer the questions.

Income Tax

Starbucks offered onWednesday to pay about £10 million ($16.05 million) a year incorporate taxes in Britain — or £10 million more than it paid last year. Starbucks said that in 2013 and 2014 it would refrain from claiming certain tax deductions that helped reduce its tax bill to zero in Britain over the last three years.

It seems unfair for domestic companies in the UK while multinational companies could escape income tax.

VAT

Tax Avoidance and Tax Evasion
The story is not always a rosy picture of how the companies or even a person could escape the certain thing in life, since Dolce and Gabbana from Italy was foundguilty of tax evasion and the duo has to go to prison for around 1 year 8 months after they transfer their famous brand to a subsidiary company in Luxembourg and accordingly accused for not declaring 1 billion euro of income.

The overall story serves as wake-up call to the government and the public about tax avoidance and its dangers.

People, the ones who tried to escape tax
What about a person? Could someone escape from tax?What about a criminal?
Let’s see the story of a notorious gangster from the US since even criminals have to pay tax

We may have heard the story of Al Capone. A story about a criminal arrested not by the police department or ordinary law enforcement but he was arrested by IRS, US Tax Authority after finding supporting documents and evidence that he did not pay tax on income he received from criminal activities.

Another story is from anyone receiving income from non legal activities or semi illegal activities also need to pay tax, including sex worker or drug dealer which lead to unique idea on how they should calculate their income by using deductible expenses:
a. A drug dealer was arrested in the Netherlands and tax authority alleged that he didnt pay for tax from his drug-dealing business. Because of it, the drug dealer claimed that he could use the purchased drugs as the cost of goods sold and he can use this as deductible expense. Due to this case, Dutch government changed the rule and stated that any expense related to crime could not be used as deductible expense.
b. Funny deductions for odd jobs which have to pay taxes as well
In the country where prostitution is legal, the woman working in that industry still have to pay income tax, and accordingly they claim that plastic surgeryt should be used as deductible expense for income tax calculation

It is the fact that criminal also have to pay the tax

Tax Evasion and US Tax Authority
In 2010, US Tax Authority or IRS has found that there were thousands of US taxpayer hiding their income or their money in Swiss banks and from that time the witchhunting began to find anyone committing tax evasion by the use of foreign offshore bank account.
As a result, like tax avoidance, tax evasion becomes more and more difficult. It is due to more complicated compliance program for the taxpayers.

Conclusion
At the end, could we say that tax is something certain? There are ways to escape or avoid taxes legally, as loopholes, but it is a fact that chances are we have to deal with it and we do have to pay tax.

In the last few years, when we have to prepare our tax returns, we could remember this that tax is certain not only for company but also for any person. At the end, I say that it is true, tax is as certain as death while it is also a fact that some loopholes could be found in any legal system in any country. 

 ============
Note :  
-The story above is taken from my speech project for Toastmaster Club 
-The previous article about Base Erosion and Profit Shifting dan pengaruhnya bagi Indonesia has been based on similar issues about tax avoidance and it explained that Indonesia also faces similar issues about BEPS.

Monday, August 10, 2015

Tutorial Belajar Pajak Indonesia

Belajar pajak tidak cuma lewat buku karena sekarang belajar pajak bisa lewat video baik lewat account resmi milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun lewat account non DJP yang sama-sama menjelaskan tentang perpajakan Indonesia.

DJP telah membuat account resmi di youtube yang berisi beraneka rupa program DJP termasuk tutorial atas program pajak seperti e-faktur, e-filing atau e-spt.
Tentunya tutorial akan lebih memudahkan wajib pajak bahkan bagi fiskus untuk memahami penggunaan program pajak secara elektronik

Perhatikan tutorial atas e-filing DJP dibawah ini



Hal ini akan memudahkan tidak hanya bagi Wajib Pajak di Indonesia namun juga Wajib Pajak yang berada di luar negeri, contohnya dari ekspatriat asal Indonesia, TKI hingga mantan Menkeu, ibu Sri Mulyani

Tidak hanya itu, tutorial e-faktur juga sangat membantu karena menjelaskan cara penggunaan aplikasi e-faktur dalam langkah-langkah mulai dari instalasi hingga pembatalan faktur. E-faktur yang menjadi topik panas belakangan ini diterangkan seperti dalam video tutorial berikut ini



Perlu dicatat bahwa e-faktur pada akhirnya akan diterapkan secara nasional dan mulai diterapkan di Jawa dan Bali sejak bulan Juli 2015.

