Showing posts with label Orang Pribadi. Show all posts
Showing posts with label Orang Pribadi. Show all posts

Monday, March 9, 2015

Menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi di Luar Negeri

Rasanya menjadi wajib pajak di luar Indonesia? Dapat menerima pengembalian pajak penghasilan tanpa pemeriksaan pajak yang melelahkan,  dapat mengurangkan pembelian komputer, biaya sekolah dan buku sebagai pengurang pajak merupakan kelebihan menjadi Wajib Pajak di luar negeri dibanding menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia

Saya rasa pengalaman di negara lain yang saya pernah tinggali dapat menjadi masukan  bagi wajib pajak di Indonesia dan mungkin juga, saran bagi perbaikan peraturan bagi otoritas pajak di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak.

Menjadi Wajib Pajak di Belanda
Hari itu saya mendapat surat dari kantor pajak Belanda, Belastingdienst, yang meminta saya melaporkan kewajiban perpajakan di Belanda di kantor pajak. Surat ini diterima tidak lama, sekitar 2 minggu, setelah saya terdaftar di balaikota atau Geemente di Tilburg sebagai bagian dari prosedur mendapatkan ijin tinggal di Belanda.

Uniknya saya memperoleh surat dari kantor pajak Belanda tanpa mendaftarkan diri ke Belastingdienst. Hal ini membuktikan bahwa terjadi penyerahan data pajak secara otomatis dari geemente (balai kota) kepada kantor pajak belanda, bahkan dahulu kantor pajak berwenang menerbitkan nomor induk kependudukan untuk wajib pajak,  Sofinummer,  meski sekarang meski sekarang wewenangnomor induk kependudukan diberikan kepada instansi lain di Belanda dan sekarang disebut Burgerservicenummer.

Di Belanda pula saya pertama kali mendapati sistem perpajakanyang berbeda karena pajak penghasilan dibedakan antara penghasilan dari gaji, usaha dan tabungan (investasi), selain itu untuk pajak penghasilan orang pribadi memiliki personal allowance yang dipakai untuk mengurangi pajak yang bermacam-macam seperti personal allowance untuk
-          tunjangan atas mantan pasangan (alimony payment)
-          biaya hidup anak
-          biaya kesehatan
-          biaya untuk anak yang cacat tubuh
-          biaya pendidikan
Hal ini berbeda dengan  PTKP yang jumlahnya tetap di Indonesia. Di Belanda pula saya terkejut mendengar seorang teman bercerita bahwa ia tidak masalah jika ia mengalami kelebihan pembayaran pajak karena tidak memerlukan proses pemeriksaan pajak yang melelahkan seperti di Indonesia.

Menjadi Wajib Pajak di Malaysia
Di tahun pertama di Malaysia, saya mendapati bahwa telah memiliki Nomor Cukai, semacam NPWP seperti di Indonesia yang digunakan untuk pelaporan pajak selain juga nomor paspor saya sendiri. Bagi warga negara Malaysia, National Registration Identity Card Number yang ada di MyKad harus dicantumkan.

Dalam pelaporan pajak penghasilan orang pribadi setiap tahunnya, diwajibkan mencantumkan Nomor Cukai Pendapatan, NPWP atau Tax Identification Number di Malaysia, serta Nomor Paspor terakhir, No Pengenalan dan No Paspor terdaftar di kantor pajak Malaysia, hal seperti ini belum diterapkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi di Indonesia. 


Setelah melaporkan pajak penghasilan saya yang didalamnya saya mencantumkan juga nomor rekening saya, beberapa bulan kemudian,  saya menerima kejutan berupa email dari Lembaga Hasil Dalam Negeri Malaysia (LHDN) yang menyatakan bahwa saya mempunyai kelebihan bayar pajak yang akan dikirimkan langsung ke nomor rekening saya, mereka hanya meminta surat pernyataan dari kantor saya bekerja untuk menyatakan apakah pajak penghasilan saya ditanggung oleh saya sendiri atau dibayarkan oleh kantor. Tentunya karena saya menanggung sendiri pajak penghasilan di Malaysia maka kelebihan bayar pajak akan saya terima di rekening saya dan sebaliknya jika pajak penghasilan saya ditanggung kantor maka kelebihan bayar pajak penghasilan tersebut akan dibayarkan ke kantor saya.  

