Thursday, October 17, 2013

Direktorat Jenderal Pajak dan permasalahan yang ada

Tulisan di Jakarta Post  berjudul Structural woes spell tax office trouble sangat menarik, mengupas permasalahan pajak dari target penerimaan yang terus meningkat, masalah pegawai hingga memunculkan pertanyaan seperti haruskan Direktorat Jenderal Pajak menjadi institusi yang independen seperti IRS di Amerika Serikat atau Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Permasalahan yang diungkap diantaranya :
- The agency has recently been flagged following a possible three-fold shortfall in its tax collection this year to as much as Rp 196 trillion (US$2.15 billion) from last year’s 
Rp 65 trillion. The shortfall is equal to 17 percent of Rp 1,148 trillion the agency has to collect this year. 

- “You can imagine how hard it is to find just 200 honest officials here. Many of our officials have ended up behind bars for graft, and believe me it will not stop,” said Fuad, who took over the agency’s helm in January 2011 after spending most of his career as the Finance Ministry’s capital market top official.

-The tax agency, which contributes more than 76 percent of the state revenue, has more than 31,000 workers, or around 70 percent of the Finance Ministry’s headcounts.
.......
Aside from the integrity issue, the agency is also plagued with a pervasive lack of manpower, which has already held back its efforts to collect more tax revenue. 

-The budget for the agency has also been cut from Rp 5.3 trillion in 2009 to Rp 4.9 trillion in 2013 despite an average of more than a 10 percent rise in the tax collection target.

- Chatib added that, ideally, the tax office should become a separate entity from the Finance Ministry, given the tasks it was carrying out, which would require more flexibility. 

“Ideally, it should head that way [toward separation]. It should be like Bank Indonesia or the Financial Services Authority where they have the flexibility to manage their workers,” said Chatib

Penulis sendiri sangat setuju jika Dirjen Pajak menjadi institusi mandiri. Sekedar info, otoritas pajak yang mandiri di negara lain membuat mereka mandiri mengelola anggaran, gaji hingga penerimaan pegawai. Negara tetangga Malaysia yang penerimaan pajaknya hanya sekitar 350 trilyun rupiah mempunyai anggaran yang lebih fleksibel dibanding Dirjen Pajak yang target penerimaan pajaknya akan lebih dari  1.148 trilyun rupiah untuk tahun 2013 sehingga biaya pemungutan pun dapat lebih mudah disesuaikan atau bahkan membuat acara dengan wajib pajak.

Masalah kekurangan pegawai, mungkin dapat dilihat bahwa otoritas pajak di Australia, Amerika Serikat dan Singapore dapat menarik profesional berlatar belakang perusahaan ternama hingga Big Four untuk bergabung dengan kantor pajak. Hal ini tidak dapat terjadi pada Dirjen Pajak bahkan untuk penambahan pegawai saat ini mereka mengalami masalah birokrasi.

Sampai kapan masalah ini akan bertahan? Semoga tidak lama. Menarik juga untuk melihat artikel tanggapan di media yang sama atas artikel diatas, Indonesia’s tax reform puzzle, yang menjelaskan tentang rendahnya biaya pemungutan pajak Indonesia dibanding negara lain termasuk ratio pegawai pajak di Indonesia yang masih rendah sehingga hal-hal tersebut menciptakan rendahnya tax ratio di Indonesia serta permasalahan lainnya di Dirjen Pajak.



Pajak UKM - masalah di Indonesia dan cerita dari Belanda

Pajak atas Usaha Kecil Menengah telah diberlakukan di Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 tanggal 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 July 2013 dengan ketentuan sebagai berikut diantaranya : - PPh final sebesar 1% dikenakan atas penghasilan bruto
 - Berlaku untuk wajib pajak orang pribadi (OP) dan badan diluar bentuk usaha tetap
 - Pendapatan berasal dari kegiatan usaha, bukan dari pekerjaan atau sebagai individu profesional;
 - Penghasilan bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak Ada tambahan ketentuan bagi WP OP yakni peraturan ini tidak termasuk WP OP yang memiliki fasilitas darurat yang bisa dibongkar, permanen atau tidak permanen atau menggunakan tempat umum untuk bisnis atau penjualan,

Melihat aturan diatas\ada beberapa permasalahan yang dapat terjadi diantaranya:
 - Pengawasan atas pembayaran pajak terutama untuk pedagang kecil dan kaki lima, rasanya sukar untuk mengetahui jumlah pasti omset pedagang kecil setiap bulannya apalagi jika mereka tidak memiliki catatan yang rapi
 - Kerugian tidak dapat diperhitungkan karena merupakan PPh final Mungkin kita bisa menengok negara lain seperti Belanda dalam hal pengawasan pajak pedagang kaki lima di Albert Cuyp Market di Amsterdam.

Pasar kaki lima ini buka setiap hari, rapi dan dibersihkan tiap hari. Menariknya, pemerintah Belanda membuat satu sistem dimana pedagang kaki lima tersebut dapat diawasi pembayaran pajaknya seperti dilaporkan disini Pelajaran yang didapat dari pemerintah Belanda:
 -Ada semacam kamar dagang kaki lima yang melakukan pendaftaran, Kamer Van Koophandel yang dapat menerima laporan penghasilan si pedagang kaki lima
-Petugas pengawas berkeliling mengecek laporan pajak si pedagang dan pajak tinggal didebet dari rekening bank -Keuntungan dari pembayaran pajak adalah diberikannya tempat berdagang hingga jaminan sosial saat tidak bisa berdagang, semacam unemployment insurance yang khas negara Eropa.

 Akhir kata dapat dikatakan kalau sistem dibuat terintegrasi, pengawasan akan mudah dilakukan serta pedagang pun akan lebih patuh membayar pajak. Penulis membayangkan jika pedagang kaki lima di Tanah Abang, Senen atau Jatinegara  bahkan pedagang kaki lima di Malioboro Yogya dapat menjadi proyek percontohan untuk sistem yang terintegrasi karena Pemerintah Daerah juga berkepentingan agar Pajak Penghasilan meningkat dimana mereka juga mendapat bagian dari Pajak Penghasilan yang diterima.