Showing posts with label tax compliance. Show all posts
Showing posts with label tax compliance. Show all posts

Thursday, May 22, 2014

OECD Analysis for Indonesian Taxation

OECD  issued an analysis for Indonesian taxation in a newly published report, RevenueStatistics in Asian Countries Trends in Indonesia and Malaysia 1990-2012, which includes not only the statistics of the revenue,  but also policy challenges which could be used by the public to understand the current situation and consider possible solution to solve taxation issues.

Below is the summary of the new report (which also consists of Malaysian taxation):
-In 2012, in Indonesia the tax burden increased to 12.9%
-taxes on incomes and profits represent 44% of tax revenues in Indonesia and this compares with 30% in both Japan and Korea and 34% for OECD countries.
-revenues from corporate account for 70% in Indonesia.
-tax revenues as a proportion of national incomes in Indonesia and Malaysia are substantially lower than in Korea and Japan. In 2011, the ratios in Indonesia and Malaysia ranged from 12-16% compared with 26-28% in the two countries that are OECD members. The OECD average was higher still at 34.1%.
-there were increases of 4 percentage points in Indonesia (9% to 13%) and Korea (23% to 27%) and of 2 to 3 percentage points in Japan (27% to 29%) and Malaysia (14% to 17%). This compared with the OECD average estimated at 34.6% in 2012 which represented a marginal decline compared with 2000

Previously, in 2012, OECD also made a report about Indonesia, OECD Economic Survey, which include taxation issues, among other things, as follows:

-Key policy recommendations for taxation :
Move the resource-sector tax regime closer to a system of taxing rents. Review export taxes, considering their implications for the whole economy, including international trade. Phase out exemptions from VAT. Revisit corporate tax holidays granted to firms in “pioneer industries”.
 Enhance efforts to bring the self-employed into the tax net, including by reducing temporarily penalties for previous non-compliance for first-time taxpayers only. Increase resources devoted to auditing high-risk and affluent taxpayers, and make more use of third-party information to assess tax liabilities.

- Recommendations on raising tax revenues
Broadening the tax base
• Move the resource-sector fiscal regime closer to a system of taxation of rents.
• Review export taxes, considering their implication for the whole economy, including international trade.
• Phase out exemptions from VAT.
• Revisit corporate tax holidays granted to firms in “pioneer industries”.
Improving tax compliance
• Enhance efforts to bring the self-employed into the tax net, including by reducing temporarily penalties for previous non-compliance for first-time taxpayers only.
• Increase resources devoted to auditing high-risk and affluent taxpayers, and make more use of third-party information to assess tax liabilities.


The Indonesian government is concerned since the tax ratio has been relatively low and there is no significant increase on the tax ratio. 
The other concern is about the independence of tax authority which lead to a question, is it a must for tax authority to become an independent institution which be directly below president and no longer part of Ministry of Finance. The idea is to establish, at least, semi-autonomous tax authority which will have more authority, e.g. human resource and recruitment, policy making etc. as discussed in here 


Thursday, October 17, 2013

Pajak UKM - masalah di Indonesia dan cerita dari Belanda

Pajak atas Usaha Kecil Menengah telah diberlakukan di Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 tanggal 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 July 2013 dengan ketentuan sebagai berikut diantaranya : - PPh final sebesar 1% dikenakan atas penghasilan bruto
 - Berlaku untuk wajib pajak orang pribadi (OP) dan badan diluar bentuk usaha tetap
 - Pendapatan berasal dari kegiatan usaha, bukan dari pekerjaan atau sebagai individu profesional;
 - Penghasilan bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak Ada tambahan ketentuan bagi WP OP yakni peraturan ini tidak termasuk WP OP yang memiliki fasilitas darurat yang bisa dibongkar, permanen atau tidak permanen atau menggunakan tempat umum untuk bisnis atau penjualan,

Melihat aturan diatas\ada beberapa permasalahan yang dapat terjadi diantaranya:
 - Pengawasan atas pembayaran pajak terutama untuk pedagang kecil dan kaki lima, rasanya sukar untuk mengetahui jumlah pasti omset pedagang kecil setiap bulannya apalagi jika mereka tidak memiliki catatan yang rapi
 - Kerugian tidak dapat diperhitungkan karena merupakan PPh final Mungkin kita bisa menengok negara lain seperti Belanda dalam hal pengawasan pajak pedagang kaki lima di Albert Cuyp Market di Amsterdam.