Di tahun pertama, kelebihan bayar pajak terjadi karena perhitungan pajak yang didasarkan pemahaman bahwa saya adalah wajib pajak luar negeri  pada 3 bulan pertama sehingga tarif pajak dikenakan tarif pajak tinggi sedangkan menurut LHDN pada 3 bulan pertama itu saya sudah termasuk wajib pajak dalam negeri di Malaysia sehingga berhak atas tarif pajak progresif. 

Di tahun kedua dan selanjutnya saya menyadari jika saya akan selalu mengalami kelebihan pembayaran pajak penghasilan karena bagian keuangan kantor saya selalu menghitung pajak penghasilan tanpa menghitung personal allowance atau tax relief  seperti dijelaskan LHDN untuk anak saya. Bahkan kelebihan bayar pajak akan lebih besar jika saya juga memperhitungkan personal allowance untuk orang pribadi  untuk komputer, buku, alat olahraga, bunga pinjaman untuk cicilan rumah, pendidikan pribadi saya atau perawatan anak. 

Bayangkan senangnya menerima email dari LHDN Malaysia yang berbunyi :
=====================================
Tuan,

Perkara di atas adalah dirujuk.

2. Sukacita dimaklumkan bahawa bayaran balik cukai terlebih bayar / pembayaran balik lebihan kredit tuan telah diluluskan dan CIMB BANK BERHAD telah menghantar dana bayaran balik tersebut kepada bank tuan, iaitu CIMB BANK BERHAD pada XX/01/20XX.(Rujukan: IRBXXX10902XXX)

3. LHDNM telah memberi keutamaan kepada pembayaran balik tuan. Bagaimanapun, LHDNM masih boleh membuat semakan lanjut dan mengaudit dokumen untuk mengesahkan tuntutan tuan. Cawangan LHDNM akan menghubungi tuan sekiranya maklumat tambahan diperlukan.

Emel ini dihantar secara automatik. Surat rasmi akan menyusul.

Sekian, terima kasih.
===============================================
Memang sebelumnya saya telah mengajukan kelebihan pembayaran pajak dalam “tax return” atau borang cukai pendapatan yang saya kirimkan ke kantor pajak Malaysia. Yang menyenangkan tentunya karena proses yang cepat karena mereka memerlukan proses sekitar 2 (dua) bulan dari pengajuan kelebihan bayar pajak penghasilan lewat pelaporan “tax return” hingga transfer lebih bayar pajak ke rekening saya. 

Ini bukan kejadian pertama karena sebelumnya saya malah tidak mengajukan kelebihan bayar pajak tapi perhitungan kembali dari kantor pajak Malaysia menunjukkan kelebihan bayar pajak dan kelebihan bayarnya langsung masuk ke rekening bank saya tanpa proses pemeriksaan pajak. Rasanya? Seperti mendapat durian runtuh. 

Di Malaysia juga saya belajar tentang sistem “tax clearance” yang diperlukan oleh seseorang asing yang tidak lagi menjadi wajib pajak di Malaysia dan hal ini dapat diminta oleh petugas imigrasi saat meninggalkan Malaysia. 

Pelajaran dari pengalaman diatas
Untuk pendaftaran dan pertukaran informasi, DJP dapat belajar dari Belastingdienst yang melakukan pemberian data otomatis dari instansi pemerintah kepada kantor pajak. Selama ini berdasarkan pasal 35A UU KUP yang menyatakan:
“Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” 

Sepertinya perlu ketegasan lebih lanjut sehingga hal yang terjadi di Belanda dapat diterapkan juga di Indonesia apalagi dengan pemberlakuan Nomor Induk Kependudukan yang dapat melengkapi NPWP.
Untuk PTKP atau personal allowance, sangat disayangkan hal ini sangat dibatasi oleh pasal 7 UU PPh dan ini sangat terbatas. Hal ini bahkan pernah digugat di Mahkamah Konstitusi. 

Dalam hal pemeriksaan pajak, akan sangat melelahkan dan perlu waktu lama jika semua kelebihan bayar pajak harus melalui pemeriksaan. Pasal 17C UU KUP sudah mengatur adanya pembayaran pendahuluan yang dapat selesai dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan untuk pajak penghasilan, namun rasanya masih banyak wajib pajak yang enggan menyatakan kelebihan bayar pajak.

