Wednesday, March 12, 2014

Transfer Pricing - Arm's Length Profit for Corporate Spin-off in Indonesia

A case of an automotive company brought to the Indonesian Tax Court has raised questions about the possibility to use arm's length principle for corporate spin-off or generally for business restructuring. In this case, tax authority has challenged the arm's length profit of a company after the spin-off of a certain business unit as part of the domestic business restructuring of the Indonesian company.

Facts
The company, let's call it A Corp., has been audited by Directorate General of Taxation (DGT) and during the audit the tax authority found that the company's profit after the spin-off has decreased with the following facts:
-a division was spun off from its previous company, X Corp, and became a separate entity, a new company, A Corp.
-After the new company, A Corp., was established, it was later found out that the X Corp's gross margin has decreased significantly and even if the gross margins of the A Corp and X Corp are combined, the overall gross margin is even still lower before the spin-off. 
-The tax authority challenged it and raised questions about the arm's length profit. Tax authority also believes that it might be due to royalty and non arm's length purchase price.
-DGT is of opinion that spin-off should not lower the gross margin before the spin-off. DGT compares A Corp.'s  gross margin  with competitor's gross margin and decides that A Corp.'s gross margin is lower. 
-A Corp has related party transactions with its related entity in Indonesia and other country.
-The transfer price, which is allegedly not arm's length, will be able to avoid higher indirect tax i.e. VAT. It is noted, based on the audit, that A Corp has sold its manufactured products to its related parties, in Indonesia and abroad, below the arm's length price to decrease the profit.

Having seen the facts above mentioned, we are likely to conclude that DGT is pursuing arm's length profit before and after the business restructuring.

After hearing process, the Tax Court has to decide on this case and after the decision is made, the taxpayer is still able to pursue judicial review from the Supreme Court.  

Comments
Looking at the facts, some questions need to be answered.  

Since domestic related party transactions also take place between related parties in Indonesia, does the domestic transfer pricing rule apply? Pursuant to DGT Regulation No. PER- 32/PJ/2011 about arm's length principle, it is stated on Art.2 that domestic transfer pricing rule applies on (i) certain business sector whose final and non final income tax is applied, (ii) sales tax on luxury goods, and (iii) production sharing contract for oil and gas.  Further, it is stated in the DGT Regulation No. PER-22/PJ/2013 about transfer pricing audit guide which states that domestic transactions could be used for profit shifting due to differences of tax rate between domestic companies.

The basis for transfer pricing rule is Art. 18(3) of Income Tax Law which mentions that DGT has the authority to re-determine the amount of incomes and reduction as well as to re-determine debts as capital to calculate the amount of taxable incomes for taxpayer possessing special relation with other taxpayer in accordance with equity and common practice of business that is not influenced by a special relation by means of price ratio method among independent party, re-sale price method, costs-plus method, or other methods. 
Also based on the elucidation, there is no wording which is likely to say that spin-off should be part of transfer pricing rule.

This off-the-beaten-path case reminds me of other case inIndia which has made many people wonder about the use of transfer pricing rule for share issuance.

The author has no information on how the Tax Court decided on this case but this story has been reported on a national daily newspaper last year. 

Tuesday, March 11, 2014

Offshore Bank, Financial Center dan Penggelapan Pajak di Indonesia


                                                     Harian Kontan, 10 Maret 2014


Benarkah simpanan uang di luar negeri dapat dilakukan agar penghasilan kita tidak terlacak? Terdakwa kasus korupsi dari KPK, terungkap dalam penyadapan, berbicara tentang rekening bank  di British Virgin Islands (BVI) yang menurutnya tempat orang Indonesia  menyimpan dan mencuci uang.

Di BVI, selain beberapa negara lain yang dikenal sebagai financial center, banyak perusahaan perantara didirikan untuk menghindari pajak dan menjadi salah satu pendorong OECD membuat studi atas base erosion dan  profit shifting dari perusahaan multinasional.

Direktorat Jenderal Pajak berkeinginan memperoleh akses atas  rekening perbankan di Indonesia terutama 180.000 rekening  orang kaya untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak namun rencana ini dikabarkan dapat memicu nasabah Indonesia untuk memindahkan uang mereka terutama ke Singapura dimana diperkirakan lebih dari 1.500 trilyun rupiah tersimpan (Kompas, 27 Februari 2014).

Jika demikian, benarkah data rekening bank dan keuangan di negara-negara pusat keuangan dapat dan perlu dibuka serta permasalahan apa yang terjadi?

Offshore bank, seperti yang terdapat di negara pusat keuangan di Singapura, Hong Kong, Swiss hingga BVI, adalah cara yang dapat dipakai untuk menyembunyikan uang atau penghasilan tidak hanya dari penegak hukum atas kasus korupsi dan pencucian uang namun juga dari otoritas pajak agar penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak. Setali tiga uang, uang yang disembunyikan harus tidak dapat dilacak oleh otoritas pajak dan penegak hukum. Bagi otoritas pajak, penghasilan dari tindak kejahatan, termasuk korupsi, adalah penghasilan kena pajak yang bila tidak dilaporkan dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan.

