Taxnesia, Tax Research Center of Indonesia akhirnya dibuat untuk menggantikan web atau blog ini
Blog ini tidak akan lagi diperbaharui dan selanjutnya silakan mengunjungi website www.taxnesia.com untuk melihat tulisan saya selanjutnya
Website ini berisi
a. Permasalahan pajak domestik
b. Pajak internasional
c. Klinik Pajak
d. Tax Service
Website ini akan membahas topik tertentu dan riset pajak berdasarkan sengketa pajak dari permasalahan sengketa pajak dalam dan luar negeri, masalah pajak atas supply chain management, transfer pricing hingga masalah tax planning
Sebagai contoh :
- Pembahasan atas supply chain management :
Permasalahan pajak atas penerapan kewajiban mata uang rupiah baik PPN dan PPh
- Penerapan Arm's Length Principle dan Transfer Pricing di Indonesia :
Bagaimana Ditjen Pajak menerapkan aturan transfer pricing di Indonesia
-Biaya Hidup dan Pemeriksaan Wajib Pajak Orang Pribadi
Metode pemeriksaan hingga pelacakan harta WP OP untuk kepentingan pajak
Silakan kunjungi website di www.taxnesia.com
Showing posts with label tax planning. Show all posts
Showing posts with label tax planning. Show all posts
Sunday, June 5, 2016
Tuesday, December 29, 2015
Kebijakan ekonomi dan perpajakan di Indonesia di tahun 2015
Menjelang akhir tahun, perlu kita melihat kebijakan perpajakan yang telah dibuat di tahun 2015 :
Kebijakan ekonomi dan perpajakan
Seperti diberitakan disini, ada kebijakan ekonomi yang sebagian menyangkut tentang perpajakan yang dibuat di tahun 2015 contohnya
- Pengesahan tax allowance dan tax holiday yang lebih cepat,
-Pembebasan PPN untuk impor alat angkut tertentu
- Pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir.
- Insentif untuk revaluasi aset
Pembuatan kebijakan ekonomi dilanjutkan dengan penerbitan aturan pajak contohnya atas revaluasi aset lewat Peraturan Menteri Keuangan No: 191/PMK.010/2015 yang mendorong wajib pajak untuk melakukan penilain kembali atas aset mereka di tahun 2015 dan 2016 untuk dapat memperoleh keringanan pajak. Penghapusan pajak berganda dalam Real Estate Investment Trust (REIT).
Kebijakan ekonomi dan perpajakan
Seperti diberitakan disini, ada kebijakan ekonomi yang sebagian menyangkut tentang perpajakan yang dibuat di tahun 2015 contohnya
- Pengesahan tax allowance dan tax holiday yang lebih cepat,
-Pembebasan PPN untuk impor alat angkut tertentu
- Pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir.
- Insentif untuk revaluasi aset
Pembuatan kebijakan ekonomi dilanjutkan dengan penerbitan aturan pajak contohnya atas revaluasi aset lewat Peraturan Menteri Keuangan No: 191/PMK.010/2015 yang mendorong wajib pajak untuk melakukan penilain kembali atas aset mereka di tahun 2015 dan 2016 untuk dapat memperoleh keringanan pajak. Penghapusan pajak berganda dalam Real Estate Investment Trust (REIT).
Untuk tax holiday, pemerintah juga memberi fasilitas bebas pajak selama maksimal
20 tahun dapat diberikan kepada industri pionir yang merupakan kenaikan dari
sebelumnya hanya maksimal 10 tahun sesuai
PMK No. 159/PMK.010/2015 tanggal 14 Agustus 2015. Industri pionir mencakup,
sebagai contoh, industri logam hulu, industri pengilangan minyak bumi, industri kimia dasar organik yang bersumber
dari minyak bumi dan gas alam, industri permesinan yang menghasilkan mesin industry
atau industri pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK).
Tahun 2016
Selepas tahun 2015, apa yang akan dihadapi di tahun 2016? Tentunya tak lupa juga mengingat aturan thin capitalization berupa perbandingan 4:1 atas hutang dan modal yang efektif mulai berlaku tahun 2016
Bagaimana dengan UU Pajak untuk tahun 2016? Permasalahan utama diantara adalah kelanjutan revisi UU Pajak terutama UU KUP hingga UU atas Pengampunan Pajak. Dari draft UU KUP diketahui beberapa perubahan diantaranya pembukuan yang tidak lagi diperbolehkan menggunakan mata uang asing hingga perubahan sanksi jika sanksi yang dibayar sendiri.