Penggunaan Single Identification Number atau Nomor Induk Kependudukan dapat diterapkan juga di Indonesia dalam seluruh pelaporan pajak orang pribadi seperti yang diterapkan di Malaysia dan juga di negara lainnya, tidak hanya menggunakan NPWP.

Penulis sendiri berharap revisi UU Pajak dalam waktu dekat ini dapat memperbaiki peraturan pajak yang ada. Rasanya asas keadilan sendiri lebih terasa saat menjadi wajib pajak di luar Indonesia meskipun pengawasan di luar negeri dapat terasa lebih ketat seperti halnya penggunaan Single Identity Number dalam pelaporan pajak. Semoga!

Saturday, December 20, 2014

Wajib Pajak Orang Pribadi dan Pelaporan PPh yang masih rendah

Masalah terbesar untuk PPh OP sepertinya adalah tingkat kepatuhan yang rendah di Indonesia.

Belum lama ini Menteri Keuangan mengatakan bahwa setoran PPh orang pribadi masih sangat rendah bahkan setoran PPh OP di perumahan mewah masih rendah seperti diungkapkandalam berita dibawah ini:
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan keheranannya atas para wajib pajak yang berdomisili di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Karena ternyata pajak yang disetorkan hanya berkisar Rp 50-60 juta/tahun.

Menurut Bambang, kalangan masyarakat yang berdomisili di PIK berpendapatan tinggi. Bahkan seharusnya membayar pajak di atas Rp 100 juta atau lebih tinggi.

"Saya dikasih daftar nama alamat yang tinggal di PIK. Pastinya yang tinggal di PIK kan bukan pembayar pajak rendah. Harusnya lebih tinggi dari saya," kata Bambang di depan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (19/12/2014).

"Saya lihat daftarnya, saya kaget sendiri. Di antara nama-nama yang seperti itu tidak ada SPT yang di atas Rp 100 juta, kebanyakan Rp 50-60 juta. Saya jawab, kok saya lebih kaya dari mereka ya?" ungkap Bambang.

Menurut Bambang, kejadian seperti ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah. Wajib pajak dari kalangan atas dan tinggal di pusat kota pun masih sulit terdekteksi.

"Jadi WP orang pribadi itu rendah sekali. Itu adalah contoh, kok seperti ini profil pajaknya," tukasnya.


Berita tersebut juga menambahkan
Bambang menuturkan pajak orang pribadi di luar individu yang sudah dipotong secara langsung, hanya sebesar Rp 4 triliun. Sangat rendah dibandingkan total target Pajak Penghasilan (PPH) yang mencapai Rp 11.00 triliun.

"PPh itu di luar WP yang dipotong karena gaji itu cuma Rp 4 triliun dari total Rp 1.100 triliun," kata Bambang
.

Dapat dikatakan dengan melihat kenyataan tersebut, tingkat kepatuhan pajak masih rendah, namun apa dasar hukum dan cara  untuk meningkatkan kepatuhan PPh OP? 

Dasar Hukum untuk PPh yang belum dilaporkan
Jika memang ada PPh yang belum dilaporkan, apa yang dapat menjadi dasar hukum agar wajib pajak mau melaporkan penghasilan yang PPh-nya belum dilaporkan tersebut.

Pada dasarnya semua penghasilan dikenakan pajak kecuali UU mengatakan lain seperti pasal 4(3) UU PPh. Selanjutnya dalam pasal 4(1)(p) UU PPh menjelaskan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang termasuk didalamnya adalah tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa :
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak
dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.


Cara pengawasan
Seperti pernah dijelaskan dalam tulisansebelumnya tentang pentingnya informasi perpajakan untuk mengetahui kepatuhan pajak dari wajib pajak orang pribadi seperti data pembelian dan penjualan barang tertentu terutama yang bersifat mewah bahkan telah muncul rencana agar mulai 2015 semua transaksi diatas 100 jutarupiah, terutama barang mewah, wajib mencantumkan NPWP.

