(Versi Indonesia)
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak
Pemerintah akan menerbitkan aturan Debt to Equity Ratio (DER) dengan rasio 4:1 yang akan membatasi hutang
luar negeri sehingga hutang dibatasi sebesar 4 kali modal dengan perkecualian
sektor tertentu seperti perbankan serta pertambangan dan direncanakan berlaku
mulai tahun 2016, dikatakan bahwa salah satu alasan terbitnya DER adalah karena
kekuatiran atas pinjaman luar negeri yang terus meningkat (Kontan, 1 Juni
2015). Di tahun 1984, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan serupa
dengan rasio sebesar 3:1 lewat KMK No. 1002/KMK.04/1984 untuk kepentingan pajak
namun dicabut 5 bulan kemudian karena adanya berbagai penolakan dari pelaku
usaha. Apa sebenarnya permasalahan atas
aturan DER ini di Indonesia ?
Penghindaran pajak
Aturan DER dibuat di banyak negara karena otoritas pajak
menemukan penghindaran pajak dengan
beban bunga yang berlebihan atas
hutang dari pihak terafiliasi, khususnya
yang berada di luar negeri dan bukan dibuat karena kekuatiran atas hutang luar
negeri.
Selain aturan DER, untuk mengatasi penghindaran pajak lewat
beban bunga yang berlebihan, penerapan aturan transfer pricing dengan
pendekatan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) atas kelayakan dari pemberian pinjaman juga
dapat digunakan.
Beban bunga atas pinjaman dari pihak terafiliasi yang
melebihi rasio yang ditetapkan lewat aturan DER, atau sering disebut aturan thin capitalization, tidak dapat menjadi beban pengurang pajak
penghasilan (PPh) namun beban bunga tersebut dapat tetap sepenuhnya terutang withholding tax.
Tiap negara dapat memiliki rasio berbeda untuk DER,
contohnya rasio DER sebesar 1,5: 1 untuk perusahaan umum dan 15:1 untuk jasa
keuangan di Australia hingga rasio 2:1 untuk perusahaan umum dan 5:1 untuk
lembaga keuangan di Tiongkok. Aturan DER
di negara lain diterapkan atas pinjaman dari pihak terafiliasi, terutama
pemegang saham, serta berada di luar negara yang bersangkutan. Ada pertimbangan khusus jika satu perusahaan
mempunyai jasa keuangan dan bukan kegiatan usaha non keuangan maka rasio DER
atas atas usaha umum mungkin dapat digunakan.
Aturan DER ini dapat berpengaruh, contohnya, pada struktur
permodalan anak perusahaan dari perusahaan asing dalam investasi di satu negara.,
penilaian hutang hingga transaksi merger dan akuisisi.
Untuk memenuhi aturan DER, perusahaan dapat merubah hutang
menjadi modal untuk memenuhi aturan tersebut dimana ada beberapa permasalahan
yang harus dipertimbangkan, contohnya,
waktu dan bentuk rekapitalisasi atau perubahan modal, withholding tax, peraturan transfer
pricing hingga perhitungan penghasilan atau rugi selisih kurs menurut PPh.
Peraturan transfer pricing
Cara lain untuk menguji kewajaran tingkat pinjaman dari
pihak terafiliasi di luar negeri, khususnya pemegang saham, adalah dengan
aturan transfer pricing yang akan menguji
penerapan prinsip kewajaran usaha
dari beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham.
Dalam praktek, Dirjen Pajak dapat mengujinya lewat
pemeriksaan transfer pricing dengan tidak mengakui beban bunga atas pinjaman
dari pemegang saham jika masih ada modal yang belum disetor dari pemegang
saham sesuai akta pendirian perusahaan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas karena pinjaman tersebut dianggap sebagai
modal yang belum disetor. Selain itu,
dapat juga diuji kewajaran tingkat bunga dan kewajaran pemberian pinjaman
dengan menggunakan rasio DER wajib pajak.
Intinya adalah perolehan
hutang dari pihak terafiliasi di luar negeri harus dilakukan dengan
menerapkan prinsip kewajaran. Pertanyaannya adalah bagaimana jika prinsip
kewajaran telah sepenuhnya diterapkan namun rasio perbandingan modal dan hutang
lebih besar dari aturan DER?
Permasalahan lain dapat terjadi jika perusahaan membayar guarantee fee karena jaminan yang diberikan pemegang saham
atas pinjaman yang diberikan kepada anak perusahaan. Ini menimbulkan
pertanyaan, dapatkah ini juga masuk dalam aturan DER atau cukup dengan aturan
transfer pricing lewat prinsip kewajaran usaha.
Peraturan di Indonesia
Peraturan DER didasarkan pada pasal 18(1) UU PPh yang menjelaskan
bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan PPh.
Pasal tersebut, termasuk penjelasan pasal tersebut, tidak menerangkan bahwa
rasio DER diterapkan hanya atas pinjaman
dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, seperti dijelaskan pasal 18(4), di
luar negeri sehingga berbeda dengan
aturan DER di negara lain yang hanya diterapkan untuk pembatasan bunga pinjaman
dari pihak terafiliasi khususnya di luar negeri. Jika demikian, hal ini dapat
menimbulkan interpretasi bahwa pasal 18(1) tersebut mengatur pembatasan
pinjaman diantaranya karena alasan ekonomi.
KMK No. 1002/KMK.04/1984 yang telah dicabut menjelaskan
definisi hutang untuk perhitungan DER sebagai saldo rata-rata pada tiap akhir
bulan yang dihitung dari semua hutang baik hutang jangka panjang maupun hutang
jangka pendek, selain hutang dagang. Definisi modal untuk perhitungan DER,
berdasarkan KMK tersebut, dijelaskan sebagai jumlah modal yang disetor pada
akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan.
