Thursday, December 1, 2011

Revisi peraturan Transfer Pricing di Indonesia di tahun 2011

Dirjen Pajak akhirnya merevisi peraturan Transfer Pricing di Indonesia lewat Peraturan Direktorat Jenderal Pajak PER-32/PJ/2011 yang mulai berlaku sejak tanggal diterbitkan, 11 November 2011.

Ada beberapa perbedaan dibanding peraturan Transfer Pricing sebelumnya di tahun 2011 sebagai berikut
-Penerapan dan Dokumentasi atas Transaksi Hubungan Istimewa (Related Party Transaction)
Pasal 2 dari peraturan tersebut menjelaskan bahwa peraturan TP ditetapkan terutama pada transaksi hubungan istimewa dengan pihak terkait (related party) di luar negeri dan dalam negeri.
Untuk pihak terkait di dalam negeri dibatasi hanya untuk untuk transaksi pihak terkait yang digunakan untuk mendapatkan perbedaan tarif pajak karena PPh final dan non final, PPn BM dan transaksi dengan perusahaan pada Kontrak Kerja Sama Migas.

Perlu dicatat bahwa hal belum lama ini pemerintah memberikan fasilitas tax holiday sehingga industri pionir dapat dibebaskan dari PPh Badan atau mendapat pengurangan PPh. Oleh karenanya peraturan ini relevan untuk diterapkan pada perusahaan yang mendapat fasilitas tax holiday.

-Metode TP sekarang tidak lagi menggunakan hirarki
Dirjen Pajak sepertinya telah mengikuti revisi terbaru OECD TP Guidelines yang diterbitkan tahun 2010.

- Analisa Kesebandingan
Comparability analysis atau Analisa Kesebandingan akan lebih diperketat karena adanya faktor yang harus dipertimbangkan. Dalam prakteknya, tidak semua comparables dapat digunakan jika kriteria yang digunakan diperketat oleh Dirjen Pajak sehingga analisa lebih mendalam akan diperlukan.

-Intangibles
Dirjen Pajak, dalam pasal 17, mengakui adanya Trade Intangibles dan Marketing Intangibles sehingga pasal tersebut dapat digunakan sebagai dasar hokum dalam pemeriksaan Transfer Pricing.

-Cost Contribution Arrangements (CCA)
Di Pasal 17A, CCA telah diakui namun Wajib Pajak harus membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan adalah arm’s length jika tidak maka perjanjian tersebut dapat ditolak oleh Dirjen Pajak.

Tuesday, November 15, 2011

PPh Potput / Withholding Tax di Indonesia

Pemotongan / Pemungutan PPh atau disebut sebagai Withholding Tax di Indonesia mempunyai banyak jenis dan tarif yang berbeda. Apakah permasalahan yang ada hanya sekedar menghapal jenis PPh Potput yang ada serta tarif yang tepat? Ternyata tidak hanya seperti itu, tulisan berikut menjelaskan permasalahan yang ada

Banyaknya jenis PPh Potput di Indonesia
PPh Potput harus diterapkan dengan benar terutama oleh pihak yang memberikan penghasilan atau seharusnya memotong karena kesalahan pemotongan PPh dapat menimbulkan sanksi perpajakan.

Adalah wajar jika seseorang, bahkan mungkin juga fiskus, tidak hapal tarif pajak PPh Potput. Dari PPh 21 yang perhitungannya panjang dan cara perhitungannya beda hingga PPh Pasal 26. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. PPh Pasal 21
b. PPh Pasal 22
c. PPh Pasal 23
d. PPh Pasal 26
e. PPh Pasal 4(2)
f. PPh Pasal 15

Untuk PPh Pasal 21, perhitungan dibedakan diantaranya dengan pegawai tetap dan tidak tetap serta penghasilan yang berkesinambungan dan tidak.
PPh 21 dibedakan antara barang impor dan produk tertentu.
PPh 23 diterapkan atas pembayaran royalti, dividen, bunga, sewa hingga jasa. Berdasarkan UU PPh terbaru sesungguhnya tariff PPh Pasal 23 sudah disederhanakan sehingga dapat dikatakan jika tarif PPh 23 untuk jasa adalah sebesar 2%
PPh 26 diterapkan terutama atas pembayaran atau pemberian penghasilan kepada pihak di luar negeri dengan tarif sebesar 20% kecuali atas pembayaran asuransi atau reasuransi di luar negeri.
PPh Pasal 4 (2) yang sering disebut PPh final pada dasarnya dibuat untuk memudahkan pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun bisa menimbulkan permasalahan keadilan karena Wajib Pajak tidak dapat memperhitungkan kerugian yang ia peroleh.
PPh Pasal 15 juga mempermudah pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun dapat menimbulkan pertanyaan tentang dasar perhitungan tarif sebesar 1,2%, 1,8%, 2,64%, 0,44% yang juga tidak memungkinkan Wajib Pajak untuk memperhitungkan kerugian yang diterima.

