Showing posts with label tax evasion. Show all posts
Showing posts with label tax evasion. Show all posts

Monday, December 29, 2014

Sudah Bukan Waktunya Mentolerir Kerahasiaan di Negara Suaka Pajak - Opini Pemburu Koruptor

Apa kata para pemburu koruptor tentang tax haven? Pendapat mereka yang dapat dilihat dari tulisan ini, menjelaskan bahwa sudah bukan waktunya mentolerir kerahasiaan di tax haven. 

Tax haven atau negara pemberi suaka pajak seperti dijelaskan dalam postingan sebelumnya dapat digambarkan sebagai tempat yang dapat digunakan oleh pihak-pihak lain yang berkedudukan di negara lain untuk menghindari dan bahkan menggelapkan pajak.

Tulisan ini yang didasarkan pada wawancara dengan pertemuan dua tahunan Aliansi Pemburu Koruptor Internasional (ICHA) di Washington D.C., Amerika Serikat pada 8-10 Desember 2014.
 ICHA adalah forum yang mempertemukan lebih dari 300 Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemberantasan Korupsi, dan pimpinan lembaga penegak hukum lainnya dari 120 negara. Forum ini menjadi ajang berbagi pengalaman dan mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalah seputar pemberantasan korupsi.

Pendapat  menarik diberikan oleh Stephen Zimmerman, tuan rumah sekaligus orang yang paling sibuk menyiapkan konferensi ICHA. Bekas Jaksa Federal AS, diantaranya :
-Upaya kreatif untuk menangkap koruptor dan delik non pidana
Ini pendapatnya :
" Pertama....korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi...." 

"Yang saya maksud adalah mengajak untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Contoh yang bisa dipelajari di Amerika Serikat adalah ketika penegak hukum berhadapan dengan mafia dan gangster puluhan tahun silam. Ketika itu, kami kesulitan menuntut mereka dengan delik sederhana seperti pembunuhan atau perampokan bank. Kemudian muncul ide menggunakan Undang-Undang Perpajakan dan terbukti efektif. Jadi, inovasi-inovasi semacam ini yang diharapkan di-sharing di pertemuan ICHA."

korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
-kerjasama antar negara
 "Tentu dalam hal ini kita tak bisa menggunakan cara-cara formal. Yang perlu dilakukan adalah pendekatan informal dengan otoritas di negara tersebut. Dengan adanya komunikasi informal, maka ada peluang membahas kesepakatan formal. Tanpa ada hubungan informal, apalagi tanpa ada kesepatan antara dua negara, tak mungkin kita mengangkat telepon dan meminta penegak hukum di suatu negara untuk mengekstradisi penjahat yang bersembunyi itu. Inilah pentingnya menjalin jaringan dan ini yang dilakukan dalam pertemuan ICHA."
 
tentang beneficial owner
"Persoalan ini menjadi salah satu fokus pertemuan ICHA kali ini. Ada tekanan yang menguat untuk mendorong negara-negara suaka pajak itu agar membuka informasi kerahasiaan tentang beneficial owner tersebut. Kini sudah bukan waktunya untuk mentolerir kerahasiaan macam itu. Persoalan ini juga akan saya bawa ke forum G20."

Pendapatnya menjelaskan tentang pentingnya peraturan pajak dalam hal pemberantasan korupsi seperti pernah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang pajak dan hubungannya dengan korupsi dan pencucian uang yang bahkan perlu dipahami oleh pejabat negara.

Tuesday, March 11, 2014

Offshore Bank, Financial Center dan Penggelapan Pajak di Indonesia


                                                     Harian Kontan, 10 Maret 2014


Benarkah simpanan uang di luar negeri dapat dilakukan agar penghasilan kita tidak terlacak? Terdakwa kasus korupsi dari KPK, terungkap dalam penyadapan, berbicara tentang rekening bank  di British Virgin Islands (BVI) yang menurutnya tempat orang Indonesia  menyimpan dan mencuci uang.

Di BVI, selain beberapa negara lain yang dikenal sebagai financial center, banyak perusahaan perantara didirikan untuk menghindari pajak dan menjadi salah satu pendorong OECD membuat studi atas base erosion dan  profit shifting dari perusahaan multinasional.

Direktorat Jenderal Pajak berkeinginan memperoleh akses atas  rekening perbankan di Indonesia terutama 180.000 rekening  orang kaya untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak namun rencana ini dikabarkan dapat memicu nasabah Indonesia untuk memindahkan uang mereka terutama ke Singapura dimana diperkirakan lebih dari 1.500 trilyun rupiah tersimpan (Kompas, 27 Februari 2014).