KMK tersebut, seperti pasal 18(1) UU PPh, juga tidak
menjelaskan bahwa penerapan rasio DER diterapkan hanya untuk pinjaman dari
pihak terafiliasi sehingga penerapan aturan DER dapat disalahartikan sebagai
pembatasan pinjaman luar negeri.
Kesimpulan
Aturan DER diperlukan untuk mengatasi masalah penghindaran
pajak melalui beban bunga yang berlebihan atas pinjaman dari pihak terafiliasi
di luar negeri sesuai UU PPh dan bukan
untuk membatasi pinjaman luar negeri
yang dilakukan wajib pajak. Perbaikan pasal 18(1)di UU PPh dapat dilakukan demi
kejelasan dan kepastian hukum serta mencegah kesalahpahaman atas aturan DER.
(English Version)
The
Government will issue a rule for Debt to Equity Ratio (DER) with a ratio
of 4: 1 which would limit foreign debt so that the debt is capped at
four times the capital with the exclusion of certain sectors such as
banking and mining, and planned to take effect in 2016. It is said that one of
the reasons for the issuance of DER is due to concerns over foreign debt which continues to increase (Kontan Daily Newspaper, June 1, 2015). In 1984, the government in fact has issued a similar rule with a ratio of 3: 1 through KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 for tax purposes but revoked 5 months later due to a variety of refusal of businesses. What exactly is the problem on this DER rule in Indonesia?
Tax avoidance
DER rules are made in many countries since the tax authorities find tax avoidance with excessive interest charges on loans from affiliated parties, especially those residing abroad and not made because of concerns over foreign debt.
In addition to DER rules, to address tax avoidance through excessive interest charges, the application of transfer pricing rules with the approach of the principles of fairness and the predominance of business (arm's length principle) on the feasibility of granting loans can also be used.
Interest expenses on loans from affiliated parties that exceed specified ratios through DER rules, or often called thin capitalization rules, can not be the deductible expense for income tax purpose but the interest charges can remain fully payable for withholding tax.
Each country may have different ratios for DER, for example DER ratio of 1.5: 1 for general companies and 15: 1 for financial services in Australia up to a ratio of 2: 1 for general companies and 5: 1 for financial institutions in China. DER rules in other countries are applied for loans from affiliated parties, especially shareholders, and are outside the country concerned. There are special considerations if a company has the financial and non-financial business activities, in this situation the ratio of DER for general companies may be used.
DER rules could affect, for example, the capital structure of the subsidiaries of foreign companies for investment in particular country, valuation of debt until various issues for mergers and acquisitions transactions.To meet DER rules, the company can change the debt into capital to meet the rules where there are several issues that must be considered, for example, time and form of recapitalization or changes in capital, withholding tax, transfer pricing rules to the calculation of earnings or losses in income tax.
Transfer pricing regulations
Another way to test the reasonableness of the level of loans from affiliated parties abroad, especially shareholders, is the transfer pricing rules that will test the application of arm's length principles on interest expenses on loans from shareholders.
In practice, the Director General of Taxation can test through transfer pricing audit by not recognizing interest expense on loans from shareholders if they have not paid-up capital from shareholders in accordance to incorporation documents, or corporate deed, based on Limited Liability Company Act because the loan is considered as capital which has not been paid. In addition, it can also be tested on arm's length principle on the interest rate and the reasonableness of the lending by using the ratio of DER taxpayer.
The point is the acquisition of loans from affiliated parties abroad should be done by applying the arm's length principle. The question is what if the principle of fairness has been fully implemented yet and debt capital ratio greater than DER rules?
Another problem can occur if the company paying the guarantee fee for the guarantees given by shareholders for loans granted to subsidiaries. It raises the question, can we use the DER rules or simply use transfer pricing rules based on arm's length principle.
Regulations in Indonesia
DER regulation is based on Article 18 (1) Income Tax Law which explains that the Minister of Finance is authorized to issue a decision regarding the ratio between debt and capital companies for the purposes of income tax calculation. The article, including elucidation of the article, did not explain that the ratio of DER is applied only on loan from a related party, as defined by Article 18 (4), from overseas hence it is so different from DER rules in other countries which is only applied to the loan lending from affiliated parties, especially overseas. If so, this could lead to the interpretation that Article 18 (1) has set restrictions on such loans for economic reasons.
KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 which has been repealed explained the definition of debt for the DER calculation as the average balance at the end of each month is calculated from all good debt long-term debt and short-term debt, other than trade payables. Definition of capital for DER calculation, based on the KMK, is described as the amount of paid-up capital at the end of the tax year including non-profit and / or have not been distributed.
KMK, such as Article 18 (1) of Income Tax Act, is also not clear that the application of DER ratio is applied only to loans from affiliated parties so that the application of the rules DER can be misconstrued as a restriction of foreign loans.
Conclusion
DER rules are needed to tackle the problem of tax avoidance through excessive interest expenses on loans from affiliated parties abroad according to the Income Tax Act and not to limit foreign borrowing undertaken taxpayer. Amendment of Article 18 (1) in the Income Tax Act can be done for the sake of clarity and legal certainty and prevent misunderstandings on DER rules.
Catatan:
-Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum (sedikit) diedit oleh redaksi Harian Kontan
-The English version is translated from the Indonesian version, I am really sorry that several terms may not be translated properly.
No comments:
Post a Comment