Dirjen Pajak (DJP) juga pernah menerapkan biaya hidup sebagai patokan kepatuhan dan ketepatan pelaporan PPh OP seperti dijelaskan dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor tahun 1999 yang menjelaskan tentang biaya hidup dengan asumsi bahwa penghasilan neto wajib pajak setelah dikurangi dengan pembayaran PPh dengan memperhatikan PTKP serta sumber penerimaan lainnya minimal adalah sama dengan pengeluaran biaya hidup. Sayangnya dalam putusan tersebut, DJP tidak dapat menyebutkan alasan/dasar koreksinya sehingga biaya hidup rata-rata yang dibuat oleh Pemohon harus dikoreksi sesuai kewajaran. Juga, DJP juga tidak dapat memberi keterangan mengenai pedoman biaya hidup menurut kewajaran. Cara ini sebenarnya dapat dilakukan jika ada aturan hukum yang lebih jelas.

Dapat dipastikan pemerintah lewat DJP akan melakukan penegakan hukum untuk meningkatkan penerimaan negara dalam PPh OP di masa mendatang. Sepertinya pengawasan yang paling akan segera dilakukan adalah dengan informasi perpajakan dalam transaksi seperti pembelian atau pembayaran termasuk upaya DJP untuk menembus kerahasiaan perbankan dan pertukaran informasi dengan luar negeri seperti Singapura

Thursday, July 19, 2012

PTKP yang naik, sudah tepatkah?

Membaca keterangan PTKP naik sebagaimana keterangan sebagai berikut di surat kabar :
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, pemerintah sudah berkonsultasi dengan DPR mengenai rencana menaikkan besaran PTKP menjadi Rp 24 juta per tahun. Menurutnya, saat ini pemerintah sedang menyelesaikan prosedur administrasinya.

 
Seperti diketahui, sesuai Pasal 7 ayat 3 UU No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan, penyesuaian besaran PTKP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), setelah dikonsultasikan dengan DPR.

Penulis jadi bertanya-tanya apakah kenaikan PTKP tersebut sudah tepat dan permasalahannya apakah PTKP telah memenuhi asas keadilan. Bagaimana perbandingannya dengan pajak penghasilan orang pribadi di negara tetangga? Tidak perlu studi banding ke luar negeri karena situs otoritas pajak memberikan penjelasan seperti ini :

-Malaysia
Berdasarkan laman Inland Revenue Board, dijelaskan adanya tax relief, yang pada dasarnya sama dengan PTKP, sebanyak 22 jenis untuk pelbagai hal dari pelepasan pajak untuk diri sendiri dan tanggungan, anak cacat, pengobatan orang tua, biaya pendidikan (yang sekarang makin mahal), tunjangan cerai, bunga pembayaran rumah hingga premi asuransi kesehatan.

-Singapura
Negara tetangga ini, menurut laman Inland Revenue Authority, memberi lebih sedikit dalam hal personal relief untuk income tax namun intinya personal relief, seperti PTKP diberikan mulai dari pembebasan pajak atas diri sendiri dan tanggungan, tunjangan atas tanggungan (anak, pasangan hidup) yang cacat, asuransi hingga pembantu asing.
Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan terdahulu yang menjelaskan PPh dan masalah keadilan serta gugatan atas PTKP di Mahkamah Konstitusi.

Penulis sendiri berharap dalam perubahan UU Pajak di masa mendatang, tunjangan pribadi ini akan dimasukkan tidak hanya semata-mata PTKP

Monday, April 6, 2009

PTKP dan Masalah Ketidakadilan Pajak dari gugatan hingga putusan MK

Berita tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dipermasalahkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) di Indonesia, sudahkah PTKP memberikan keadilan bagi Wajib Pajak? Menkeu sendiri dalam tanggapannya menyatakan bahwa PTKP sudah memberikan keadilan.

Uji materi tersebut diajukan karena pasal 7 ayat (1) dari UU Pajak Penghasilan (PPh) tentang PTKP, selain karena pasal 9 ayat (1), dirasa memberatkan beban hidup pemohon dengan menyatakan adanya pasal tersebut menyebabkan beban hidup pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup minimum.

PTKP di Indonesia
UU PPh menetapkan PTKP bagi WP OP untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sehingga WP OP mengurangi penghasilan netonya dengan PTKP yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya untuk menghitung pajak yang harus dibayar, penghasilan kotor WP OP dapat dikurangi biaya-biaya yang ia keluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan hingga Wajib Pajak mendapatkan penghasilan neto. Setelah itu, WP OP dapat mengurangkan PTKP untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Namun apakah jumlah PTKP tersebut telah memberikan keadilan? Ternyata ada beberapa permasalahan.

