Friday, May 29, 2009

Revisi PSAK dan pengaruhnya pada pajak

Rencana revisi PSAK dengan konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards yang akan diterapkan pada tahun 2012. Seperti diberitakan oleh detik finance yakni

Konvergensi IFRS ini akan memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan menggunakan Standar Akuntasi Keuangan yang dikenal secara internasional.

Hal ini disampaikan Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI M Jusuf Wibisana dalam seminar dampak konvergensi IFRS terhadap bisnis, di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (28/5/2009).

"Kalaupun ada miss pastinya tidak lebih dari setahun. Yang jelas pada tahun 2011 semua standar IFRS sudah diadopsi ke PSAK," ujar Jusuf.

Dikatakan juga akan manfaat positif dari konvergensi IFRS sebagai berikut :

Jusuf juga menjelaskan dampak dari konvergensi IFRS ini yaitu relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar. "Di sisi lain, kinerja keuangan (laporan laba rugi) akan lebih fluktuatif apabila harga-harga fluktuatif," jelasnya.

Dampak lainnya terhadap bisnis, imbuh Jusuf, yaitu smoothing income akan semakin sulit dengan menggunakan balance sheet approach dan fair value.
"Penggunaan off balance sheet semakin terbatas," tandasnya.

Berita tersebut juga menyebutkan salah satu perubahan PSAK yakni revisi PSAK 50 tentang Akuntansi Investasi Efek Tertentu dan revisi PSAK 55 tentang Akuntansi Instrumen Derivatf dan Lindung Nilai

Sementara itu, Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Bank Indonesia Narni Purwati mengakui hingga saat ini masih ada beberapa Bank yang masih tertatih dalam menyusun action plan PSAK 50 dan 55. Padahal penerapan PSAK 50 dan 55 ditetapkan pada 1 Januari 2010.

Tulisan ini sendiri terutama akan membahas revisi atas PSAK 50 dan 55, untuk rincian rencana konvergensi dapat dilihat di laman ini.

Pengaruhnya pada pajak terutama atas revisi PSAK 50 dan 55

Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi pihak otoritas pajak, tidak hanya di Indonesia, adalah :
1. Rugi
- Apakah rugi yang terjadi atas transaksi keuangan dapat dikurangkan sebagai biaya?
- Dalam transaksi derivatif, bila terjadi kerugian apa cara untuk memastikan bahwa kerugian yang terjadi bukan karena spekulasi? Bagaimana untuk memastikan bahwa kerugian transaksi derivatif seperti hedging adalah sesuai dan diperlukan oleh pelaku usaha sehingga dapat dikurangkan sebagai biaya
Dalam prakteknya pihak otoritas pajak tidak akan mudah mengakui kerugian atas transaksi keuangan seperti derivatif apalagi jika jumlahnya material.

2. Laba
- Apakah laba yang dilaporkan sudah benar? Bagaimana cara penghitungan laba?

Perlu dicatat juga bahwa atas transaksi derivatif di bursa sudah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2009 seperti dijelaskan disini

Sehubungan dengan rugi atas transaksi derivatif, Indonesia mungkin dapat mencontoh perlakuan pajak di negara lain seperti dijelaskan di artikel ini.
Perlakuan pajak atas hedging juga bisa mengikuti PSAK atau IFRS seperti dijelaskan di artikel tentang hedging dan perlakuan pajak di Indonesia.

Sementara ini, tanpa peraturan pajak yang jelas, PSAK dapat digunakan untuk menerapkan perlakuan pajak atas transaksi keuangan serta masalah keuangan pada umumnya.

Friday, May 22, 2009

Perlakuan Pajak Tax Haven

Kontan, 18 Mei 2009 (Opini, halaman 23)
Pemerintah berencana menerbitkan peraturan berisi daftar tax haven yang juga dapat menjelaskan perlakuan pajak yang akan diterapkan atas transaksi yang melibatkan tax haven yang ditengarai merugikan Indonesia karena dipakai untuk menghindari pajak

Meski dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) No.36 Tahun 2008, pasal 18 (3c), dijelaskan adanya tax haven sebagai negara yang memberikan perlindungan pajak, namun tidak ada peraturan pajak lebih lanjut yang menjelaskan kriteria tentang tax haven.