Pasar kaki lima ini buka setiap hari, rapi dan dibersihkan tiap hari. Menariknya, pemerintah Belanda membuat satu sistem dimana pedagang kaki lima tersebut dapat diawasi pembayaran pajaknya seperti dilaporkan disini Pelajaran yang didapat dari pemerintah Belanda:
 -Ada semacam kamar dagang kaki lima yang melakukan pendaftaran, Kamer Van Koophandel yang dapat menerima laporan penghasilan si pedagang kaki lima
-Petugas pengawas berkeliling mengecek laporan pajak si pedagang dan pajak tinggal didebet dari rekening bank -Keuntungan dari pembayaran pajak adalah diberikannya tempat berdagang hingga jaminan sosial saat tidak bisa berdagang, semacam unemployment insurance yang khas negara Eropa.

 Akhir kata dapat dikatakan kalau sistem dibuat terintegrasi, pengawasan akan mudah dilakukan serta pedagang pun akan lebih patuh membayar pajak. Penulis membayangkan jika pedagang kaki lima di Tanah Abang, Senen atau Jatinegara  bahkan pedagang kaki lima di Malioboro Yogya dapat menjadi proyek percontohan untuk sistem yang terintegrasi karena Pemerintah Daerah juga berkepentingan agar Pajak Penghasilan meningkat dimana mereka juga mendapat bagian dari Pajak Penghasilan yang diterima.


Thursday, August 30, 2012

Multiply.com, kepindahan kantor pusat dan pajak internasional

Multiply.com belum lama ini membuat berita dengan memindahkan kantor pusatnya dari Amerika Serikat ke Indonesia dan belakangan berencana menutup layanan social network termasuk blogging yang menggemparkan blogger multiply.

Lantas apa akibat perpajakan dari kepindahan ini?
Berdasarkan data dari website-nya dipastikan bahwa perusahaan memiliki kantor pusat di Indonesia dan dipimpin oleh CEO Stefan Magdalinski yang berkedudukan di Jakarta.

Tanpa melihat kepastian hukum apakah perusahaan ini masih berbadan hukum Amerika, kita dapat melihat akibat perpajakan atas kepindahan kantore pusat perusahaan ini ke Indonesia. Kewajiban perpajakan multiply.com, khususnya pajak penghasilan akan berada sepenuhnya di Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak dapat menggunakan Peraturan DJP No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 untuk menetapkan multiply.com sebagai subjek pajak dalam negeri di Indonesia dan memiliki hak pemajakan atas seluruh penghasilan multiply.com  dengan menggunakan pasal 15 dari PER-43 tersebut yang menjelaskan
(1) Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah Subjek Pajak badan yang:
a.mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana tercantum dalam akta pendirian badan,
b.mempunyai kantor pusat di Indonesia,

c.mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/atau pusat keuangan di Indonesia,
d.mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang melakukan pengendalian,
e.pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat keputusan strategis, atau
f.pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.

Jika perusahaan masih berbadan hukum Amerika, karena sebelumnya berkantor pusat di Florida, maka berdasarkan Tax Treaty Indonesia dan Amerika, pasal 4(1) dijelaskan bahwa :

In this Convention, the term "resident of a Contracting State" means any person who under the laws of that State is liable to tax therein by reason of his domicile, residence, place of incorporation, place of management or any other criterion of a similar nature.

Selanjutnya menurut pasal 4(4) dari Tax Treaty tersebut dijelaskan

Where by reason of the provisions of paragraph 1 a company is a resident of both Contracting States, when it shall be deemed to be a resident of the State in which it is organized or incorporated.


Melihat pasal 4(1) dan 4(4) dapat dikatakan bahwa jika multiply.com berbadan hukum Amerika maka Amerika Serikat, khususnya IRS dapat berpendapat bahwa multiply.com meski memiliki kantor pusat dan place of management di Indonesia namun akan tetap dianggap sebagai residen di AS dan menganggap bahwa multiply.com mempunyai permanent establishment (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia dan memberi kredit pajak atas penghasilan yang diterima di Indonesia.