Video Tutorial dari HMRC UK (Inggris)
Otoritas pajak di Inggris, HM Revenue and Customs, juga memiliki account youtube serupa yang memberikan video tutorial atas program aplikasi pajak di Inggris.

Sebagai contoh, dibawah ini adalah video tutorial e-filling di Inggris


Melihat video tutorial diatas, saya dapat memahami perbedaan antar perhitungan pajak di Indonesia dan Inggris. Dapat dikatakan perhitungan pajak di Inggris jauh lebih rumit dari Indonesia.

Dapat dilihat bahwa account youtube HMRC mempunyai lebih dari 7900 subscriber namun account youtube DJP hanya memiliki sekitar 780 subscriber pada saat tulisan ini dibuat.

Perlu diingat bahwa video youtube dapat disaksikan secara offline di perangkat elektronik seperti smartphone dan tablet.

Kesimpulan
DJP sudah membuat hal yang baik dengan video tutorial yang bagus namun mungkin diperlukan lebih banyak sosialisasi agar account youtube tersebut dapat dilihat dan dikenal banyak orang.

Friday, July 31, 2015

Jaminan Sosial, Iuran Wajib dan Perubahan Peraturan PPh 21 di tahun 2015

Dapat dipastikan bahwa profesional pajak, konsultan pajak hingga petugas pajak yang berhubungan dengan PPh 21 atas penghasilan karyawan akan mengalami banyak pekerjaan tambahan karena di tahun 2015, perhitungan PPh 21 mengalami banyak perubahan berarti  karena adanya peraturan baru khususnya pada bulan Juni dan  Juli 2015.

Kenapa? Demikian alasannya: 

A.PTKP
Seperti sudah dijelaskan pemerintah sebelumnya, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan menjadi sebesar 3 juta rupiah sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.  122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 sehingga jumlah PTKP untuk Wajib Pajak selama setahun adalah sebesar : 

-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
-Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
-Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
-Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Berlaku surut
PTKP baru ini berlaku surut sehingga mulai berlaku awal tahun 2015 atau tepatnya Januari 2015 sehingga dipastikan akan terjadi kelebihan pembayaran PPh 21 dari Januari hingga Juni 2015 yang akan dikompensasikan ke bulan berikutnya lewat pembetulan SPT Masa PPh 21 pada bulan-bulan tersebut, selain itu dapat saja terjadi karyawan dengan upah UMR menjadi tidak terutang pajak dengan adanya PTKP baru di tahun 2015. 

Sebagai catatan, PTKP mengalami perubahan dari masa ke masa, sebagaimana dijelaskan disini, dari mulai Rp. 960.000  untuk WP OP di tahun 2009, sebesar Rp. 15.840.000 untuk WP OP hingga sekarang sebesar Rp. 36.000.000,- di tahun 2015

B. BPJS Kesehatan
Mulai 1 Januari 2015 semua perusahaan wajib mengikutsertakan karyawan dalam program BPJS Kesehatan, namun persentase iuran peserta BPJS meningkat sejak Juli 2015 berdasarkan Perpres No. 111 tahun 2013, tepatnya sesuai pasal 16 C, sehingga Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 adalah sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan perhitungan:
- 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
- 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.

Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri  sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 (satu) orang anak. Oleh karenanya maka jumlah PTKP yang baru seperti diatas akan membuat perubahan perhitungan iuran BPJS Kesehatan.  

Menariknya, perlu dicatat bahwa iuran ini juga berlaku bagi pekerja asing seperti ekspatriat yang tinggal lebih dari 6 bulan

c. Iuran Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Pemerintah telah menyetujui besar iuran pensiun BPJS sebesar 3 persen dari gaji pokok karyawan dengan porsi pembagian 2 persen dibayarkan oleh perusahaan dan 1 persen dibayarkan oleh pekerja seperti diberitakan disini.  Namun besaran iuran tersebut bakal direvisi secara bertahap selama tiga tahun sekali dan akan naik secara bertahap sampai 8 persen

Sebelumnya diberitakan pemerintah telah menyetujui iuran pensiun BPJS sebesar 8 % dari dari gaji pokok karyawan dengan iuran ini akan ditanggung pengusaha sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen.
 
d. Iuran wajib untuk Perumahan
Iuran perumahan  akan menjadi  iuran wajib sebagaiman telah direncanakan oleh pemerintah sehingga akan bersifat seperti iuran kepada  BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagaimana dijelaskan dalam berita dibawah ini,  rencana iuran perumahan akan menjadi demikian:
-Iuran wajib yang harus ditanggung pekerja dan pengusaha akan bertambah, iuran bulanan tabungan perumahan rakyat (Tapera).

-DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan targetnya, pemerintah dan DPR bisa mengesahkan RUU Tapera pada tahun ini.
RUU Tapera ini mewajibkan seluruh pekerja swasta dan wiraswasta menjadi peserta Tapera. Kewajiban ini tertuang dalam dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Tapera.

- RUU Tapera menetapkan besaran iuran tabungan perumahan sebesar 3% dari upah setiap bulan. Batas maksimal basis gaji yang dipungut iuran itu adalah 20 kali dari upah minimum. Dari porsi iuran itu, sebesar 2,5% akan ditanggung pekerja, dan 0,5% ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja.
Perlu dicatat, jumlah batasan adalah tergantung upah minimum sehingga dapat diartikan jumlahnya dapat tergantung lokasi dimana karyawan bekerja yakni sesuai Upah Minimum Regional atau Upah Minimum Propinsi.

Aturan Pajak atas perubahan yang terjadi
Perubahan aturan diatas pastinya akan berpengaruh pada perhitungan PPh 21 seperti dijelaskan dibawah ini:
-Perubahan PTKP
Sesuai pasal 7 UU PPh, wajib pajak orang pribadi dapat menggunakan PTKP sebagai pengurang pajak.

-Perubahan iuran asuransi kesehatan kepada BPJS
Premi asuransi kesehatan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan sesuai pasal 9(1) UU PPh jika  premi asuransi kesehatan, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

-Perubahan iuran dana pensiun
Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Menkeu dapat menjadi pengurang penghasilan dari penghasilan kena pajak sesuai pasal 6(1c) UU PPh sehingga akan mempengaruhi perhitungan PPh orang pribadi. 

-Iuran Tapera
Jika iuran tapera dibayarkan pemberi kerja maka dapat dihitung sebagai penghasilan bagi karyawan sebaliknya iuran tapera yang dibayarkan karyawan belum tentu dapat menjadi pengurang penghasilan.

Kesimpulan
Perubahan peraturan akan memberi banyak pekerjaan kepada praktisi pajak, konsultan pajak hingga pegawai pajak sendiri. Bagi praktisi pajak, mereka perlu menghitung ulang PPh 21 perusahaan atau orang pribadi pemberi kerja, melakukan pembetulan SPT Masa PPh 21 dari Januari sampai Juni
Bagi fiskus, pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak 2015 dapat membuat mereka menghitung ulang pengaruh perbedaan PPh 21 berdasar aturan lama dan baru.
 
Penulis sendiri berharap agar pedoman teknis perhitungan PPh 21 dapat diubah berupa revisi atas Per DJP No. PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh 21 dan 26.

Tuesday, June 9, 2015

Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak (English and Indonesian version)

Harian Kontan, Selasa, 9 Juni 2015




(Versi Indonesia) 
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak  

Pemerintah akan menerbitkan aturan Debt to Equity Ratio (DER) dengan rasio 4:1 yang akan membatasi hutang luar negeri sehingga hutang dibatasi sebesar 4 kali modal dengan perkecualian sektor tertentu seperti perbankan serta pertambangan dan direncanakan berlaku mulai tahun 2016, dikatakan bahwa salah satu alasan terbitnya DER adalah karena kekuatiran atas pinjaman luar negeri yang terus meningkat (Kontan, 1 Juni 2015). Di tahun 1984, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan serupa dengan rasio sebesar 3:1 lewat KMK No. 1002/KMK.04/1984 untuk kepentingan pajak namun dicabut 5 bulan kemudian karena adanya berbagai penolakan dari pelaku usaha.  Apa sebenarnya permasalahan atas aturan DER ini di Indonesia ?   

Penghindaran pajak
Aturan DER dibuat di banyak negara karena otoritas pajak menemukan penghindaran pajak dengan  beban bunga yang berlebihan  atas hutang dari pihak  terafiliasi, khususnya yang berada di luar negeri dan bukan dibuat karena kekuatiran atas hutang luar negeri. 