Sukarnya Klasifikasi atas PPh Potput
Sulitnya penggolongan jenis PPh Potput dapat membuat Wajib Pajak salah menerapkan tarif PPh yang membuat Wajib Pajak terancam terkena sanksi perpajakan berupa kenaikan hingga denda. Sebagai contoh :

- Adanya perbedaan tarif PPh final Pasal 4(2) antara pelaksanaan konstruksi dan pemberian jasa konstruksi dapat menimbulkan kesalahan dan perbedaan pendapat. Yang manakah yang merupakan jasa konstruksi dan yang mana merupakan pelaksanaan konstruksi. Salah satu solusi yang dapat dipakai Wajib Pajak adalah membuat rincian pembayaran yang membedakan antara jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultasi atas konstruksi.

- Perbedaan klasifikasi antara PPh Final antara PPh Jasa Pelayaran sesuai PPh Pasal 23 dengan jasa penujang migas sesuai PPh Pasal 4(2) jika satu perusahaan memberikan jasanya kepada perusahaan migas.

PPh Potput dan PPN
PPh Potput juga dapat menjadi acuan ekualisasi bagi PPN karena adanya transaksi yang merupakan objek PPh Potput dan juga objek PPN contohnya seperti jasa konstruksi.
Perlu diperhatikan juga antara bagi penerimaan apakah sudah termasuk PPh Potput dan PPN karena kesalahan perhitungan dapat membuat sanksi pajak dapat diterapkan pada pihak yang seharusnya memotong PPh.

Kesimpulan
Indonesia dibandingkan dengan negara lain mempunyai lebih banyak jenis pajak sehingga Wajib Pajak Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan kewajiban perpajakannya seperti dapat dilihat di laporan berikut dari World Bank.

Karena itulah Wajib Pajak harus berhati-hati dalam melakukan perencanaan atas PPh Potput dan mungkin bagi Pemerintah diperlukan peraturan yang lebih jelas untuk menghindari perbedaan pendapat atau bahkan mengurangi jenis pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk menolong Wajib Pajak seperti dilihat di laporan World Bank tersebut

Thursday, October 20, 2011

Biaya Pengurang Pajak untuk Pajak Penghasilan yang kontroversial

Dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) ada biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak. Biaya tersebut sesuai UU PPh dibagi menjadi :

1. Biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense)
Hal ini didasarkan atas Pasal 6 UU PPh yang mengatakan...Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan .....

2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan (non deductible expense)Hal ini berdasarkan Pasal 9 UU PPh
Meski Undang-Undang telah menjelaskan adanya biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang namun tetap saja ada permasalahan tentang penggolongan biaya tersebut karena peraturan atau UU Pajak tidak merinci secara jelas dan hal utama yang dipakai adalah 3m yakni mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

Permasalahan atas biaya pengurang pajak dapat kita lihat dalam kasus perpajakan di negara lain seperti :

a.Penghasilan Pajak dan Biaya pengurang pajak dari transaksi narkoba
Ada satu kasus di Belanda tentang seorang pelaku kriminal yang tertangkap basah melakukan pengedaran obat terlarang. Cerita bertambah rumit waktu kantor pajak Belanda menyatakan kalau orang tersebut belum membayar pajak dari penjualan narkoba.Memang, pajak tidak mengenal penghasilan haram atau halal, jadi si pelaku harus membayar pajak atas penghasilan yang melanggar hukum sekalipun.Ternyata, terdakwa menyatakan bahwa ia berhak dikenakan pajak atas penghasilan bersihnya, sehingga semua biaya termasuk harga pokok dapat dijadikan pengurang penghasilan pajak. Hasilnya, kantor pajak harus menerima bahwa penghasilan kena pajak dari penjualan narkoba harus memperhitungkan harga beli narkoba serta biaya lain untuk memperoleh penjualan narkoba.