Jika demikian, benarkah data rekening bank dan keuangan di negara-negara pusat keuangan dapat dan perlu dibuka serta permasalahan apa yang terjadi?

Offshore bank, seperti yang terdapat di negara pusat keuangan di Singapura, Hong Kong, Swiss hingga BVI, adalah cara yang dapat dipakai untuk menyembunyikan uang atau penghasilan tidak hanya dari penegak hukum atas kasus korupsi dan pencucian uang namun juga dari otoritas pajak agar penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak. Setali tiga uang, uang yang disembunyikan harus tidak dapat dilacak oleh otoritas pajak dan penegak hukum. Bagi otoritas pajak, penghasilan dari tindak kejahatan, termasuk korupsi, adalah penghasilan kena pajak yang bila tidak dilaporkan dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan.

Pelaporan Pajak
Setelah kasus UBS Bank di Swiss dimana banyak nasabah warga  Amerika Serikat (AS)  menyembunyikan penghasilan agar tidak membayarkan pajak, di tahun 2010, AS mengesahkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang mewajibkan warga AS termasuk permanent resident untuk melaporkan rekening bank atau keuangan serta aset yang mereka miliki di luar negeri dengan sanksi atas mereka yang tidak melaporkannya. FATCA juga berusaha meminta pelaporan dari institusi keuangan luar AS untuk melaporkan informasi keuangan dari warga AS.  FATCA, yang direncanakan akan diikuti juga oleh Singapura, dikabarkan membuat institusi keuangan di Swiss berusaha tidak berurusan dengan warga AS karena akan merepotkan mereka dalam pelaporan informasi pajak..

Di Inggris, wajib pajak berkewajiban melaporkan penghasilan mereka di luar negeri dalam  lampiran khusus pelaporan pajak tahunan, termasuk bunga, dividen atau capital gain dan sewa hingga penghasilan yang tidak dapat dikirimkan kembali ke Inggris. Hal ini sebenarnya juga dapat diterapkan untuk wajib pajak kaya (High Net Worth Individual) di Indonesia yang bahkan memiliki kantor pajak tersendiri.

Pada February 2014, OECD menerbitkan satu laporan tentang standar atas Automatic Exchange of Financial Account Information antar negara untuk melakukan pertukaran secara otomatis tidak berdasar “on request” yang dapat digunakan untuk mengatasi penggelapan pajak dari harta di luar negeri karena standar ini mendukung pertukaran informasi keuangan dari institusi keuangan, apa saja yang perlu dilaporkan, jenis account dan pembayar pajak yang dicakup serta due dilligence yang perlu dilakukan oleh institusi keuangan. Kekurangan standar yang juga didukung G20 ini tidak mencakup data pengguna safe deposit box atau sanksi yang jelas untuk yang tidak mematuhinya.

Indonesia telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan negara-negara pusat keuangan yakni Bermuda, Guernsey, Isle of Man, Jersey dan San Marino[1] untuk bertukar informasi perpajakan walau belum berlaku efektif. TIEA yang tidak sama dengan tax treaty dibuat oleh negara-negara yang sering disebut sebagai tax haven dan berisi perjanjian pertukaran informasi keuangan, seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes. 

Penghindaran vs Penggelapan
Yang dilakukan wajib pajak di negara-negara pusat keuangan tidak hanya penggelapan namun juga penghindaran pajak dengan pendirian perusahaan perantara hingga pendirian trust, satu entitas yang didasarkan common law seperti di Inggris. Margaret Thatcher  dikabarkan menggunakan offshore trust di BVI untuk kepemilikan properti senilai 12 juta poundsterling di London untuk menghindari pajak. Warga Indonesia bahkan dapat menggunakan Business Trust di Singapura untuk mengelola kekayaan di Indonesia serta bagian dari perencanaan pajak.

Dalam kasus penggelapan pajak Asian Agri,  putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012  menjelaskan penggunaan special purpose vehicle  company di Hong Kong, Macau dan BVI yang melakukan under invoicing untuk barang yang dijual Asian Agri sehingga merugikan penerimaan pajak. Di Italia, terdapat kasus Dolce &  Gabbana yang dituduh melakukan penggelapan pajak dengan penjualan merek Dolce & Gabbana dengan harga yang tidak wajar (arm’s length) ke perusahaan perantara di Luxembourg sehingga mereka dituduh tidak melaporkan penghasilan lebih dari 1 milyar euro.