Perhatian yang meningkat atas tax haven juga terjadi setelah OECD mengeluarkan laporan terbaru tentang tax haven yang didasarkan atas beberapa kriteria seperti dari tidak adanya pungutan pajak atau pajak yang rendah, kurangnya pertukaran informasi, kurangnya transparansi dan ketiadaan persyaratan untuk kegiatan yang substantial. Belum lama ini OECD, lewat Secretary General Angel Gurria, mengeluarkan pernyataan bahwa tax haven telah merugikan negara-negara berkembang dalam hal pajak.

Ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah sehubungan dengan tax haven yakni : (1) Menyebutkan definisi tax haven, dan (2) Membuat peraturan tentang perlakuan perpajakan atas tax haven

Kriteria Tax Haven

Kriteria dari tax haven dari Indonesia mungkin kurang tepat jika membandingkannya dengan kriteria dari negara maju karena umumnya investor asal negara maju menggunakan tax haven sebagai perantara untuk berinvestasi di negara berkembang. Indonesia dapat saja mencontoh Brazil sebagai sesama negara berkembang dalam masalah tax haven.

Brazil di tahun 2008 mengesahkan UU yang menjelaskan definisi tax haven serta perlakuan pajak atas tax haven. Secara umum definisi tax haven di Brazil meliputi juridiksi yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak kurang dari 20%, namun UU baru tersebut menjelaskan bahwa definisi tax haven juga meliputi negara yang tidak mengungkapkan akses atas informasi terhadap (i) kepemilikan perusahaan yang berdiri di negara tersebut, atau (ii) menjelaskan beneficial owner atas penghasilan dari perusahaan tersebut.

UU baru di Brazil juga mengubah peraturan transfer pricing yang menetapkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh residen di Brasil dengan individu atau badan hukum yang mengambil keuntungan dari favourable tax regime, tanpa memandang asal dan hubungannya akan diatur dengan peraturan transfer pricing. Favourable tax regime didefinisikan selain mencakup definisi atas tax haven juga mencakup negara yang menyediakan keuntungan pajak tanpa kegiatan ekonomi substantial dalam wilayahnya serta negara yang tidak memberikan akses atas informasi kepemilikan barang atau transaksi yang dilakukan disana.

Indonesia dapat saja menjelaskan kriteria atas tax haven dengan menggunakan ketentuan serupa ketentuan di Brazil dengan mengacu pada UU PPh.

Perlakuan pajak
Satu contoh lain dari Brazil atas transaksi yang melibatkan tax haven adalah penerapan tarif pajak yang lebih tinggi sehingga contohnya atas pembayaran royalti, bunga, jasa serta capital gain kepada tax haven akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi.

Penerapan tarif pajak yang lebih tinggi di Indonesia atas transaksi dengan tax haven akan dibatasi oleh UU PPh, pasal 26, sebesar 20 % atau sesuai dengan tax treaty.

Indonesia tidak dapat menerapkan tarif pajak sebesar 20% terhadap negara yang disebut sebagai tax haven seperti Singapura dan Swiss karena adanya tax treaty antara Indonesia dengan Singapura, yang diratifikasi tahun 1991, serta tax treaty dengan Swiss yang diratifkasi tahun 2009, yang menurunkan tarif pajak atas pembayaran yang dilakukan.

Indonesia juga membuat tax treaty dengan Labuan, Malaysia, yang juga disebut sebagai tax haven. Pemerintah bahkan sampai sekarang belum meratifikasi perubahan tax treaty dengan Malaysia dimana perubahan tersebut mengeluarkan Labuan dari cakupan tax treaty seperti tarif pajak yang lebih rendah.

Di masa lalu, Indonesia juga pernah membuat tax treaty dengan Mauritius, yang juga digolongkan sebagai tax haven, dan membatalkannya di tahun 2005.