Solusinya, menurut info yang saya dapat, pemerintah belanda merubah peraturan sehingga pajak atas penghasilan dari kejahatan tidak dapat memperhitungkan biaya-biaya lainnya.Sayang di Indonesia, belum ada pelaku kejahatan seperti bandar narkoba atau koruptor yang dipaksa bayar pajak serta peraturan dan penegakan aturan pajak yang belum mendukung

b. Biaya operasi plastik bagi Pekerja Seks Komersial
Di beberapa negara Eropa, Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pekerjaan legal dan mereka juga harus membayar pajak. Nah dalam satu kasus PSK menyatakan bahwa biaya operasi plastik yang ia lakukan dapat dipakai sebagai pengurang pajak penghasilan yang harus ia bayar. Logikanya? Tanpa operasi plastik sukar bagi dia mendapatkan pelanggan.Keputusannya, PSK tersebut dapat menggunakan biaya operasi plastik sebagai biaya pengurang PPh OP
Di luar negeri, termasuk di Singapura dan Malaysia, PPh Orang Pribadi (OP) dapat menggunakan berbagai biaya pengurangan pajak atau terkadang disebut allowance yang tidak semata hanya PTKP seperti di Indonesia yang pernah digugat karena tidak adil.

c. Pembayaran tebusan sebagai pengurang pajak
Hal ini terjadi di India, satu perusahaan harus membayar uang tebusan atas karyawan mereka yang diculik. Saat menghitung PPh Badan, mereka menyatakan bahwa biaya uang tebusan adalah biaya pengurang pajak. Kantor pajak tidak menyetujuinya.Kasus berlanjut sampai ke Pengadilan Pajak yang kemudian memutuskan kalau biaya tebusan seharusnya dapat menjadi pengurang pajak.

d. Biaya sogok atau korupsi dalam bisnis
Sudah menjadi rahasia umum kalau sogok atau korupsi adalah hal yang menjadi kewajiban jika ingin berbisnis terutama dengan pemerintah. Nah bagi pajak, apakah sogokan dan pembayaran korupsi merupakan biaya pengurang pajak.
Seharusnya, menurut penulis, korupsi atau sogokan dapat menjadi biaya pengurang pajak karena tanpa membayarnya sukar mendapatkan proyek pemerintah di Indonesia.
=====

Di dunia ada beberapa cerita aneh tentang Tax Deduction teraneh seperti dimuat laman berikut. Di Amerika Serikat, pemerintah membuat peraturan yang jelas atas pengurang pajak seperti bisa dilihat di sini dan disini.

Jelas peraturan pajak di Indonesia, tidak hanya atas UU namun secara keseluruhan tidak mengatur dengan jelas tentang biaya pengurang pajak.

Thursday, October 13, 2011

Sensus Pajak Nasional -Satu Analisa

Pemerintah menjalan Sensus Pajak Nasional (SPN) untuk menggali data dari masyarakat khususnya Wajib Pajak. SPN dijalankan untuk menghimpun data atau basis perpajakan yang lebih baik dan akan dilakukan di seluruh pelosok negeri secara serentak dan secara resmi akan dimulai tanggal 30 September berdasarkan siaran pers dari Dirjen Pajak.

Jelas tingkat pembayaran pajak di Indonesia rendah berdasarkan kenyataan berikut :

  • Di negara maju, persentase penerimaan terbesar adalah dari pajak penghasilan orang pribadi. Di Indonesia, penerimaan PPh OP kalah jauh dari PPh Badan
  • Data perpajakan di Indonesia belum bagus karena data kependudukan belum jelas, di negara lain dengan nomor jaminan sosial atau single identity number, sukar sekali menghidari pajak.
  • Data terintegrasi antara kantor pajak dengan kantor catatan sipil atau pemerintah daerah belum terlaksana.

Dasar hukum

Pemerintah berdasarkan UU KUP, Pasal 35A, Dirjen Pajak diberikan kuasa untuk menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara. Bahkan pihak yang tidak memberikan informasi yang diminta dapat dikenakan sanksi pidana, menurut Pasal 41C, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan hingga satu tahun dan denda maksimal satu milyar rupiah.

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Semoga ini dasar hukum yang digunakan pemerintah dan benar-benar diterapkan karena mungkin banyak orang yang tidak menyadari wewenang Dirjen Pajak mengumpulkan data dan keterangan. Juga karena selama ini banyak yang belum menjadi Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 35A tersebut, wewenang Dirjen Pajak juga sangat besar meski dibatasi oleh UU untuk merahasiakan data tersebut.