Pertama-tama, meski salah satu teori yang dianut dalam pemungutan pajak adalah teori gaya pikul yang menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang sehingga pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, PTKP pada dasarnya menyamaratakan semua WP OP kecuali status pernikahan dan jumlah tanggungan. Contoh perbedaan biaya hidup bisa dilihat dari penyamaan WP OP yang sakit dan yang sehat walau WP OP yang sakit-sakitan akan merasakan ketidakadilan bila PTKP yang ia dapatkan disamakan dengan PTKP orang yang sehat karena ia membutuhkan biaya besar untuk perawatan kesehatan.

Kedua, PTKP juga seakan-akan menganggap semua orang tidak memerlukan biaya untuk pendidikan. Seorang Wajib Pajak yang bekerja secara profesional seperti programmer, dosen atau pengacara membutuhkan pendidikan berkelanjutan untuk menambah ilmunya dan dengan peraturan PTKP, mereka tidak dapat mengurangi biaya pendidikan mereka untuk mengurangi pajak. Bagi Wajib Pajak yang berkeluarga, biaya pendidikan yang jauh lebih besar dibutuhkan untuk anak mereka yang sedang kuliah sedangkan dalam PTKP tidak ada perbedaan demikian.

Ketiga, penyesuaian jumlah PTKP berdasarkan UU PPh dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PTKP harus selalu sesuai dengan keadaan contohnya dengan tingkat inflasi. Penyesuaian jumlah PTKP yang tidak tepat waktu dapat menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.

Keempat, PTKP tidak membedakan Wajib Pajak berdasarkan lokasi tempat tinggal. Dirjen Pajak dalam peraturan tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto secara tidak langsung mengakui adanya perbedaan biaya hidup antara Wajib Pajak yang tinggal di 10 ibu kota propinsi, kota propinsi dan tempat lainnya, sehingga Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Jakarta akan menanggung biaya usaha lebih besar dan membuat penghasilan netonya akan lebih kecil dibandingkan Wajib Pajak dengan usaha sama di Papua misalnya. Pembedaan ini ternyata tidak ada dalam PTKP sehingga tidak ada pembedaan PTKP antara Wajib Pajak di Jawa dan luar Jawa misalnya.

Perbandingan dengan negara lain
Di negara lain, PTKP dapat dibandingkan dengan allowance atau personal deduction atau personal relief kepada Wajib Pajak. Peraturan Pajak di Amerika Serikat memungkinkan Wajib Pajak mengurangkan biaya sekolah anak, biaya perawatan kesehatan, biaya bunga atas pinjaman rumah hingga pembayaran tunjangan istri (alimony payment). Hal yang sama juga dapat ditemukan di Eropa. Belanda, misalnya, mengijinkan adanya personal deduction bagi WP OP atas bunga pinjaman rumah yang ditempati Wajib Pajak serta biaya medis bagi masalah cacat tubuh.

Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memberikan hal yang sama bagi Wajib Pajak, bahkan kedua negara tersebut sama-sama memberikan personal relief yang cukup lengkap sebagai pengurang pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki anak dengan cacat tubuh. Singapura bahkan mengijinkan Wajib Pajak menerima personal relief khusus bagi Wajib Pajak yang merawat orang tua yang cacat. Jumlah personal relief di Singapura juga dibedakan berdasarkan umur. Malaysia selain memberikan hal-hal yang tersebut diatas, juga memberikan personal relief khusus bagi anak kandung yang cacat dan melanjutkan pendidikan tinggi serta beragam personal relief lainnya termasuk relief atas pendidikan lanjutan bagi Wajib Pajak biasa.

Dapat kita simpulkan bahwa peraturan pajak, khususnya dalam hal PTKP, sudah jauh tertinggal dibanding negara lain serta memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Peraturan yang lebih baik dalam hal PTKP akan sanggup menambah kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal inilah yang perlu dipahami tidak hanya bagi Wajib Pajak tapi juga bagi pemerintah dan hakim di mahkamah konstitusi yang akan memberikan putusannya.