Tuesday, June 9, 2015
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak (English and Indonesian version)
Harian Kontan, Selasa, 9 Juni 2015
(Versi Indonesia)
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak
Tax avoidance
DER rules are made in many countries since the tax authorities find tax avoidance with excessive interest charges on loans from affiliated parties, especially those residing abroad and not made because of concerns over foreign debt.
In addition to DER rules, to address tax avoidance through excessive interest charges, the application of transfer pricing rules with the approach of the principles of fairness and the predominance of business (arm's length principle) on the feasibility of granting loans can also be used.
Interest expenses on loans from affiliated parties that exceed specified ratios through DER rules, or often called thin capitalization rules, can not be the deductible expense for income tax purpose but the interest charges can remain fully payable for withholding tax.
Each country may have different ratios for DER, for example DER ratio of 1.5: 1 for general companies and 15: 1 for financial services in Australia up to a ratio of 2: 1 for general companies and 5: 1 for financial institutions in China. DER rules in other countries are applied for loans from affiliated parties, especially shareholders, and are outside the country concerned. There are special considerations if a company has the financial and non-financial business activities, in this situation the ratio of DER for general companies may be used.
DER rules could affect, for example, the capital structure of the subsidiaries of foreign companies for investment in particular country, valuation of debt until various issues for mergers and acquisitions transactions.To meet DER rules, the company can change the debt into capital to meet the rules where there are several issues that must be considered, for example, time and form of recapitalization or changes in capital, withholding tax, transfer pricing rules to the calculation of earnings or losses in income tax.
Transfer pricing regulations
Another way to test the reasonableness of the level of loans from affiliated parties abroad, especially shareholders, is the transfer pricing rules that will test the application of arm's length principles on interest expenses on loans from shareholders.
In practice, the Director General of Taxation can test through transfer pricing audit by not recognizing interest expense on loans from shareholders if they have not paid-up capital from shareholders in accordance to incorporation documents, or corporate deed, based on Limited Liability Company Act because the loan is considered as capital which has not been paid. In addition, it can also be tested on arm's length principle on the interest rate and the reasonableness of the lending by using the ratio of DER taxpayer.
The point is the acquisition of loans from affiliated parties abroad should be done by applying the arm's length principle. The question is what if the principle of fairness has been fully implemented yet and debt capital ratio greater than DER rules?
Another problem can occur if the company paying the guarantee fee for the guarantees given by shareholders for loans granted to subsidiaries. It raises the question, can we use the DER rules or simply use transfer pricing rules based on arm's length principle.
Regulations in Indonesia
DER regulation is based on Article 18 (1) Income Tax Law which explains that the Minister of Finance is authorized to issue a decision regarding the ratio between debt and capital companies for the purposes of income tax calculation. The article, including elucidation of the article, did not explain that the ratio of DER is applied only on loan from a related party, as defined by Article 18 (4), from overseas hence it is so different from DER rules in other countries which is only applied to the loan lending from affiliated parties, especially overseas. If so, this could lead to the interpretation that Article 18 (1) has set restrictions on such loans for economic reasons.
KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 which has been repealed explained the definition of debt for the DER calculation as the average balance at the end of each month is calculated from all good debt long-term debt and short-term debt, other than trade payables. Definition of capital for DER calculation, based on the KMK, is described as the amount of paid-up capital at the end of the tax year including non-profit and / or have not been distributed.
KMK, such as Article 18 (1) of Income Tax Act, is also not clear that the application of DER ratio is applied only to loans from affiliated parties so that the application of the rules DER can be misconstrued as a restriction of foreign loans.
Conclusion
DER rules are needed to tackle the problem of tax avoidance through excessive interest expenses on loans from affiliated parties abroad according to the Income Tax Act and not to limit foreign borrowing undertaken taxpayer. Amendment of Article 18 (1) in the Income Tax Act can be done for the sake of clarity and legal certainty and prevent misunderstandings on DER rules.
Catatan:
-Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum (sedikit) diedit oleh redaksi Harian Kontan
-The English version is translated from the Indonesian version, I am really sorry that several terms may not be translated properly.