Untuk mendukung SPN, pemerintah menerbitkan PMK No. 149/PMK.03/2011 tentang Sensus Pajak Nasional yang menjelaskan bahwa alasan SPN diantaranya adalah untuk dalam rangka pendataan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan guna memperluas basis pajak, perlu dilakukan pengumpulan data berbasis objek pajak. Jadi seakan alasan SPN yang utama adalah PBB dan bukan PPh OP.

Jika penekanan data SPN adalah PPh OP, pemerintah dapat menggunakan data tersebut untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak atau orang pribadi yang belum mempunyai NPWP tapi seharusnya sudah membayar pajak.

Berdasarkan Pasal 4(1)(p) UU PPh, tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak termasuk penghasilan kena pajak. Jadi jika WP atau orang yang belum ber-NPWP berdasarkan data SPN mempunyai rumah mewah dan mobil mewah namun belum bayar pajak bisa saja pemerintah menerbitkan ketetapan pajak kurang bayar atas penghasilan yang belum dilaporkan.

Data yang diminta

Dalam satu situs pajak, bahkan dijelaskan dengan satu contoh file, apa saja data yang diminta dan dikumpulkan. Ternyata datanya serupa atau mirip dengan data dari Formulir Pendaftaran NPWP.

SPN sangat baik untuk mengumpulkan data Wajib Pajak namun usaha lain tetap diperlukan seperti membangun koneksi database kependudukan dengan database perpajakan sehingga pendaftaran NPWP tidak diperlukan lagi secara formal karena digunakannya data kependudukan berupa single identity number.

Dalam tulisan terdahulu pernah dijelaskan bagaimana residen di Belanda bisa langsung menerima surat dari kantor pajak tanpa melapor ke kantor pajak sama sekali.


Belajar Transfer Pricing

Banyak orang yang belum paham Transfer Pricing, artikel berikut menjelaskan secara sederhana bagaimana satu perusahaan pisang melakukan Transfer Pricing.

Dari ilustrasi menarik ini kita dapat melihat bagaimana Transfer Pricing digunakan oleh perusahaan pisang di Inggris untuk menghindari pajak, penentuan harga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, royalty, trademark hingga intra –group services.

Berdasarkan sejarah, transfer pricing mulai dibuat dalam ketentuan perpajakan di Inggris yang digunakan untuk mengamankan penerimaan pajak, jadi penggambaran perusahaan pisang di atas bisa jadi satu gambaran nyata.

Dari gambaran perusahaan pisang tersebut, pemerintah, lewat Dirjen Pajak dapat menerapkan harga wajar atas harga beli, harga jual hingga pembayaran atas intra-group service.

Di Indonesia?

Mungkin kalau di Indonesia bisa digambarkan seperti telepon pintar yang diproduksi oleh perusahaan di Cina sana, namun barang dijual oleh perusahaan dagang berkedudukan di Hong Kong sedang server berlokasi di Amerika serta layanan pendukung seperti marketing dan customer service ada di Singapura. Selain itu holding company juga berada di beberapa negara, dari Belanda, Luxembourg hingga Swiss. Kepemilikan atas merek, teknologi dapat saja berada di beberapa negara yang menawarkan insentif pajak tertentu atau juga financial offshore center. Hal ini hanyalah contoh sederhana dari permasalahan transfer pricing.

Tuesday, September 27, 2011

Pajak Internasional - Belajar Mandiri secara cuma-cuma

Perpajakan internasional menjadi semakin penting di Indonesia terutama dengan perdagangan antar negara yang semakin besar jumlahnya, peraturan transfer pricing yang semakin diterapkan di Indonesia hingga kepentingan para investor asing dalam tax planning untuk berinvestasi di Indonesia.

Ada beberapa hal yang bisa digunakan, dari Wikipedia hingga belajar online.
Kalau wikipedia, selain melihat entry yang dibuat juga perlu melihat adanya referensi yang seringkali berisi link yang sangat bagus.

Belum lama ini, saya mendapati adanya adanya gelar online untuk belajar perpajakan. Tapi yang paling menarik adalah adanya bahan ujian dan jawaban yang gratis dari The Chartered Institute of Taxation yang diantaranya berisi daftar ujian serta jawaban dari ujian yang mereka buat.