Putusan MK
MK akhirnya mengeluarkan putusan dan menolak gugatan atas PTKP dimana majelis hakim MK menolak uji materi terhadap UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi itu diajukan oleh DR Gustian Djuanda yang berprofesi sebagai dosen STEKPI.
Ketua Majelas Hakim M. Mahfud MD mengatakan permohonan uji materi tersebut tidak dapat dikabulkan karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut.
"Dalil pemohon bahwa pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pasal 9 ayat 1 huruf g UU PPh 2008 bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28B ayat 1, dan pasal 28H ayat 1 UUD 1945 tidak terbukti sehingga oleh sebab itu permohonan tidak beralasan," katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno di gedung MK hari ini.

MK berpendapat bahwa pengaturan PTKP merupakan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang diwajibkan kepada setiap WN tanpa dikaitkan dengan upah minimum.

Kesimpulan
Penulis sendiri tetap berpendapat, seperti yang pernah penulis tulis di postingan sebelumnya bahwa dapat terjadi masalah ketidakadilan dalam PPh OP dan PTKP hanyalah salah satu permasalahan ketidakadilan selain beban istimewa lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa peraturan PPh OP di Indonesia sangat kurang dan berakibat kurangnya penerapan prinsip keadilan bagi WP OP.

Catatan :
Ternyata penulis tidak sendirian dalam hal masalah keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, gugatan ini menunjukkan ada yang menganggap bahwa PPh OP mempunyai masalah ketidakadilan Silahkan liat di posting sebelumnya tentang PPh OP dan ketidakadilan pajak


Referensi :
- Besaran PTKP dipermasalahkan, gugatan atas PTKP di mahkamah konstitusi
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00573169/besaran.ptkp.dipermasalahkan

- Ada peluang PTKP dinaikkan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03480286/ada.peluang.ptkp.dinaikkan

- Membayar Pajak tidak perlu kaya dulu serta putusan MK atas uji materi bagi PTKP
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/20/1412240/Dirjen.Pajak.Bayar.Pajak.Tak.Perlu.Kaya.Dulu

- MK tolak uji materi UU PPh
http://news.antara.co.id/arc/2009/3/20/mk-tolak-uji-materi-uu-pph/

- MK tolak permohonan uji materi soal PPh
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id109370.html

Thursday, February 26, 2009

Pelaporan Harta dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

Sehubungan gencarnya gaung sunset policy yang dikampanyekan Wajib Pajak, banyak Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) melaporkan asset yang mereka miliki dan berharap adanya “pemutihan pajak” akan asset yang dilaporkan dalam SPT mereka baik dalam SPT yang baru mereka masukkan atau SPT Pembetulan. Benarkah pemutihan itu dan bagaimana peraturan pajak sehubungan dengan kepemilikan asset tersebut? Tulisan ini akan menyorot baik dari Sunset yang berakhir February 2009 ini dan peraturan perpajakan secara umum terutama perlakuan pajak atas asset yang telah dilaporkan tersebut.

A. Penambahan Aktiva (Harta)
- Penambahan aktiva dapat dihitung sebagai penghasilan yang belum dilaporkan pajak,
Misal : Tuan Hartono mempunyai penambahan harta di tahun 2007 berupa tanah sebesar 100 juta sedang penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP hanya 50 juta, Hal ini dapat dijadikan dasar penghasilan yang belum dilaporkan. Dasar hokumnya contohnya adalah pasal 4(1)(p) UU Pajak Penghasilan.

- Penambahan aktiva yang tidak dihitung sebagai penghasilan yang belum dilaporkan pajak
a. Dapat terjadi seseorang menerima warisan dari orang tuanya, yang berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak, namun syaratnya adalah berasal dari orang tua kandung, lihat pasal 4(3)(a)(1) dari UU Pajak Penghasilan

b. Bila akumulasi penghasilan dari tahun sebelumnya masih memungkinkan untuk menambah aktiva tersebut
Misal : Cynthia Sumuk melaporkan penghasilan dalam SPT Tahunan PPh OP dari tahun 2000 hingga 2005 sebesar 500 juta, sehingga adalah normal jika Cynthia yang penyanyi ini membeli rumah seharga 150 juta di tahun 2005.