(Versi Indonesia)
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak
Pemerintah akan menerbitkan aturan Debt to Equity Ratio (DER) dengan rasio 4:1 yang akan membatasi hutang
luar negeri sehingga hutang dibatasi sebesar 4 kali modal dengan perkecualian
sektor tertentu seperti perbankan serta pertambangan dan direncanakan berlaku
mulai tahun 2016, dikatakan bahwa salah satu alasan terbitnya DER adalah karena
kekuatiran atas pinjaman luar negeri yang terus meningkat (Kontan, 1 Juni
2015). Di tahun 1984, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan serupa
dengan rasio sebesar 3:1 lewat KMK No. 1002/KMK.04/1984 untuk kepentingan pajak
namun dicabut 5 bulan kemudian karena adanya berbagai penolakan dari pelaku
usaha. Apa sebenarnya permasalahan atas
aturan DER ini di Indonesia ?
Penghindaran pajak
Aturan DER dibuat di banyak negara karena otoritas pajak
menemukan penghindaran pajak dengan
beban bunga yang berlebihan atas
hutang dari pihak terafiliasi, khususnya
yang berada di luar negeri dan bukan dibuat karena kekuatiran atas hutang luar
negeri.
Selain aturan DER, untuk mengatasi penghindaran pajak lewat
beban bunga yang berlebihan, penerapan aturan transfer pricing dengan
pendekatan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) atas kelayakan dari pemberian pinjaman juga
dapat digunakan.
Beban bunga atas pinjaman dari pihak terafiliasi yang
melebihi rasio yang ditetapkan lewat aturan DER, atau sering disebut aturan thin capitalization, tidak dapat menjadi beban pengurang pajak
penghasilan (PPh) namun beban bunga tersebut dapat tetap sepenuhnya terutang withholding tax.
Tiap negara dapat memiliki rasio berbeda untuk DER,
contohnya rasio DER sebesar 1,5: 1 untuk perusahaan umum dan 15:1 untuk jasa
keuangan di Australia hingga rasio 2:1 untuk perusahaan umum dan 5:1 untuk
lembaga keuangan di Tiongkok. Aturan DER
di negara lain diterapkan atas pinjaman dari pihak terafiliasi, terutama
pemegang saham, serta berada di luar negara yang bersangkutan. Ada pertimbangan khusus jika satu perusahaan
mempunyai jasa keuangan dan bukan kegiatan usaha non keuangan maka rasio DER
atas atas usaha umum mungkin dapat digunakan.
Aturan DER ini dapat berpengaruh, contohnya, pada struktur
permodalan anak perusahaan dari perusahaan asing dalam investasi di satu negara.,
penilaian hutang hingga transaksi merger dan akuisisi.
Untuk memenuhi aturan DER, perusahaan dapat merubah hutang
menjadi modal untuk memenuhi aturan tersebut dimana ada beberapa permasalahan
yang harus dipertimbangkan, contohnya,
waktu dan bentuk rekapitalisasi atau perubahan modal, withholding tax, peraturan transfer
pricing hingga perhitungan penghasilan atau rugi selisih kurs menurut PPh.
Peraturan transfer pricing
Cara lain untuk menguji kewajaran tingkat pinjaman dari
pihak terafiliasi di luar negeri, khususnya pemegang saham, adalah dengan
aturan transfer pricing yang akan menguji
penerapan prinsip kewajaran usaha
dari beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham.
Dalam praktek, Dirjen Pajak dapat mengujinya lewat
pemeriksaan transfer pricing dengan tidak mengakui beban bunga atas pinjaman
dari pemegang saham jika masih ada modal yang belum disetor dari pemegang
saham sesuai akta pendirian perusahaan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas karena pinjaman tersebut dianggap sebagai
modal yang belum disetor. Selain itu,
dapat juga diuji kewajaran tingkat bunga dan kewajaran pemberian pinjaman
dengan menggunakan rasio DER wajib pajak.
Intinya adalah perolehan
hutang dari pihak terafiliasi di luar negeri harus dilakukan dengan
menerapkan prinsip kewajaran. Pertanyaannya adalah bagaimana jika prinsip
kewajaran telah sepenuhnya diterapkan namun rasio perbandingan modal dan hutang
lebih besar dari aturan DER?
Permasalahan lain dapat terjadi jika perusahaan membayar guarantee fee karena jaminan yang diberikan pemegang saham
atas pinjaman yang diberikan kepada anak perusahaan. Ini menimbulkan
pertanyaan, dapatkah ini juga masuk dalam aturan DER atau cukup dengan aturan
transfer pricing lewat prinsip kewajaran usaha.
Peraturan di Indonesia
Peraturan DER didasarkan pada pasal 18(1) UU PPh yang menjelaskan
bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan PPh.