Dalam laman ini, bisa kita lihat, baca atau download soal dan jawaban atas perpajakan internasional. Juga dalam laman lainnya, kita bisa lihat contoh dari soal dan jawaban dari Transfer Pricing.

Untuk lebih jelas, kita bisa saja mencari di google, misalnya tentang OECD Transfer Pricing Guidelines dalam bentuk pdf file sebagai rujukan masalah Transfer Pricing
Kita juga bisa mencari file pdf tentang OECD Model untuk Tax Treaty

Selamat belajar dengan gratis

Insentif Pajak (PPh Badan) dan Analisa atas ketentuan

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan PPh.

Dalam Pasal 2 dari PMK 130 tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas tersebut dapat memperoleh fasilitas bebas PPh Badan selama maksimal 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan PPh Badan sebesar 50 persen hingga 2 (dua) tahun kemudian.

Persyaratan

Pasal 3 menjelaskan kriteria WP Badan yang memperoleh fasilitas insentif pajak tersebut diantaranya

- merupakan Industri Pionir yang mencakup contohnya industri logam dasar; industri pengilangan minyak bumi, industri permesinan, industri di bidang sumberdaya terbarukan, industri peralatan komunikasi.

- mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);

- menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan

- harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.

Insentif Pajak dan Perpajakan Internasional

Beberapa permasalahan perpajakan internasional juga dijelaskan dalam Pasal 4(3) dari PMK 130 tersebut yang mempersyaratkan adanya ketentuan tax sparing di negara asal investor. Selanjutnya, Pasal 4(4) menjelaskan tentang tax sparing.

Tanpa adanya ketentuan tax sparing maka fasilitas bebas pajak tidak akan berguna karena akan penghasilan akan tetap dikenakan pajak di negara asal investor.

Analisa atas PMK 130

Ketentuan tersebut tampaknya dibuat dengan beberapa pertimbangan contohnya :

a. WP Badan yang akan mendapat fasilitas tidak semata-mata didirikan dalam waktu singkat untuk mendapat fasilitas pajak tersebut sehingga harus disahkan paling lama 12 bulan sebelumnya.

b. Harus berbadan hukum di Indonesia, hal ini dalam sudut pandang perpajakan internasional untuk mencegah adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang ketentuan perpajakannya akan lebih kompleks dari badan hukum di Indonesia. Tentunya dengan melihat ketentuan hukum lainnnya seperti UU Penanaman Modal dll.

c. Tax sparing memang diperlukan agar hal ini tidak memberikan pajak terutang ke negara asal investor. Namun hal ini tidak melihat atau mengatur perusahaan perantara di offshore financial center.

d. Beberapa pihak terlibat dalam pemberian fasilitas dari Menteri Perindustrian, Dirjen Pajak, BKPM hingga Komite Verifikasi dan Menteri Keuangan

Satu hal yang menarik adalah ketentuan ini sebenarnya dapat diterapkan bagi produsen Blackberry yang sempat merencanakan untuk berinvestasi dengan mendirikan pabrik di Indonesia.

Friday, September 2, 2011

Migrasi karena pajak?

Berpindah tempat tinggal karena pajak? Ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga terjadi di Indonesia dan hal ini bahkan telah terjadi sejak abad lalu sebelum masa kemerdekaan Indonesia.

Di luar negeri hal ini dapat terjadi misalnya seseorang berpenghasilan tinggi di satu negara dengan tingkat pajak penghasilan hingga 50 persen pindah ke negeri lain dengan tingkat pajak penghasilan jauh lebih rendah. Salah satu contoh adalah mantan pembalap Formula 1 Michael Schumacer yang tinggal di Swiss yang salah satu alasannya adalah karena pajak penghasilan orang pribadi yang lebih dari negeri asalnya Jerman

Bayangkan jika anda adalah pemilik perusahaan konglomerat Indonesia dengan beberapa perusahaan publik. Maukah anda tinggal di Indonesia sementara di Singapura pajak yang ditawarkan jauh lebih rendah? Tarif pajak penghasilan tertinggi di Indonesia adalah 30 persen sedangkan di Singapura hanya 20 persen. Jika Indonesia menganut worldwide base sedangkan Singapura mengatur territorial taxation sehingga penghasilan dari luar negeri tidak dikenakan pajak di Singapura. Hasil akhirnya adalah pajak penghasilan yang lebih rendah.