B. Penurunan Jumlah Aktiva (Harta)
- Aktiva berkurang karena dijual
a. Tanah dan atau bangunan
Untuk aktiva tanah dan atau bangunan, penghasilan berupa PPh Final jadi sudah dikenakan dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lainnya

b. Aktiva bergerak seperti kendaraan
Untuk penjualan aktiva ini, dapat terutang pajak atas laba dari penjualan aktiva, meski sangat jarang kendaraan dijual lebih tinggi dari harga perolehannya karena sangat besar kemungkinan harganya akan menurun setelah pembelian

C. Bebas Pajak sepenuhnya karena daluarsa
Sebenarnya jika aktiva diperoleh lebih dari 10 tahun, pihak pajak tidak berwenang lagi menagih pajak yang terutang, jika ada penghasilan yang belum dilaporkan. Inilah yang dimaksud daluarsa pajak, lihat pasal 22 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Oleh karenanya jika ada WP yang melaporkan aktiva yang ia peroleh tahun 1990 atau bahkan tahun 1980-an ia sudah bebas pajak atas aktiva yang ia laporkan tersebut.

Semoga memberi pencerahan, ah melapor pajak, siapa takut???
Catatan :
Tulisan ini dibuat karena beberapa orang bertanya kepada penulis tentang pelaporan aktiva dalam SPT Tahunan OP

Tuesday, January 27, 2009

Pentingnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Orang Pribadi

NPWP telah menjadi satu bahan omongan yang popular setelah munculnya program Sunset Policy oleh Dirjen Pajak. Seberapa pentingkah NPWP tersebut?
Dalam Undang-Undang KUP, di pasal 1, NPWP dijelaskan sebagai berikut:
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Wajib Pajak (WP), berdasarkan pasal 2 UU KUP, yang telah memenuhi persyaratan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Dalam UU PPh yang baru malah terdapat tarif pajak yang lebih tinggi, dalam pasal 21, untuk WP yang tidak mempunyai NPWP.

Keuntungan memiliki NPWP
Selain tarif pajak yang lebih rendah sepertinya disebut diatas, sejak tahun 2009 WP dibebaskan dari kewajiban membayar fiskal pada saat ia berangkat keluar negeri. Kartu NPWP dalam prakteknya menjadi satu identitas yang penting yang dapat memberi begitu banyak kemudahan bagi WP

Pentingnya NPWP
Sepenting itukah NPWP? Bagaimana dengan fungsi NPWP di negara lain? Ternyata di negara lain, NPWP tidak diperlukan. Seorang yang memiliki kewajiban pajak tidak perlu memiliki NPWP. Ini dikarenakan adanya sistem kependudukan terintegrasi. Disinilah terlihat perlunya Single Identification Number (SIN) yang serupa dengan social security number. Meski dahulu pernah ada inisiatif dari Dirjen Pajak untuk proyek SIN, sekarang kita hanya bisa berharap agar Depdagri dapat segera menyelesaikan sistem kependudukan yang baik.

Seandainya sistem telah tercipta baik, seorang WP tidak perlu lagi bersusah payah untuk memperoleh NPWP karena data WP berupa nomor kependudukan tunggal dapat langsung dilihat oleh pihak otoritas pajak sehingga WP juga makin sulit melakukan penggelapan pajak meski di sisi lain bahkan termasuk dapat meredam kebingungan sebagian WP yang ingin mendapatkan bebas fiskal namun kuatir tidak bisa mendapatkannya karena merasa NPWP yang dimilikinya adalah NPWP karyawan walaupun dalam ketentuan pajak tidak terdapat istilah NPWP karyawan.

Sepertinya dalam beberapa tahun mendatang NPWP tidak akan lagi mempunyai nilai yang sepenting sekarang karena akan adanya penerapan SIN oleh pemerintah yang menugaskan departemen dalam negeri untuk membuat database kependudukan. Hal ini tentu akan sangat memudahkan pemerintah untuk menguji kepatuhan WP sehingga dengan database yang nanti ada akan sangat sukar bagi WP untuk menyembunyikan kekayaannya. Dengan memasukkan nomor identitas tunggal kependudukan, Dirjen Pajak dapat dengan mudah mengetahui kekayaan WP seperti rumah dan kendaraan bahkan mungkin hingga frekuensi kunjungan keluar negeri sehingga sukar bagi WP untuk menghindari pajak. Namun sampai saat ini, NPWP dapat dipastikan akan memegang peranan penting bagi WP karena data kependudukan beridentitas tunggal belum dapat diselesaikan pemerintah.