Pasal tersebut, termasuk penjelasan pasal tersebut, tidak menerangkan bahwa
rasio DER diterapkan hanya atas pinjaman
dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, seperti dijelaskan pasal 18(4), di
luar negeri sehingga berbeda dengan
aturan DER di negara lain yang hanya diterapkan untuk pembatasan bunga pinjaman
dari pihak terafiliasi khususnya di luar negeri. Jika demikian, hal ini dapat
menimbulkan interpretasi bahwa pasal 18(1) tersebut mengatur pembatasan
pinjaman diantaranya karena alasan ekonomi.
KMK No. 1002/KMK.04/1984 yang telah dicabut menjelaskan
definisi hutang untuk perhitungan DER sebagai saldo rata-rata pada tiap akhir
bulan yang dihitung dari semua hutang baik hutang jangka panjang maupun hutang
jangka pendek, selain hutang dagang. Definisi modal untuk perhitungan DER,
berdasarkan KMK tersebut, dijelaskan sebagai jumlah modal yang disetor pada
akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan.
KMK tersebut, seperti pasal 18(1) UU PPh, juga tidak
menjelaskan bahwa penerapan rasio DER diterapkan hanya untuk pinjaman dari
pihak terafiliasi sehingga penerapan aturan DER dapat disalahartikan sebagai
pembatasan pinjaman luar negeri.
Kesimpulan
Aturan DER diperlukan untuk mengatasi masalah penghindaran
pajak melalui beban bunga yang berlebihan atas pinjaman dari pihak terafiliasi
di luar negeri sesuai UU PPh dan bukan
untuk membatasi pinjaman luar negeri
yang dilakukan wajib pajak. Perbaikan pasal 18(1)di UU PPh dapat dilakukan demi
kejelasan dan kepastian hukum serta mencegah kesalahpahaman atas aturan DER.
(English Version)
The
Government will issue a rule for Debt to Equity Ratio (DER) with a ratio
of 4: 1 which would limit foreign debt so that the debt is capped at
four times the capital with the exclusion of certain sectors such as
banking and mining, and planned to take effect in 2016. It is said that one of
the reasons for the issuance of DER is due to concerns over foreign debt which continues to increase (Kontan Daily Newspaper, June 1, 2015). In 1984, the government in fact has issued a similar rule with a ratio of 3: 1 through KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 for tax purposes but revoked 5 months later due to a variety of refusal of businesses. What exactly is the problem on this DER rule in Indonesia?
Tax avoidance
DER rules are made in many countries since the tax authorities find tax avoidance with excessive interest charges on loans from affiliated parties, especially those residing abroad and not made because of concerns over foreign debt.
In addition to DER rules, to address tax avoidance through excessive interest charges, the application of transfer pricing rules with the approach of the principles of fairness and the predominance of business (arm's length principle) on the feasibility of granting loans can also be used.
Interest expenses on loans from affiliated parties that exceed specified ratios through DER rules, or often called thin capitalization rules, can not be the deductible expense for income tax purpose but the interest charges can remain fully payable for withholding tax.
Each country may have different ratios for DER, for example DER ratio of 1.5: 1 for general companies and 15: 1 for financial services in Australia up to a ratio of 2: 1 for general companies and 5: 1 for financial institutions in China. DER rules in other countries are applied for loans from affiliated parties, especially shareholders, and are outside the country concerned. There are special considerations if a company has the financial and non-financial business activities, in this situation the ratio of DER for general companies may be used.
DER rules could affect, for example, the capital structure of the subsidiaries of foreign companies for investment in particular country, valuation of debt until various issues for mergers and acquisitions transactions.To meet DER rules, the company can change the debt into capital to meet the rules where there are several issues that must be considered, for example, time and form of recapitalization or changes in capital, withholding tax, transfer pricing rules to the calculation of earnings or losses in income tax.
Transfer pricing regulations
Another way to test the reasonableness of the level of loans from affiliated parties abroad, especially shareholders, is the transfer pricing rules that will test the application of arm's length principles on interest expenses on loans from shareholders.
In practice, the Director General of Taxation can test through transfer pricing audit by not recognizing interest expense on loans from shareholders if they have not paid-up capital from shareholders in accordance to incorporation documents, or corporate deed, based on Limited Liability Company Act because the loan is considered as capital which has not been paid. In addition, it can also be tested on arm's length principle on the interest rate and the reasonableness of the lending by using the ratio of DER taxpayer.
The point is the acquisition of loans from affiliated parties abroad should be done by applying the arm's length principle. The question is what if the principle of fairness has been fully implemented yet and debt capital ratio greater than DER rules?
