Saturday, October 25, 2008

New Income Tax Act 2008 and its impact on companies

After the government revised the Income Tax Act in 2008, we might need to think of the tax consequences of the change found in this newly published Act. Companies would obviously need to consider how the revision affects their tax obligation. The impact would indeed be more than just the tax rate that is surprisingly flat for the companies namely 28 % but also other changes in the new Income Tax Act

Permanent Establishment (PE), or translated as Bentuk Usaha Tetap (BUT), now has different criterias as we could see in article 2. The new classification could make the meaning of PE have different interpretation than other countries such as the last part of the definition of PE about computer.

The change of deductible expenses, as we could see in article 6, allows the company to deduct a few kinds of expenses which were previously non deductible as we see in the deductible donation though the government regulation is needed as the elucidation for that matter.

As a matter of fact, the revision is too general and some articles require further regulation of certain matters by either the government or the finance minister by publishing the governmental decree or a decree from the finance minister. Thus, we might need to take wait-and-see attitude after the revision of this Income Tax Act and, at the same time. hope that the further regulation would be introduced before that decree becomes legally applicable.

This posting is aimed to give general idea about the revision of Income Tax Act recently, hence broad details are in need to define the tax consequences for the companies after the revision. In other words, specific business sectors could have specific tax consequences though we might need government’s regulation on specific subject in the revision.

Here’s the Indonesian version that is originally made by Google Translate though it has been edited due to some grammatical errors
============================
Setelah pemerintah merevisi Undang-Undang PPh di tahun 2008, kita mungkin perlu berpikir tentang konsekuensi pajak dari perubahan yang ditemukan dalam Undang-undang baru tersebut. Perusahaan akan jelas perlu mempertimbangkan bagaimana revisi mempengaruhi kewajiban pajak mereka. Dampaknya akan menjadi lebih dari hanya tarif pajak yang flat untuk perusahaan yaitu sebesar 28% tetapi juga perubahan lain dalam Undang-undang PPh yang baru.

Permanent Establishment (PE), atau diterjemahkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), sekarang memiliki berbagai kriteria seperti yang kita dapat lihat dalam pasal 2. Klasifikasi baru dapat membuat pengertian dari PE memiliki interpretasi yang berbeda dibandingkan negara lain seperti bagian terakhir definisi PE tentang komputer.

Perubahan dalam pengertian biaya-biaya yang dapat dikurangkan, seperti yang kita dapat lihat dalam pasal 6, memungkinkan perusahaan untuk mengurangkan beberapa jenis pengeluaran yang sebelumnya tidak dapat dikurangi tidak dapat dibiayakan seperti yang kita lihat dalam sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan walaupun peraturan pemerintah diperlukan sebagai penjelasan untuk hal tersebut.

Sebagai kenyataan, revisi dalam UU PPh terlalu umum dan beberapa artikel memerlukan peraturan lebih lanjut dari hal-hal tertentu oleh pemerintah atau menteri keuangan melalui penerbitan peraturan pemerintah atau peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, kita mungkin perlu mengambil sikap menunggu setelah revisi UU PPh ini. Diharapkan agar peraturan lebih lanjut akan diperkenalkan sebelum peraturan tersebut diberlakukan.

Posting ini ditujukan untuk memberikan ide umum mengenai revisi Undang-undang PPh baru-baru ini, oleh karenya rincian yang luas diperlukan untuk mendefinisikan konsekuensi pajak bagi perusahaan setelah revisi. Dengan kata lain, sektor usaha tertentu dapat memiliki konsekuensi pajak tertentu walaupun kita mungkin perlu menunggu regulasi pemerintah pada subjek tertentu yang diatur dalam revisi.

Thursday, October 2, 2008

Hedging Transaction dan Perlakuan Pajak di Indonesia



Paper for Financial Instruments

Beberapa bulan yang lalu, beberapa pihak mempermasalahkan transaksi hedging yang dilakukan oleh Indosat, satu perusahaan telekomunikasi ternama di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan antara Indosat dengan pihak induk perusahaan di Singapura. Permasalahan menjadi rumit karena beberapa pihak membawanya menjadi semacam permasalahan politik sejak pihak parlemen turut berkomentar


Banyak pihak bertanya-tanya tentang transaksi hedging, apakah benar transaksi hedging yang dilakuan tersebut benar-benar satu penghindaran pajak, pengertian dari hedging menurut pajak dan sejauh mana hedging dapat dilakukan sehingga dapat diakui oleh pihak pajak. Inilah satu alasan yang mendorong penulisan “hedging transaction and tax treatment”. Tulisan yang telah diterbitkan di majalah Inside Tax ini menjelaskan pemahaman dari transaksi hedging


Paper for Financial Instruments

Untuk memahami transaksi hedging, kita dapat melihat IAS (International Accounting Standard) 32 dan 39 yang saling berhubungan dan paling sering menjadi referensi dalam hedge accounting. Hedging sendiri dibagi oleh IAS menjadi Fair Value Hedge, Cash Flow Hedge, dan Hedges of a net investment in a foreign entity. IAS juga menjelaskan persyaratan agar satu transaksi dapat diklasifikasikan sebagai hedging.

Perlakuan pajak terutama akan menyoroti apakah transaksi hedging akan menghasilkan laba atau kerugian. Satu hal yang menjadi sorotan adalah kemungkinan hedging dilakukan sebagai satu bentuk spekulasi sehingga pihak pajak mungkin menolak kerugian yang dilaporkan dari wajib pajak atas transaksi hedging.

Dengan semakin diterima IAS sebagai satu standard di seluruh dunia termasuk di Indonesia, pemahaman akan IAS sebagai pedoman untuk memahami transaksi hedging akan menjadi semakin penting.

Catatan : artikel lengkap bisa dilihat di majalah Inside Tax edisi Juni 2008