Pemerintah Amerika Serikat, didukung Barack Obama, telah membuat rancangan UU (Stop Tax Haven Abuse Act) yang membatasi penggunaan tax haven pada wajib pajak Amerika. Salah satu isi rancangan UU itu adalah menyebutkan negara yang masuk dalam tax haven, persyaratan disclosure yang lebih luas serta sanksi yang lebih keras atas penghindaran pajak lewat tax haven.

Satu hal yang dapat dilakukan Indonesia adalah membuat peraturan transfer pricing yang lebih baik dan melakukan penegakan peraturan transfer pricing dengan baik. Peraturan dan penegakan aturan transfer pricing di Indonesia tertinggal jauh dibanding China dan India (Global Transfer Pricing Survey – EY, 2006) bahkan peraturan transfer pricing di Indonesia sekarang tertinggal dibandingkan Singapura.

Tanpa adanya pembuatan dan penegakan peraturan transfer pricing yang baik, pembuatan definisi tax haven akan tidak banyak berguna karena meskipun transfer pricing dapat digunakan untuk tujuan positif namun transfer pricing dapat digunakan untuk menghindari pajak dengan menggunakan metode transfer pricing.

Selain peraturan transfer pricing, renegosiasi atau perubahan tax treaty serta segera meratifikasinya juga dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tax haven.

Catatan :
Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum diedit oleh Harian Kontan
versi lain dapat dilihat di website berikut ini

Wednesday, May 20, 2009

Peraturan Pajak yang berlaku mundur

Dengan disahkannya Undang-Undang PPh (UU PPh) yang baru di tahun 2008, pemerintah berkewajiban menerbitkan petunjuk pelaksanaan atas UU PPh tersebut.
Dalam satu artikel di surat kabar dijelaskan seperti berikut :

JAKARTA: Hingga kini Direktorat Jenderal Pajak baru menerbitkan tujuh Peraturan Pemerintah (PP) dan 19 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai peraturan pelaksana UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2009.
Kasubdit Peraturan PPh Badan Direktorat Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Astera Primanto Bhakti mengungkapkan saat ini masih ada sekitar 8 PP lagi yang dalam proses pembahasan.
"Kita sih inginya cepat, tapi PP itu terkait pihak lain yang nggak bisa dipatok. Kami sudah berkoordinasi dengan Depkumham untuk mencoba menyelesaikan dalam kesempatan pertama," katanya kemarin.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution sebelumnya mengatakan akan ada sekitar 40 rancangan peraturan pemerintah yang akan menjadi petunjuk pelaksana (juklak) UU PPh


Dari kutipan itu terlihat bahwa terdapat kekurangan Peraturan Pemerintah (PP) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang belum diterbitkan sebagai petunjuk pelaksanaan UU PPh.

Masalah
Yang menjadi masalah adalah peraturan yang diterbitkan tersebut umumnya berlaku mundur. Ini contohnya dapat dilihat tidak hanya dari petunjuk pelaksanaan berdasarkan UU PPh tahun 2008 tapi juga sudah dari tahun-tahun sebelumnya. Contoh dari peraturan pajak yang berlaku mundur adalah


a. Tahun 2009
- PP No 17 Tahun 2009 tentang PPh dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
Peraturan yang disahkan tanggal 9 Februari 2009 namun mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009.

- PP No 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
PP No 19 ini disahkan tanggal 9 Februari 2009 namun mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009.

Dua PP ini hanyalah contoh peraturan pajak yang berlaku mundur dan dapat membuat permasalah baru baik bagi Wajib Pajak dan fiskus.


b. Tahun 2008
Contoh yang paling jelas adalah peraturan tentang jasa konstruksi yang menimbulkan protes keras karena berlaku surut jauh sebelum peraturan tersebut keluar.

Peraturan Jasa konstruksi yakni PP No 51 tahun 2008 tentang PPh Jasa Konstruksi disahkan tanggal 20 Juli 2008 namun berlaku surut sejak 1 Januari 2008. Hal ini juga dijelaskan dengan PMK No 187/PMK.03/2008 tanggal 20 November 2008 serta juga berlaku surut sejak 1 Januari 2008

Salah satu alasan dari protes adalah karena banyak wajib pajak mendapatkan penghasilan di tahun 2008 dari kontrak yang ditandatangani jauh sebelumnya. Bagaimana dengan denda atau sanksi atas keterlambatan pembayaran pajak? Sedangkan kesalahan bukan berada pada Wajib Pajak. Hal ini tentunya akan memberatkan Wajib Pajak.