Lain ceritanya jika multiply.com tidak berbadan hukum di Amerika Serikat atau negara lain yang tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia  maka DJP dapat menggunakan PER-43 serta pasal 2 UU PPh yang mengatakan bahwa subjek pajak dalam negeri dapat didasarkan atas badan yang bertempat kedudukan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Contoh lain, dalam skala yang jauh lebih besar adalah kepindahan kantor pusat Royal Dutch Shell dari London, Inggris ke Den Haag, Belanda  dengan tetap berbadan hukum Inggris

Dalam beberapa kasus, perpindahan kewajiban perpajakan dilakukan perusahaan multinasional untuk mendapatkan keuntungan pajak dengan memindahkan lokasi kantor pusat ke negara yang memberikan keuntungan pajak, tax incentives atau tarif pajak yang lebih rendah namun untuk kasus multiply.com yang terjadi adalah untuk mendekati pasar utama mereka di Indonesia dan Filipina.

Penulis juga mendapatkan paper ilimiah tentang Headquarter Relocation and International Taxation yang membahas kepindahan kantor pusat perusahaan multinasional dan permasalahan pajak yang ada

Perlu dicatat juga terlepas permasalahan diatas, multiply.com sebagai bentuk usaha tetap mempunyai kewajiban perpajakan atas PPN juga yang terkadang dilewatkan dalam perencanaan pajak di Indonesia

Thursday, March 8, 2012

Pelaporan SPT PPh OP untuk WNI di luar negeri

Semakin banyak WP OP yang karena semakin banyak yang memiliki NPWP dan harus menyampaikan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh OP selambat-lambatnya akhir Maret

Saya sendiri melihat beberapa pilihan penyampaian SPT selain penyampaian secara langsung di KPP atau drop box yakni :

a. Penyampaian lewat pos dari luar negeri
Berdasarkan Pasal 6 (2) UU KUP dijelaskan bahwa
"Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan."

Dari ayat ini dapat kita artikan bahwa pos tidak harus pos Indonesia dan pos luar negeri juga bisa dan seharusnya tidak hanya pos namun berupa jasa kurir untuk surat dari luar negeri asalkan tercatat

b. Penyampain SPT lewat electronic filling (eFIN)
Kelebihannya adalah penyampaian secara elektronik, dengan mendaftar terlebih dulu di laman DJP dan kemudian data akan dikirim ke rumah, yang jadi masalah adalah bila seluruh keluarga WP berada di luar negeri, siapa yang akan menerima?
Mungkin akan lebih bijak jika kita mendaftar terlebih dulu sebelum pergi atau tinggal di luar negeri. Perlu dicatat juga bahwa eFIN hanya terbatas pada SPT 1770 S dan 1770 SS

Seperti bisa dilihat di laman ini tentang eFIN, ada beberapa hal tentang eFIN yang dapat kita pelajari

Apa pilihan kita, yang terpenting adalah mengisi SPT Tahunan PPh OP dengan benar termasuk dalam pelaporan harta kekayaan yang bagi sebagian orang atau pejabat pemerintah merupakan hal sangat penting karena berhubungan dengan pelaporan kekayaan kepada pemerintah

Pembuatan Status Wajib Pajak Non Efektif 
Ada pilihan lain jika kita tinggal di luar negeri yakni dengan mengajukan permohonan sebagai Wajib Pajak Non Efektif (WP NE) sehingga kita dapat terhindar dari sanksi pajak karena tidak menjalankan kewajiban perpajakan. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 89/PJ/2009 tanggal 14 September 2009 yang menjelaskan sebagai berikut:

- Wajib Pajak Non Efektif yang selanjutnya disebut dengan WP NE adalah Wajib Pajak yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang nantinya dapat diaktifkan kembali (Butir ke-1)

-Wajib Pajak dinyatakan sebagai WP NE apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 
......
Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. (Butir ke-2)

- WP NE dapat berubah status menjadi Wajib Pajak efektif apabila:
.............
mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali.(Butir ke-3

-Pengusulan WP NE dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksud pada angka 2 huruf a, huruf b, huruf c atau huruf d diusulkan secara jabatan oleh Account Representative; atau
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g mengajukan permohonan sebagai WP NE ke KPP, dengan melampirkan:
.......
4) fotokopi passpor dan kontrak kerja atau dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g.

-Adanya penegasan bahwa WP NE tidak diawasi pembayaran dan pelaporan SPT 
"Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan label “NE” tetap tercantum dalam Master File Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;
tidak turut diawasi pembayaran masa/bulanannya dan tidak diterbitkan STP atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT;"

Tentunya meskipun dimungkinkan menjadi WP NE berdasarkan SE-89 tersebut namun jika satu saat Wajib Pajak kembali ke Indonesia dan menerima penghasilan, kewajiban perpajakan harus dijalankan kembali