Orang Indonesia yang bermigrasi

Sudono Salim termasuk contoh dari orang kaya Indonesia yang tinggal di Singapura. Tentunya ada alasan lain selain pajak, terutama setelah kerusuhan di Jakarta tahun 1998, namun tentunya pajak dapat menjadi satu pertimbangan untuk migrasi ke Singapura. Ia sendiri sekarang dikabarkan tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat.

Selain itu, masih ada Sukanto Tanoto, salah satu orang terkaya di Indonesia, yang pindah ke Singapura dan menjalankan usahanya dari negara tetangga tersebut. Meski ada tuduhan bahwa ia melarikan diri dari masalah namun pajak tetap dapat menjadi satu pertimbangan menarik. Ia sendiri masih mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan memegang paspor hijau.

Pelarian pajak di masa lalu

Dalam buku tentang “Oei Hun Lan, Putri orang terkaya di Indonesia” karangan Agnes Davonar dijelaskan tentang orang terkaya di Asia Tenggara di masanya, Oei Tiong Ham pindah dari Semarang atau Jawa ke Singapura karena tagihan pajak yang sangat besar dari pemerintah kolonial Belanda. Ia sendiri tetap dapat menjalankan usahanya dari Singapura.

Sepertinya Singapura jadi tempat yang menarik untuk mencari tempat berusaha dan mendapatkan fasilitas tambahan seperti tarif pajak yang lebih rendah dan hal ini sudah berlangsung sejak pertengahan pertama abad silam.

Friday, August 12, 2011

PBB yang menjadi Pajak Daerah

Mungkin masih banyak yang belum sadar bahwa mulai 1 Januari 2010, pembayaran PBB dan pelaporan PBB tidak dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) karena telah menjadi pajak daerah sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

Pasal 2 dari UU tersebut jelas mengatakan bahwa PBB termasuk dalam Pajak Daerah. Hal ini berarti penerapan UU No. 12 tentang PBB akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemda siap melakukan pemunguntan PBB?

Hal inilah yang menjadi dasar Menteri Keuangan memindahkan banyak pegawai pajak (DJP) ke Pemda tentunya berdasarkan kemauan sendiri tanpa paksaan.

Penilaian dan Official Assessment

Perlu diingat kalau PBB bisa dikatakan menerapkan official assessment karena melakukan penilaian atas objek PBB. Tentunya tidak mudah bagi Pemda mendapatkan pegawai dengan kualifikasi seperti demikian

Keberatan

Perlu pula diingat bahwa Wajib Pajak (WP) berdasarkan Pasal 15 UU PBB berwenang melakukan keberatan dan banding. Apakah Pemda siap melakukan hal ini?

Permasalahan

Belum lama saya mencari di google tentang pelaporan PBB di DKI Jakarta dan hasilnya adalah nihil atau hampir tidak ada. Hal ini bisa menyatakan bahwa masyarakat juga merasa bingung dalam hal pelaporan dan pemenuhan kewajiban PBB. Belum lagi jika harus melakukan keberatan atau banding, peraturan mana yang akan menjadi rujukan? Apakah peraturan dari Dirjen Pajak? Atau peraturan dari Pemda?

Jika demikian apakah efektif menyerahkan pemungutan kepada Pemda? Bukankah sepertinya akan lebih efektif jika pemungutan diserahkan kepada Dirjen Pajak? Sepertinya hanya waktu yang akan menjawab

Tuesday, July 19, 2011

Pajak, dari Al Capone, Kriminal hingga masalah korupsi

Belum lama ini masalah korupsi Nazarudin menjadi topik hangat. Ia dikabarkan memiliki penghasilan yang luar biasa besar. Yang menjadi pertanyaan sudahkah ia melaporkan seluruh penghasilan yang ia terima dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Mungkin Dirjen Pajak dapat meniru cara IRS dalam menggunakan hukum pajak untuk mengatasi masalah pelaku kriminal termasuk korupsi dan suap seperti tuduhan dalam kasus Nazar.
Detik.com belum lama juga memuat cerita lengkap tentang bagaimana IRS menangkap Al Capone dengan ketentuan perpajakan.

IRS mempekerjakan seorang akuntan yang melakukan akuntansi forensik untuk menemukan bukti bahwa Al Capone tidak melaporkan seluruh penghasilan yang ia terima dan akhirnya menerima hukuman atas 23 dakwaan tax evasion untuk tahun fiskal 1924-1929, didenda senilai kurang lebih $ 250.000, biaya sidang $ 30.000, dan juga penjara selama 11 tahun.