Selain aturan DER, untuk mengatasi penghindaran pajak lewat beban bunga yang berlebihan, penerapan aturan transfer pricing dengan pendekatan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) atas kelayakan dari pemberian pinjaman juga dapat digunakan. 

Beban bunga atas pinjaman dari pihak terafiliasi yang melebihi rasio yang ditetapkan lewat aturan DER, atau sering disebut aturan thin capitalization,  tidak dapat menjadi beban pengurang pajak penghasilan (PPh) namun beban bunga tersebut dapat tetap sepenuhnya terutang withholding tax. 

Tiap negara dapat memiliki rasio berbeda untuk DER, contohnya rasio DER sebesar 1,5: 1 untuk perusahaan umum dan 15:1 untuk jasa keuangan di Australia hingga rasio 2:1 untuk perusahaan umum dan 5:1 untuk lembaga keuangan di Tiongkok.  Aturan DER di negara lain diterapkan atas pinjaman dari pihak terafiliasi, terutama pemegang saham,  serta berada  di luar negara yang bersangkutan.  Ada pertimbangan khusus jika satu perusahaan mempunyai jasa keuangan dan bukan kegiatan usaha non keuangan maka rasio DER atas atas usaha umum mungkin dapat digunakan. 

Aturan DER ini dapat berpengaruh, contohnya, pada struktur permodalan anak perusahaan dari perusahaan asing dalam investasi di satu negara., penilaian hutang hingga transaksi merger dan akuisisi.

Untuk memenuhi aturan DER, perusahaan dapat merubah hutang menjadi modal untuk memenuhi aturan tersebut dimana ada beberapa permasalahan yang harus dipertimbangkan, contohnya,  waktu dan bentuk rekapitalisasi atau perubahan modal, withholding tax, peraturan transfer pricing hingga perhitungan penghasilan atau rugi selisih kurs menurut PPh.

Peraturan transfer pricing
Cara lain untuk menguji kewajaran tingkat pinjaman dari pihak terafiliasi di luar negeri, khususnya pemegang saham, adalah dengan aturan transfer pricing yang akan menguji  penerapan prinsip kewajaran usaha  dari beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham. 

Dalam praktek, Dirjen Pajak dapat mengujinya lewat pemeriksaan transfer pricing dengan tidak mengakui beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham jika masih ada modal yang belum disetor dari pemegang saham  sesuai akta pendirian perusahaan berdasarkan UU Perseroan Terbatas karena pinjaman tersebut dianggap sebagai modal yang belum disetor.  Selain itu, dapat juga diuji kewajaran tingkat bunga dan kewajaran pemberian pinjaman dengan menggunakan rasio DER wajib pajak.

Intinya adalah perolehan  hutang dari pihak terafiliasi di luar negeri harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kewajaran. Pertanyaannya adalah bagaimana jika prinsip kewajaran telah sepenuhnya diterapkan namun rasio perbandingan modal dan hutang lebih besar dari aturan  DER?

Permasalahan lain dapat terjadi jika perusahaan membayar guarantee fee  karena jaminan yang diberikan pemegang saham atas pinjaman yang diberikan kepada anak perusahaan. Ini menimbulkan pertanyaan,  dapatkah ini  juga  masuk dalam aturan DER atau cukup dengan aturan transfer pricing lewat prinsip kewajaran usaha. 

Peraturan di Indonesia
Peraturan DER didasarkan pada pasal 18(1) UU PPh yang menjelaskan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan PPh. Pasal tersebut, termasuk penjelasan pasal tersebut, tidak menerangkan bahwa rasio DER  diterapkan hanya atas pinjaman dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, seperti dijelaskan pasal 18(4), di luar negeri sehingga  berbeda dengan aturan DER di negara lain yang hanya diterapkan untuk pembatasan bunga pinjaman dari pihak terafiliasi khususnya di luar negeri. Jika demikian, hal ini dapat menimbulkan interpretasi bahwa pasal 18(1) tersebut mengatur pembatasan pinjaman diantaranya karena alasan ekonomi.

KMK No. 1002/KMK.04/1984 yang telah dicabut menjelaskan definisi hutang untuk perhitungan DER sebagai saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua hutang baik hutang jangka panjang maupun hutang jangka pendek, selain hutang dagang. Definisi modal untuk perhitungan DER, berdasarkan KMK tersebut, dijelaskan sebagai jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan.

KMK tersebut, seperti pasal 18(1) UU PPh, juga tidak menjelaskan bahwa penerapan rasio DER diterapkan hanya untuk pinjaman dari pihak terafiliasi sehingga penerapan aturan DER dapat disalahartikan sebagai pembatasan pinjaman luar negeri.

Kesimpulan
Aturan DER diperlukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak melalui beban bunga yang berlebihan atas pinjaman dari pihak terafiliasi di luar negeri  sesuai UU PPh dan bukan untuk membatasi  pinjaman luar negeri yang dilakukan wajib pajak. Perbaikan pasal 18(1)di UU PPh dapat dilakukan demi kejelasan dan kepastian hukum serta mencegah kesalahpahaman atas aturan DER. 

(English Version) 
 The Government will issue a rule for Debt to Equity Ratio (DER) with a ratio of 4: 1 which would limit foreign debt so that the debt is capped at four times the capital with the exclusion of certain sectors such as banking and mining, and planned to take effect in 2016. It is said that one of the reasons for the issuance of DER is due to concerns over foreign debt which continues to increase (Kontan Daily Newspaper, June 1, 2015). In 1984, the government in fact has issued a similar rule with a ratio of 3: 1 through KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 for tax purposes but revoked 5 months later due to a variety of refusal of businesses. What exactly is the problem on this DER rule in Indonesia?

Tax avoidance 

DER rules are made in many countries since the tax authorities find tax avoidance with excessive interest charges on loans from affiliated parties, especially those residing abroad and not made because of concerns over foreign debt.

In addition to DER rules, to address tax avoidance through excessive interest charges, the application of transfer pricing rules with the approach of the principles of fairness and the predominance of business (arm's length principle) on the feasibility of granting loans can also be used.

Interest expenses on loans from affiliated parties that exceed specified ratios through DER rules, or often called thin capitalization rules, can not be the deductible expense for income tax purpose but the interest charges can remain fully payable for withholding tax.

Each country may have different ratios for DER, for example DER ratio of 1.5: 1 for  general companies and 15: 1 for financial services in Australia up to a ratio of 2: 1 for general companies and 5: 1 for financial institutions in China. DER rules in other countries are applied for loans from affiliated parties, especially shareholders, and are outside the country concerned. There are special considerations if a company has the financial and non-financial business activities, in this situation the ratio of DER for general companies may be used.

DER rules could affect, for example, the capital structure of the subsidiaries of foreign companies for investment  in particular country, valuation of debt until various issues for mergers and acquisitions transactions.To meet DER rules, the company can change the debt into capital to meet the rules where there are several issues that must be considered, for example, time and form of recapitalization or changes in capital, withholding tax, transfer pricing rules to the calculation of earnings or losses in income tax. 

Transfer pricing regulations
Another way to test the reasonableness of the level of loans from affiliated parties abroad, especially shareholders, is the transfer pricing rules that will test the application of arm's length principles on interest expenses on loans from shareholders.

In practice, the Director General of Taxation can test through transfer pricing audit by not recognizing interest expense on loans from shareholders if they have not paid-up capital from shareholders in accordance to incorporation documents, or corporate deed,  based  on Limited Liability Company Act because the loan is considered as capital which has not been paid. In addition, it can also be tested on arm's length principle on the interest rate and the reasonableness of  the lending by using the ratio of DER taxpayer.

The point is the acquisition of loans from affiliated parties abroad should be done by applying the arm's length principle. The question is what if the principle of fairness has been fully implemented yet and debt capital ratio greater than DER rules?

Another problem can occur if the company paying the guarantee fee for the guarantees given by shareholders for loans granted to subsidiaries. It raises the question, can we use the DER rules or simply use transfer pricing rules based on arm's length principle.

Regulations in Indonesia

DER regulation is based on Article 18 (1) Income Tax Law which explains that the Minister of Finance is authorized to issue a decision regarding the ratio between debt and capital companies for the purposes of income tax calculation. The article, including elucidation of the article, did not explain that the ratio of DER is  applied only on loan from a related party, as defined by Article 18 (4), from  overseas hence it is so different from DER rules in other countries which is only applied to the loan  lending from affiliated parties, especially overseas. If so, this could lead to the interpretation that Article 18 (1) has set restrictions on such loans for economic reasons.

KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 which has been repealed explained the definition of debt for the DER calculation as the average balance at the end of each month is calculated from all good debt long-term debt and short-term debt, other than trade payables. Definition of capital for DER calculation, based on the KMK, is described as the amount of paid-up capital at the end of the tax year including non-profit and / or have not been distributed.

KMK, such as Article 18 (1) of Income Tax Act, is also not clear that the application of DER ratio is applied only to loans from affiliated parties so that the application of the rules DER can be misconstrued as a restriction of foreign loans.

Conclusion

DER rules are needed to tackle the problem of tax avoidance through excessive interest expenses on loans from affiliated parties abroad according to the Income Tax Act and not to limit foreign borrowing undertaken taxpayer. Amendment of  Article 18 (1) in the Income Tax Act can be done for the sake of clarity and legal certainty and prevent misunderstandings on DER rules.


Catatan:
-Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum (sedikit) diedit oleh redaksi Harian Kontan
-The English version is translated from the Indonesian version, I am really sorry that several terms may not be translated properly.  

Wednesday, May 6, 2015

DGT's Tax Audit Strategi for 2015 - (Rencana Tahunan Dirjen Pajak Tahun 2015 - Strategi dan Arah Pemeriksaan Dirjen Pajak)



Jika di tahun 2015, pemerintah merencanakan sunset policy seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bagaimana dengan strategi dan arah pemeriksaan pajak? 

Sesungguhnya  Dirjen Pajak (DJP) menerbitkan edaran untuk rencana dan strategi pemeriksaan setiap tahunnya.  Di tahun sebelumnya rencana dan strategi pemeriksaan diungkapkan lewat Surat Edaran No. SE-15/PJ/2014 yang menjelaskan
- Rencana Pemeriksaan;
- Pengukuran Kinerja Pemeriksaan;
- Strategi Pemeriksaan; dan
- Evaluasi Pelaksanaan Rencana dan Strategi Pemeriksaan.

SE-15 tersebut juga menjelaskan fokus pemeriksaan pada WP OP dan Badan diantaranya pada industri properti dan jasa keuangan untuk WP Badan serta pengusaha OP, pemegang saham dan notaris/PPAT untuk WP OP. 

Strategi Tahun 2015
Strategi dan arah pemeriksaan DJP dijelaskan lewat SE-09/PJ/2015 yang menjelaskan, seperti tahun sebelumnya, pemeriksaan juga memiliki target penerimaan namun sebesar 73,5 trilyun rupiah, meningkat sebesar 206.5% dari tahun 2014 yang berarti pemeriksaan pajak akan lebih gencar lagi dilakukan.
-Pemeriksaan biasa
Berbeda dengan tahun sebelumnya, fokus pemeriksaan Wajib Pajak badan tahun 2015 untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak ditetapkan sebagai berikut:
A.Wajib Pajak Badan
- Wajib Pajak yang diduga menyalahgunakan fasilitas Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
- Wajib Pajak yang melakukan transaksi transfer pricing dengan entitas di luar negeri;
- Wajib Pajak yang bergerak di bidang pertambangan batubara dan minyak dan gas bumi; dan
- Wajib Pajak yang bergerak di bidang perdagangan besar.
B. Wajib Pajak Orang Pribadi ditetapkan sebagai berikut:
- Wajib Pajak orang pribadi berpenghasilan menengah dan tinggi;
- Wajib Pajak orang pribadi berpengaruh,dan
- Wajib Pajak orang pribadi profesi.
Perlu dicatat juga DJP juga menjalankan pemeriksaan khusus serta

-Pemeriksaan khusus
DJP juga melakukan pemeriksaan khusus jika DJP menemukan potensi dari satu wajib pajak misalnya berdasarkan data kuantitatif/kualitatif dari hasil ekspor, pajak masukan dll.
Selain itu pemeriksaan bisa dilakukan dengan pihak lain seperti
a) Pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara
b) Joint audit dengan Bea Cukai, BPKP dan SKK Migas. Untuk joint audit dengan SKK Migas akan dilakukan dengan BPKP.  

Perlu dicatat juga dimana DJP akan membuat pengajuan izin membuka rahasia bank terkait nasabah penyimpan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tentunya dapat mendukung,terutama, pemeriksaan atas wajib pajak orang pribadi. 

Kesimpulan
Dilihat dari hal-hal diatas dapat dipastikan DJP akan semakin gencar menjalankan pemeriksaan, tidak hanya target yang meningkat pesat atas hasil pemeriksaan namun juga fokus pemeriksaan yang diperluas.