Another problem can occur if the company paying the guarantee fee for the guarantees given by shareholders for loans granted to subsidiaries. It raises the question, can we use the DER rules or simply use transfer pricing rules based on arm's length principle.
Regulations in Indonesia
DER regulation is based on Article 18 (1) Income Tax Law which explains that the Minister of Finance is authorized to issue a decision regarding the ratio between debt and capital companies for the purposes of income tax calculation. The article, including elucidation of the article, did not explain that the ratio of DER is applied only on loan from a related party, as defined by Article 18 (4), from overseas hence it is so different from DER rules in other countries which is only applied to the loan lending from affiliated parties, especially overseas. If so, this could lead to the interpretation that Article 18 (1) has set restrictions on such loans for economic reasons.
KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 which has been repealed explained the definition of debt for the DER calculation as the average balance at the end of each month is calculated from all good debt long-term debt and short-term debt, other than trade payables. Definition of capital for DER calculation, based on the KMK, is described as the amount of paid-up capital at the end of the tax year including non-profit and / or have not been distributed.
KMK, such as Article 18 (1) of Income Tax Act, is also not clear that the application of DER ratio is applied only to loans from affiliated parties so that the application of the rules DER can be misconstrued as a restriction of foreign loans.
Conclusion
DER rules are needed to tackle the problem of tax avoidance through excessive interest expenses on loans from affiliated parties abroad according to the Income Tax Act and not to limit foreign borrowing undertaken taxpayer. Amendment of Article 18 (1) in the Income Tax Act can be done for the sake of clarity and legal certainty and prevent misunderstandings on DER rules.
Catatan:
-Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum (sedikit) diedit oleh redaksi Harian Kontan
-The English version is translated from the Indonesian version, I am really sorry that several terms may not be translated properly.
Monday, January 12, 2015
Tax treaty yang merugikan
Indonesia tidak akan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang baru. Hal ini ditegaskan oleh pemerintah seperti diberitakan disini dan juga disini. Seperti dijelaskan oleh Menteri Keuangan:
"Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, selama ini tax treaty dengan negara lain secara bilateral justru merugikan Indonesia. "Makanya, saya sedang berpikir, apakah perlu moratorium atau me-review kembali tax treaty yang ada," ujar Bambang."
Permasalahan lain diungkapkan oleh Menkeu adalah adanya tax treaty yang merugikan Indonesia. Di tahun 2004, Indonesia pernah membatalkan P3B atau tax treaty dengan Mauritius.
NGO di luar negeri pernah menampilkan laporan tentang kerugian atas tax treaty atas negara-negara yang menandatangani tax treaty seperti dilaporkan oleh SOMO dalam laporannya yang menjelaskan kerugian, khususnya dalam withholding tax, dari berbagai negara yang mempunyai tax treaty dengan Belanda.
Apakah Indonesia akan membatalkan tax treaty dengan berbagai negara yang merugikan?
"Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, selama ini tax treaty dengan negara lain secara bilateral justru merugikan Indonesia. "Makanya, saya sedang berpikir, apakah perlu moratorium atau me-review kembali tax treaty yang ada," ujar Bambang."
Permasalahan lain diungkapkan oleh Menkeu adalah adanya tax treaty yang merugikan Indonesia. Di tahun 2004, Indonesia pernah membatalkan P3B atau tax treaty dengan Mauritius.
NGO di luar negeri pernah menampilkan laporan tentang kerugian atas tax treaty atas negara-negara yang menandatangani tax treaty seperti dilaporkan oleh SOMO dalam laporannya yang menjelaskan kerugian, khususnya dalam withholding tax, dari berbagai negara yang mempunyai tax treaty dengan Belanda.
Apakah Indonesia akan membatalkan tax treaty dengan berbagai negara yang merugikan?
Labels:
international tax,
tax avoidance,
tax planning,
tax treaty
Wednesday, November 26, 2014
Base Erosion and Profit Shifting, apa pengaruhnya bagi Indonesia?
Tulisan ini didasarkan atas tulisan yang telah dimuat di ortax ,
Base Erosion and Profit Shifting, apa pengaruhnya
bagi Indonesia?
Oleh : Andreas
Adoe[1]
Perusahaan
multinasional seperti Google, Amazon, Starbucks, Microsoft dalam dua tahun
terakhir menjadi sorotan karena
penghindaran pajak.[2] Sorotan
terjadi karena masalah ketidakadilan dan etika karena mereka tidak melanggar
hukum. Yang menjadi pertanyaaan, apakah hal yang turut dibahas para pemimpin
negara-negara G20 menjadi relevan di Indonesia atau negara berkembang lainnya
serta permasalahan apa yang harus dihadapi.