Kesimpulan
Penggelapan dan  penghindaran pajak, yang diduga erat terkait dengan kejahatan lainnya, dapat dilakukan di negara yang menjadi pusat keuangan serta offshore bank. Dirjen Pajak perlu dan dapat menggunakan pertukaran informasi keuangan, termasuk rekening bank dan data perusahaan di luar negeri, dengan otoritas pajak luar negeri untuk mengatasi masalah tersebut dan perlu mewajibkan pelaporan penghasilan dan aset di luar negeri bagi wajib pajak secara khusus dalam pelaporan pajak.


Catatan: 
Tulisan ini adalah versi asli sebelum diedit oleh redaksi Harian Kontan dan diterbitkan dalam rubrik opini  pada Senin, 10 Maret 2014 
Beberapa bagian penting dari tulisan ini tidak ada dalam tulisan di Harian Kontan karena hasil edit dari redaktur.

Thursday, January 30, 2014

Asian Agri dan ulasan atas putusan Mahkamah Agung – Pajak Internasional

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Asian Agriterbukti bersalah menarik perhatian banyak orang di akhir tahun 2012 dan sampai sekarang, permasalahannya belum terbukti karena masalah penggelapan pajak belum selesai.  Bahkan di bulan Januari 2013 ini Kejaksaan Agung dan juga Direktorat Jenderal Pajak berusaha menagihpembayaran denda. 

Tulisan ini akan melihat putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012 yang selama ini belum banyak diperhatikan untuk melihat pertimbangan yang dipakai hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan tersebut.

1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut  dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur  yang sudah menjalani penahanan sejak Desember 2010.

2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan pajak di beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya tax planning meeting yang membahas perencanaan untuk mengecilkan pajak. (Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat karena tax planning tidak sama dengan tax evasion).

3.  Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 :

A. Rekayasa keuangan internasional disebutkan sebagai berikut, sebagaimana dikutip dibawah ini:
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer. Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual.
Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya ;

B. Rekayasa keuangan dalam negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya management fee.  Disebutkan lebih lanjut, dalam halaman  :

BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat dengan MEMO VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.

BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss". Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss.

BIAYA MANAJEMEN FEE, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak

C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.  Hal ini menimbulkan kerugian yang dijelaskan dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan negara berupa sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

4. Pajak Internasional
Penulis tidak dapat berkomentar tentang pembuktian atas pelaporan keuangan yang tidak seharusnya karena itu merupakan pembuktian di persidangan di hadapan para hakim, sebagai contoh dalam hal biaya jakarta dengan memo voucher. Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang mengapa sanksi pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal pembuktian dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam kasus ini.  

Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan dengan pajak internasional dan dianggap sebagai pendukung penggelapan pajak seperti berikut:

-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah perusahaan di luar negeri seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.  Begitu juga dengan perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta perusahaan di British Virgin Island yakni  Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak dijelaskan apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat diperkirakan merupakan perusahaan terkait karena nama Asian Agri.  
Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan SPV dan melakukan under invoicing.

-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait apakah hal sebaiknya peraturan yang diterapkan seharusnya merupakan peraturan transfer pricing sebagaimana diatur misalnya dengan Per DJP No. PER - 32/PJ/2011 tentang  penerapan Arm's Length Principle dalam related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer pricing dan tax evasion yang sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat putusan seperti ini.

-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah sesuai dengan standar akuntansi atau merupakan satu financial engineering yang merupakan satu penggelapan pajak.  Penentuan harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa yang dipakai dalam ekspor komoditas.  Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam hal harga pasar produk komoditas oleh pihak independen.  Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, dijelaskan bahwa  yang  telah terjadi adalah hedging fiktif.

-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee"). Umumnya hal ini menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya merupakan related party transaction.

Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management fee termasuk management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962 halaman 198).  Tidak dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan hubungan istimewa.

Mungkin diperlukan peraturan yang lebih jelas mana yang dapat digolongkan tax evasion dan mana tax avoidance dimana transfer pricing seharusnya merupakan bagian dari tax avoidance dan bukan tax evasion. Hal ini mungkin dapat dilihat dalam kasus Dolce Gabana seperti diberitakan disini dan disini  sehingga wajib pajak dapat memiliki kepastian hukum lebih besar lagi. 

Tuesday, July 19, 2011

Pajak, dari Al Capone, Kriminal hingga masalah korupsi

Belum lama ini masalah korupsi Nazarudin menjadi topik hangat. Ia dikabarkan memiliki penghasilan yang luar biasa besar. Yang menjadi pertanyaan sudahkah ia melaporkan seluruh penghasilan yang ia terima dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Mungkin Dirjen Pajak dapat meniru cara IRS dalam menggunakan hukum pajak untuk mengatasi masalah pelaku kriminal termasuk korupsi dan suap seperti tuduhan dalam kasus Nazar.
Detik.com belum lama juga memuat cerita lengkap tentang bagaimana IRS menangkap Al Capone dengan ketentuan perpajakan.

IRS mempekerjakan seorang akuntan yang melakukan akuntansi forensik untuk menemukan bukti bahwa Al Capone tidak melaporkan seluruh penghasilan yang ia terima dan akhirnya menerima hukuman atas 23 dakwaan tax evasion untuk tahun fiskal 1924-1929, didenda senilai kurang lebih $ 250.000, biaya sidang $ 30.000, dan juga penjara selama 11 tahun.

Permasalahannya adalah apakah Dirjen Pajak mau dan sanggup menjalankan hal serupa?

Tuesday, August 18, 2009

Pajak dan Offshore Bank Account

Dalam beberapa kesempatan seperti diberitakan di sini, Wajib Pajak (WP) Kaya atau sering disebut High Net Worth Individual (HNWI) dikatakan menghindari pajak dengan membuka rekening bank luar negeri atau disebut juga Offshore Bank Account.

Offshore Bank Account dapat dikatakan sebagai bank di luar negeri yang memungkinkan nasabah asing membuka rekening di bank tersebut contohnya seperti Swiss dan Singapura
Hal ini berbeda dengan Indonesia yang tidak mengijinkan warga negara asing (WNA) membuka rekening bank di Indonesia kecuali WNA

Sebenarnya hal ini lebih tepat untuk dikatakan sebagai penggelapan pajak karena melaporkan penghasilannya yang terutang pajak dengan tidak benar dan menyimpannya di luar negeri. Sayangnya hal ini belum diatur di Indonesia

Pemerintah selayaknya mengatur penggunaan dan mencermati penggunaan offshore bank account yang dipakai untuk menghindari pajak di Indonesia..

Thursday, July 30, 2009

Asian Agri dari penggelapan pajak hingga penghindaran pajak

Kasus Asian Agri akan tetap dilanjutkan dan proses atas dugaan penggelapan pajak akan dilanjutkan seperti diberitakan oleh surat kabar

Jakarta -- Mantan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, yang kemarin dilantik menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, memastikan penanganan kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri Group tetap dilanjutkan. Penanganan kasus ini berjalan meski dirinya sudah meninggalkan Direktorat Jenderal Pajak.

"Kasus ini prosesnya jalan terus, jangan terlalu risau," kata Darmin setelah pelantikan kemarin. Sistem dan fondasi di Direktorat Jenderal Pajak sudah dibangun cukup kuat untuk menangani dugaan penggelapan pajak terbesar dalam sejarah republik itu.

Selanjutnya Dirjen Pajak yang baru bertekad melanjutkan kasus Asian Agri tersebut.

Dalam usahanya Asian Agri menggunakan struktur perusahaan yang berlokasi di negara yang digolongkan sebagai Tax Haven dari Mauritius, British Virgin Islands dan Hong Kong. Perusahaan di Tax Haven tersebut menjadi pemilik dari perusahaan Asian Agri di Indonesia
Asian Agri juga diduga melakukan penggelapan pajak dengan menggelembungkan biaya serta memperkecil laporan hasil penjualan. Penyidik pajak bahkan telah menyita dokumen penting dalam jumlah pajak sebagai bukti penggelapan pajak.

Dasar hukum yang dapat dipakai atas penggelapan pajak adalah pasal 39 dari UU KUP dimana perubahan terbaru dari UU di tahun 2007 tersebut menambah ketentuan pasal tersebut menjadi lebih rinci dalam hal pelanggaran serta sanksi minimal dari penggelapan pajak.

Perlu diingat bahwa kasus pidana pajak mempunyai daluarsa selama 10 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 40 dari UU KUP sehingga semakin lama proses maka semakin sedikit tahun pajak yang dapat diperkarakan dalam kasus pidana ini.

Ada satu catatan penting yakni tidak adanya penggunaan pasal 18 UU PPh tentang penghindaran pajak dan peraturan transfer pricing dalam kasus Asian Agri