Permasalahannya adalah apakah Dirjen Pajak mau dan sanggup menjalankan hal serupa?

Tuesday, June 28, 2011

Indonesia dan Tax Information Exchange Agreement

Indonesia baru saja membuat Tax Exchange Information Agreement (TIEA) dengan negara offshore center. Pertama kali yang dibuat adalah dengan Guernsey seperti diberitakan disini, dan dilanjutkan dengan TIEA dengan Isle of Man dan Bermuda yang diberitakan laman berita ternama dan laman KBRI London.
Indonesia menyusul India yang telah membuat TIEA juga dengan negara offshore center yang juga sering disebut Tax Haven. Direncanakan bahwa akan ada TIEA lainnya dengan Cayman Island, Kepulauan Bahama, Costa Rica dan San Marino.

Dalam berita tersebut perjanjian pajak tersebut diharapkan dapat mengurangi permasalahan pajak dalam hubungannya dengan pidana perpajakan, money laundry atau korupsi.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah TIEA tersebut akan efektif terlebih masih sedikitnya tindak pidana pajak yang ditindaklanjuti secara domestik?
Dalam prakteknya, pertukaran informasi membutuhkan waktu yang lama sehingga kita perlu menunggu untuk melihat apakah TIEA dapat memberikan informasi lebih cepat.

Apakah Indonesia juga akan merevisi Tax Treaty dengan memasukkan bagian dari TIEA? Kita lihat saja perkembangannya

Sunday, January 30, 2011

Pajak dan CSR di Indonesia, satu pembahasan

Pengeluaran atas CSR di Indonesia akan dapat digunakan sebagai pengurang pajak. Seperti diberitakan, CSR merupakan kegiatan pertanggungjawaban sosial yang diwajibkan bagi perusahaan sesuai Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Yang menjadi permasalahan bagi perusahaan adalah apakah biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang pajak?
CSR yang umumnya berupa sumbangan atas bencana, pendidikan, penelitian dan pengembangan, infrastruktur sosial serta pembinaan olahraga sebenarnya dapat dijadikan biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf i, j, k, l, m, n.

Hal ini akhirnya terjawab dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Penelitian dan Pengembangan, Fasilitias Pendidikan, Pembinaan Olahraga dan Pembangungan Infrastruktur Sosial yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

PP 93 tersebut mengatur banyak hal seperti
- jumlah maksimal dari nilai CSR yakni 5% dari penghasilan neto fiskal tahun sebelumnya,
- lembaga yang dapat menerima bantuan,
- pengertian bencana, fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan, infrastruktur sosial, pembinaan olahraga

CSR tidak hanya masalah PPh meski berhubungan erat dengan CSR :
a. Biaya CSR akan menyerupai biaya pemasaran
Biaya pemasaran tidak ada batasan, tapi CSR mempunyai batasan

b. Biaya CSR harus diberikan di Indonesia
Berdasarkan pengalaman, kelompok usaha Lippo pernah memberikan sumbangan untuk badan pendidikan di Singapura. Sepertinya CSR harus dilakukan di Indonesia

c. PPN atas CSR
Bagaimana dengan perlakuan PPN atas produk yang disumbangkan? UU PPN mengatur adanya PPN yang dipakai sendiri seperti halnya produk yang dipakai untuk kegiatan pemasaran.
Bagaimana dengan perusahaan jasa yang menyerahkan jasa secara gratis, bagaimana dengan perlakuan PPN nya? Bagi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan atas jasa yang disediakan?

c. PPh atas Potongan Pungutan
Jika perusahaan menyerahkan pembayaran berupa upah atas pekerjaan yang berhubungan dengan CSR, bagaimana pemungutan pajaknya? Apakah sama dengan perlakukan PPh 21, 23 dll? Karena terkadang perusahaan dapat memakai jasa LSM atau institusi lain untuk melakukan CSR.

e. Kesempatan melakukan tax planning
Film Constant Gardener memberikan satu contoh perencanaan pajak dalam hal CSR berupa perusahaan multinasional yang memberikan produk yang nyaris kadaluarsa untuk kegiatan sosial di Afrika.

Selanjutnya kita bisa lihat permasalahan dan penerapan dari perlakuan pajak atas CSR nanti.