Pelaporan Pajak
Setelah kasus UBS Bank di Swiss dimana banyak nasabah warga  Amerika Serikat (AS)  menyembunyikan penghasilan agar tidak membayarkan pajak, di tahun 2010, AS mengesahkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang mewajibkan warga AS termasuk permanent resident untuk melaporkan rekening bank atau keuangan serta aset yang mereka miliki di luar negeri dengan sanksi atas mereka yang tidak melaporkannya. FATCA juga berusaha meminta pelaporan dari institusi keuangan luar AS untuk melaporkan informasi keuangan dari warga AS.  FATCA, yang direncanakan akan diikuti juga oleh Singapura, dikabarkan membuat institusi keuangan di Swiss berusaha tidak berurusan dengan warga AS karena akan merepotkan mereka dalam pelaporan informasi pajak..

Di Inggris, wajib pajak berkewajiban melaporkan penghasilan mereka di luar negeri dalam  lampiran khusus pelaporan pajak tahunan, termasuk bunga, dividen atau capital gain dan sewa hingga penghasilan yang tidak dapat dikirimkan kembali ke Inggris. Hal ini sebenarnya juga dapat diterapkan untuk wajib pajak kaya (High Net Worth Individual) di Indonesia yang bahkan memiliki kantor pajak tersendiri.

Pada February 2014, OECD menerbitkan satu laporan tentang standar atas Automatic Exchange of Financial Account Information antar negara untuk melakukan pertukaran secara otomatis tidak berdasar “on request” yang dapat digunakan untuk mengatasi penggelapan pajak dari harta di luar negeri karena standar ini mendukung pertukaran informasi keuangan dari institusi keuangan, apa saja yang perlu dilaporkan, jenis account dan pembayar pajak yang dicakup serta due dilligence yang perlu dilakukan oleh institusi keuangan. Kekurangan standar yang juga didukung G20 ini tidak mencakup data pengguna safe deposit box atau sanksi yang jelas untuk yang tidak mematuhinya.

Indonesia telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan negara-negara pusat keuangan yakni Bermuda, Guernsey, Isle of Man, Jersey dan San Marino[1] untuk bertukar informasi perpajakan walau belum berlaku efektif. TIEA yang tidak sama dengan tax treaty dibuat oleh negara-negara yang sering disebut sebagai tax haven dan berisi perjanjian pertukaran informasi keuangan, seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes. 

Penghindaran vs Penggelapan
Yang dilakukan wajib pajak di negara-negara pusat keuangan tidak hanya penggelapan namun juga penghindaran pajak dengan pendirian perusahaan perantara hingga pendirian trust, satu entitas yang didasarkan common law seperti di Inggris. Margaret Thatcher  dikabarkan menggunakan offshore trust di BVI untuk kepemilikan properti senilai 12 juta poundsterling di London untuk menghindari pajak. Warga Indonesia bahkan dapat menggunakan Business Trust di Singapura untuk mengelola kekayaan di Indonesia serta bagian dari perencanaan pajak.

Dalam kasus penggelapan pajak Asian Agri,  putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012  menjelaskan penggunaan special purpose vehicle  company di Hong Kong, Macau dan BVI yang melakukan under invoicing untuk barang yang dijual Asian Agri sehingga merugikan penerimaan pajak. Di Italia, terdapat kasus Dolce &  Gabbana yang dituduh melakukan penggelapan pajak dengan penjualan merek Dolce & Gabbana dengan harga yang tidak wajar (arm’s length) ke perusahaan perantara di Luxembourg sehingga mereka dituduh tidak melaporkan penghasilan lebih dari 1 milyar euro.

Kesimpulan
Penggelapan dan  penghindaran pajak, yang diduga erat terkait dengan kejahatan lainnya, dapat dilakukan di negara yang menjadi pusat keuangan serta offshore bank. Dirjen Pajak perlu dan dapat menggunakan pertukaran informasi keuangan, termasuk rekening bank dan data perusahaan di luar negeri, dengan otoritas pajak luar negeri untuk mengatasi masalah tersebut dan perlu mewajibkan pelaporan penghasilan dan aset di luar negeri bagi wajib pajak secara khusus dalam pelaporan pajak.


Catatan: 
Tulisan ini adalah versi asli sebelum diedit oleh redaksi Harian Kontan dan diterbitkan dalam rubrik opini  pada Senin, 10 Maret 2014 
Beberapa bagian penting dari tulisan ini tidak ada dalam tulisan di Harian Kontan karena hasil edit dari redaktur.