Pemecahan Masalah
Peraturan pajak sebaiknya tidak hanya tidak dibuat untuk berlaku surut tapi juga selayaknya dibuat sosialisasi terlebih dahulu dengan membuat sosialiasi rancangan peraturan pemerintah atas perpajakan terlebih dahulu. Hal ini tidak hanya membantu wajib pajak namun juga membantu fiskus dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan.

Thursday, May 14, 2009

CFC rule, penghindaran pajak dan Tax Haven

Wajib Pajak Indonesia, baik Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai penyertaan modal di Luar Negeri tidak dapat lagi menunda pembayaran dividen dari perusahaan asing tersebut. Peraturan yang sering disebut CFC rules ini (CFC = Controlled Foreign Company ) bertujuan untuk menangkal penghindaran pajak yang dapat dilakukan perusahaan Indonesia atas penyertaan modal di Luar Negeri dengan melakuka penundaan pembayaran dividen

Hal ini diatur Peraturan Menteri Keuangan No. 256/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang penetapan saat diperolehnya dividen oleh WP DN atas penyertaan modal pada Badan Usaha di LN selain Badan Usaha yang menjual saham di Bursa Efek

Namun apa saja masalah yang terjadi dalam penerapannya? Wajib Pajak Indonesia sendiri yang terutang pajak atas seluruh penghasilan baik dalam dan luar negeri, atau dikenal sebagai worldwide tax base, harus melaporkan seluruh penghasilannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan Tax Haven yang berulangkali menjadi sorotan belakangan ini
Namun dapatkah peraturan ini menangkal penghindaran pajak dari Wajib Pajak Indonesia?

a. Peraturan ini sangat sukar atau bisa dikatakan tidak dapat digunakan terhadap kegiatan usaha di tax haven karena kerahasiaan yang menjadi daya tarik di tax haven. Apalagi jika tidak terdapat tax treaty yang memuat pasal pertukaran informasi. Peraturan akan lebih diterapkan jika usaha dilakukan bukan di Tax Haven atau dilakukan di Negara yang telah membuat tax treaty dengan Indonesia

b. Tanpa informasi tentang kegiatan usaha termasuk jumlah penghasilan yang didapat di luar negeri, peraturan ini juga sangat sukar diterapkan. Pertukaran informasi hanya diterapkan berdasarkan Tax Treaty dengan negara lain.

c. Tax Haven memungkinkan kerahasiaan pemegang saham disimpan erat-erat sehingga sukar diketahui kepemilikan seseorang dalam badan usaha

Penulis sendiri berpendapat bahwa peraturan ini lemah dan sukar untuk diterapkan karena sangat bergantung dengan informasi atas kegiatan usaha di luar negeri. Untuk Tax Haven atau Negara yang bukan tax treaty partner hal ini akan bertambah sulit karena tidak memungkinkan adanya pertukaran informasi.

Monday, May 11, 2009

Perpajakan atas transaksi derivatif di Indonesia - Peraturan dan Masalah

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.17 tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa. Tulisan ini terutama akan membahas pelaksanaan peraturan tersebut terutama dengan polemik atas peraturan tersebut.


A. Pengertian Derivatif
Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan transaksi derivatif dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 adalah :
transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan dana atau instrumen.”

Sedangkan pengertian (instrumen ) derivatif berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah :
instrumen keuangan atau perjanjian lainnya yang memiliki tiga karakteristik sebagai berikut:
a) memiliki
(1) satu atau lebih variabel pokok yang mendasari (underlying) dan
(2) satu atau lebih jumlah nosional (notional amount) atau syarat pembayaran atau keduanya. Persyaratan perjanjian tersebut menentukan besarnya nilai penyelesaian perjanjian (settlements),
dan pada beberapa kasus, menentukan apakan suatu penyelesaian diperlukan.