Google yang mendirikan
anak perusahaan di Irlandia,[3]
Amazon yang mendirikan perusahaan perantara di Luxembourg untuk pasar Eropa dan
penjualan e-commerce hingga Starbucks
yang menyalurkan bahan baku lewat perusahaan perantara di Swiss[4] adalah contoh salah satu contoh struktur yang banyak
dibuat untuk menghindari pajak. Di Indonesia, banyak investasi dilakukan dengan
mendirikan holding company di Belanda, Singapura hingga Mauritius.[5]
Dalam beberapa contoh, perusahaan multinasional mampu meminimalkan atau bahkan
menihilkan, atau double non taxation,
dalam hal penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, capital gain, jasa atau penghasilan lainnya.
Laporan BEPS
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), seperti contoh diatas, menjadi permasalahan
karena base erosion berarti berkurangnya pendapatan pajak yang mengancam kewenangan perpajakan dan
keadilan perpajakan di banyak negara dengan cara profit shifting.[6]
Masalah BEPS menunjukkan adanya kekurangan dalam peraturan perpajakan antar
negara yang banyak bersandar pada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B),
atau juga dikenal sebagai tax treaty, yang mengatur hak pemajakan antar negara
dan banyak mengacu pada model atas tax treaty yang dikeluarkan oleh OECD
(Organisation for Economic Co-operation and Development).[7]
BEPS juga menunjukkan kekurangan atas peraturan pajak dalam negeri yang
mengatur tentang perpajakan internasional termasuk peraturan atas penghindaran
pajak (anti-avoidance rule) dan
peraturan transfer pricing.
Laporan BEPS dari
OECD menunjukkan adanya permasalahan kunci BEPS yakni:[8]
-
international mismatches dalam hal penentuan karakter entitas dan
instrumen,
-
penerapan
konsep tax treaty atas laba dari penyerahan barang dan jasa secara digital;
-
perlakuan
pajak atas transaksi keuangan seperti pemberian hutang antar perusahaan;
-
transfer
pricing terutama atas pemindahan resiko dan barang tak berwujud, pemecahan secara artifisial dalam kepemilikan
aset atau transaksi yang jarang terjadi atas perusahaan yang independen;
-
keefektifan
atas aturan penghindaran pajak seperti anti
avoidance rule, controlled foreign corporation, thin capitalisation untuk
mencegah penyalahgunaan tax treaty (treaty
abuse), dan
-
Tersedianya
harmful preferential regimes,
Dengan melihat
permasalah kunci diatas, OECD telah menerbitkan laporan lanjutan tentang
rencana aksi atas BEPS,[9]
yang berisi 15 aksi seperti, sebagai contoh,
aksi untuk mengatasi masalah ekonomi digital, permasalahan pajak atas
aktiva tak berwujud (intangibles),
metodologi untuk pengumpulan data serta analisa atas BEPS, pengungkapan
perencanaan pajak yang agresif (aggressive
tax planning) atau peraturan baru atas transfer
pricing documentation,
Untuk negara
berkembang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga melalukan penelitian atas
permasalahan BEPS khususnya untuk negara berkembang agar dapat mendukung negara
berkembang atas permasalahan tersebut yang sejalan dengan pandangan PBB atas
pajak internasional.[10] Permasalahan umum bagi negara berkembang dalam BEPS
adalah karena sebagian besar negara berkembang lebih mengutamakan masalah
sumber pajak dalam negeri dan bukan pengalihan penghasilan perusahaan dalam
negeri ke yuridiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, pajak perusahaan
banyak berasal dari investasi asing yang masuk, juga karena keterbatasan kapasitas
dari otoritas perpajakan di negara berkembang.[11]
Penggeseran laba
Penggeseran laba
atau profit shifting tidak dapat dilepaskan dari offshore financial center atau negara-negara yang disebut tax haven
yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan rendah, tidak
mempunyai transparansi atau pertukaran informasi perpajakan seperti dijelaskan
dalam laporan OECD Harmful Tax Competition.[12]
Undang- Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juga menjelaskan tentang tax haven di
pasal 18(3c) tentang penjualan saham meski belum ada definisi jelas tentang tax
haven.
Tax haven terkait
dengan offshore financial center yang
memberikan pelayanan bisnis bagi pihak-pihak yang berada di luar negeri dan
bukan residen di negara tersebut,[13] meski tidak berarti satu negara akan selalu berada dua
kategori tersebut namun ciri utamanya adalah hukum dan peraturan di negara
tersebut dapat digunakan untuk melalukan penggelapan atau penghindaran pajak di
negara lain.[14]
Karena
penghindaran pajak dengan tax treaty, beberapa negara merubah atau membatalkan
tax treaty seperti Inggris, Indonesia serta Jepang yang merubah tax treaty
dengan Malaysia karena permasalahan Labuan dengan adanya Labuan Offshore Business Activity Tax Act,[15]
Indonesia yang membatalkan tax treaty dengan Mauritius atau bahkan Mongolia
yang membatalkan tax treaty dengan Belanda,[16]
dimana semua ini disebabkan pendapat adanya penyalahgunaan tax treaty.
Permasalahan bagi
Indonesia
Untuk mengatasi
masalah penghindaran pajak diperlukan peraturan atas penghindaran pajak (anti avoidance rule) yang di Indonesia
dapat ditemukan dalam pasal 18 UU PPh tentang transfer pricing, controlled foreign corporation atau special purpose vehicle yang dijelaskan
lebih lanjut dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang tata cara
penerapan P3B, PER-62/PJ/2009 tentang pencegahan penyalahgunaan P3B dan PER-
43/PJ/2010 tentang transfer pricing.
PER-61 dan PER-62
tersebut merupakan satu kemajuan karena menolak pemberian keuntungan tax treaty
seperti penurunan tarif pajak dan pembebasan pajak dalam hal penyalahgunaan tax
treaty seperti adanya penggunaan struktur perusahaan yang tidak mempunyai substansi
ekonomi dan penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
Persyaratan
tambahan untuk perusahaan luar negeri untuk mendapat keuntungan tax treaty,
seperti tertera dalam Certificate of Domicile (COD), sebenarnya memiliki
beberapa permasalahan yang perlu dijawab seperti:
-
memiliki
manajemen tersendiri untuk menjalankan usaha
Bagi perusahaan multinasional, substansi
usaha dapat dilakukan dengan membuat alihdaya (outsource) atas kegiatan manajemen seperti halnya trust office yang
banyak terdapat di Belanda yang menyediakan jasa substansi usaha bagi
perusahaan perantara.[17]
-
memiliki
jumlah personel yang cukup dan berkualifikasi.
Tidak ada kejelasan tentang berapa jumlah
yang harus dipenuhi
-
penghasilan
yang diperoleh dikenakan pajak di negara tempat kedudukan perusahaan asing.
Perusahaan asing dapat berargumen bahwa
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif nol persen dan bukan dibebaskan pajak
agar mendapatkan keuntungan tax treaty
-
tidak
lebih dari 50% penghasilan yang diterima diberikan kepada pihak lain.
Dalam beberapa struktur perusahaan
multinasional terdapat fiscal unity atau tax grouping atas beberapa perusahaan yang dapat digunakan untuk
memenuhi persyaratan ini karena penghasilan tidak diberikan kepada pihak lain. Demikian
juga bentuk badan usaha di luar negeri tidak hanya berupa limited liability company tapi juga badan lain seperti partnership, yayasan hingga trust
yang dapat digunakan juga untuk penghindaran pajak.
Dalam laporan
BEPS juga diberikan berbagai contoh struktur yang dapat digunakan perusahan
multinasional untuk penghindaran pajak untuk e-commerce, kegiatan manufaktur
atau penggunaan holding company,[18]
dimana struktur perusahaan dapat dipakai untuk menguji apakah peraturan PER-61
dan PER-62 diatas dapat diterapkan untuk menghentikan penyalahgunaan P3B.
Untuk masalah
transfer pricing, kemajuan terjadi setelah persyaratan untuk penerapan arm’s length principle dalam hubungan
istimewa diterapkan sesuai PER-43 diatas. Peraturan
transfer pricing yang lebih banyak mengacu pada OECD Transfer Pricing Guidelines,[19]
perlu juga untuk memperhatikan permasalahan yang diungkapkan United Nations Practical Manual on Transfer
Pricing for Developing Countries bahwa negara berkembang mempunyai
permasalahan dan cara pandang yang berbeda dalam hal transfer pricing seperti
dalam hal pembayaran royalti, jasa maklon hingga masalah intangibles.[20]
Pertukaran
informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak, meski
sepertinya lebih berkaitan erat dengan permasalahan penggelapan pajak dan
Indonesia dapat menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan pertukaran
data perpajakan seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data
kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes.[21]
Kesimpulan
BEPS merupakan
satu permasalahan yang juga dihadapi Indonesia dan merugikan Indonesia dalam
hal perpajakan. Diperlukan peraturan yang lebih baik untuk mengatasi
penghindaran pajak di Indonesia karena masih adanya kelemahan peraturan
perpajakan yang perlu diperbaiki. Kelemahan peraturan peraturan dapat berarti berkurangnya
atau menghilangnya pendapatan pajak terutama berkaitan dengan penghasilan
perusahaan multinasional di Indonesia.
[1] Penulis adalah alumni Universitas
Indonesia dan European Tax College,
Tilburg University, Netherlands.
Tulisan ini didasarkan atas seminar dengan topik sama di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
[2] “Factbox: Apple, Amazon, Google and tax avoidance schemes”,
Reuters, http://www.reuters.com/article/2013/05/22/us-eu-tax-avoidance-idUSBRE94L0GW20130522
[3] “Man Making Ireland Tax Avoidance Hub Proves Local Hero”,
Bloomberg, http://www.bloomberg.com/news/2013-10-28/man-making-ireland-tax-avoidance-hub-globally-proves-local-hero.html
[4] Special Report: How Starbucks avoids UK taxes, Reuters, http://www.reuters.com/article/2012/10/15/us-britain-starbucks-tax-idUSBRE89E0EX20121015
[5] Sebagai contoh dapat dilihat dari laporan BKPM
tentang negara asal investor untuk investasi di Indonesia; http://www.bkpm.go.id/img/Press%20Release%20TW%20I%202014%20-%20ind%20-%2024%20April.pdf
[6] OECD Report, Addressing Base
Erosion and Profit Shifting, 2013.
[7] Istilah OECD (www.oecd.org) menunjuk pada organisasi ekonomi internasional
beranggotakan 34 negara yang umumnya negara-negara maju yang memiliki misi
untuk mendukung kebijakan yang akan meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial.
Indonesia bersama-sama dengan Tiongkok, Brazil, India, Rusia,Afrika Selatan
telah menjadi “key partner” bagi OECD (http://www.oecd.org/about/membersandpartners/#d.en.194378)
[8] Id, lihat Chapter 5, Addressing
concerns related to base erosion and profit shifting, terutama atas key pressure areas.
[9] Lihat OECD
Report, Action Plan on Base Erosion and
Profit Shifting, 2013. Pada bagian ketiga dari laporan itu dijelaskan
tentang Action Plan secara rinci.
[10] Subcommittee on Base Erosion and Profit
Shifting Issues for Developing Countries, UN, http://www.un.org/esa/ffd/tax/BEPS_note.pdf.
[11] “Protecting the Tax Base of
Developing Countries: An Overview”’ Hugh J. Ault, Brian J. Arnold;
Papers on Selected Topics in
Protecting the Tax Base of Developing Countries, Mei 2013
[12] OECD Report,
Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue, http://www.oecd.org/tax/transparency/44430243.pdf;
laporan ini sering digunakan untuk menjelaskan tentang tax haven.
[13] Concept of Offshore Financial
Centers: In Search of an Operational Definition, IMF Working Paper, 2007
[14] Identifying Tax Haven and Financial Offshore
Centers, Tax Justice
Network. http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Identifying_Tax_Havens_Jul_07.pdf
[15] Ada sekitar 11 negara yang mengecualikan Labuan dalam tax treaty dengan
Malaysia, http://www.lowtax.net/information/labuan/labuan-tax-treaty-introduction.html
[16] Should the Netherlands sign
tax treaties with developing countries?, SOMO, Netherlands (Centre for
Research on Multinational Corporations), 2013.
[17] The Netherlands,
A Tax Haven?, SOMO, 2006. Dalam laporan ini dijelaskan adanya trust office di
Belanda yang memberi penjelasan tentang perusahaan Belanda yang diatur oleh
trust office yang jumlahnya ribuan dan juga menyebut adanya perusahaan
Indonesia yang mempunyai perusahaan perantara di Belanda
[18] Lihat Annex C : Examples of MNEs’ tax planning structures dari OECD
Report, Addressing Base Erosion and Profit Shifting.
[19] OECD Transfer Pricing
Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations. banyak
digunakan sebagai rujukan dalam sengketa transfer pricing di Indonesia.
[21] Offshore Bank, Financial Center dan Penggelapan
Pajak di Indonesia, Andreas Adoe, Harian Kontan, 10 Maret 2014.
Subscribe to:
Posts (Atom)