b) Persyaratan perjanjian tidak memerlukan investasi awal bersih (initial net investment), atau memerlukan investasi awal bersih dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan oleh jenis perjanjian lainnya yang diperkirakan akan menghasilkan efek yang sama terhadap perubahan dalam faktor-faktor pasar.

c) Persyaratan perjanjian mengharuskan atau memungkinkan penyelesaian sekaligus (net settlement), atau instrumen derivative dapat segera diselesaikan dengan sarana terpisah di luar perjanjian tersebut, atau persyaratan perjanjian mengakibatkan penyerahan aktiva sehingga penyelesaian yang terjadi secara substansial tidak berbeda dengan net settlement

Dari penjelasan diatas dapat dilihat adanya perbedaan pengertian antara derivatif menurut pajak dan pengertian derivatif menurut akuntansi.

Perlu diingat bahwa dalam derivatif dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok yakni :
1. Over-the-counter derivatives
Dapat digambarkan sebagai derivatif sebagai hasil negosiasi pribadi antara dua pihak tanpa pihak perantara.
2. Exchange-traded derivatives (ETD)
Derivatif yang diperdagangkan lewat perantara seperti bursa bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi derivatif.

B. Pelaksanaan
Dalam pasal 4 dari PP No 17 / 2009 tersebut dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
PP No 17 / 2009 sendiri mengatur adanya PPh sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari margin awal dan lembaga kliring bertindak sebagai pemungut, penyetor dan pelapor dari PPh tersebut.

PMK yang diperlukan untuk mengatur pelaksanaan PP No 17 / 2009 belum diterbitkan. Untuk memahami penerapan peraturan ini lebih lanjut ada baiknya kita melihat polemik atas terbitnya peraturan tersebut.
a. Dalam artikel bertajuk “Beban Pajak yang mematikan, Transaksi derivatif adalah zero sum game”, dijelaskan oleh Hasan Zein Mahmud, bahwa PP No 17 / 2009 akan mempersulit dan membuat transaksi derivatif di bursa tidak berkembang serta tidak tepat dan memerlukan revisi :
b. Artikel “Pajak atas transaksi derivative, Perlu perlakuan sama terhadap semua subjek dan objek pajak” menjelaskan alasan bahwa peraturan pajak telah adil dan berdasarkan peraturan dan UU

C. Issue
Berdasarkan permasalah diatas, dapat dilihat beberapa masalah yakni :
- Peraturan tidak mencakup Over-the-counter (OTC) derivatives, padahal sebagian besar transaksi menggunakan OTC
- Peraturan yang menggunakan margin awal terasa memberatkan
- Perlakuan PPh final membuat kerugian tidak dapat dikurangkan
- Untuk transaksi derivatif, dapat menggunakan PSAK 50 dan 55 (yang akan direvisi)
- Bagaimana dengan perlakuan atas kerugian dari transaksi derivative yang tentunya akan menjadi perhatian Dirjen Pajak. Apakah akan menggunakan PSAK semata untuk menguji kebenaran kerugian yang terjadi atas transaksi derivatif?

Akhir kata, penulis berharap peraturan yang lebih baik akan dapat dibuat sehubungan dengan transaksi derivatif

Tuesday, May 5, 2009

Tax Haven di UU PPh

Tax haven? apa yang dimaksud tax haven?
Dalam UU PPh terbaru, tax haven disebut-sebut sebagai alat menghindari pajak yakni dalam pasal 18 (3c) UU PPh tahun 2008 sebagai berikut

"Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(conduit company atau special purpose company) yang
didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country)
yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia."


Dalam penjelasan pasal 18 (3c) tersebut juga digunakan contoh sebagai berikut :

"X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah
negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven
country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT
X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd.
ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang
didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah
perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan
antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X."


Pengertian tax haven ini sesungguhnya harus diterangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan seperti diamanatkan dalam pasal 18 (3e) tapi sampai saat ini belum ada peraturan tersebut.

Apakah dengan tidak adanya peraturan tersebut maka penghindaran pajak di Indonesia akan lebih mudah dilakukan?

Catatan :
Beberapa berita terbaru menyoroti penggunaan tax haven dan akhirnya mengundang komentar banyak pihak termasuk Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan