Thursday, October 18, 2012

Perpajakan di Indonesia dan masalah Money Laundry serta korupsi

Benarkah Perpajakan dapat membantu pemecahan masalah pencucian uang (Money Laundry) dan pemberantasan korupsi? Masyarakat justru seringkali menghakimi bahwa kantor pajak merupakan sumber korupsi dan tidak berperan banyak dalam pemberantasan korupsi apalagi setelah kasus Gayus mencuat dan beberapa petugas pajak ditangkap dengan tuduhan korupsi dan pencucian uang seperti terlihat dalam kasus Bahasyim.  Artikel ini membahas kemungkinan peraturan dan informasi perpajakan dalam mendukung penyelesaian masalah pencucian uang dan korupsi tersebut.

Informasi perpajakan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedangkan informasi transaksi keuangan yang dapat menunjukkan adanya kasus pencucian uang berada di tangan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).

DJP telah membuat kerjasama yang memungkinkan DJP mendapatkan data PPATK tanpa melalui izin dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dan pidana perpajakan. Namun sejauh mana informasi perpajakan dapat digunakan untuk mencegah atau bahkan memberi sanksi atas tindak pidana tersebut?

Informasi Perpajakan
Pemerintah, dalam hal ini DJP, berdasarkan pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) berhak meminta informasi perpajakan mengenai penghasilan dan kekayaan wajib pajak , baik orang pribadi maupun perusahaan, pada instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain sebagai pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan bahkan pihak yang tidak menyediakan data tersebut dapat dikenakan sanksi pidana menurut pasal 41C UU KUP.
Pasal 35A dibuat melengkapi pasal 35 UU KUP yang memungkinkan pemerintah meminta data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan.

Lewat pasal 35A seharusnya penghasilan dan kekayaan wajib pajak yang disembunyikan dapat segera diketahui secara proaktif sebelum melalui pemeriksaan pajak. DJP dapat menggunakan pasal 35A untuk meminta data kepada kementerian lain untuk menguji kebenaran pelaporan pajak perusahaan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang merupakan amanat dari Pasal 35A tersebut. Dengan PP 31 tersebut, DJP dapat menggunakan pasal 3 dari PP tersebut untuk memperoleh informasi perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga pemerintah dan asosiasi sehingga kementerian negara, kamar dagang dan industry hingga perbankan nasional dapat memberikan informasi perpajakan.

Contoh pentingnya penerapan Pasal 35A dapat dilihat dalam rencana pemburuan pemilik mobil mewah untuk menguji kepatuhan pembayaran pajak.

Penggelapan pajak
Tindakan secara sengaja tidak melaporkan penghasilan kena pajak dengan benar merupakan penggelapan pajak dan dan dapat diganjar dengan sanksi perpajakan berupa sanksi pidana penjara maksimal selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP.)

Penggelapan pajak dapat dilakukan oleh orang pribadi serta perusahaan sehingga tuduhan penyelewengan pajak perusahaan dapat dibuktikan dan bagi orang pribadi, informasi pajak juga dapat digunakan untuk menguji kebenaran tuduhan money laundry hingga korupsi.

Money Laundry
Di luar negeri, pelaku tindak pidana, termasuk pelaku kejahatan pajak, berusaha untuk mencegah agar kejahatan merereka tidak diketahui oleh penegak hukum dan otoritas pajak. Jika seseorang ditangkap atau dikenakan pajak atas hasil kejahatannya maka ia akan berusaha agar hasil kejahatan tidak terlacak asal-usulnya. Demikian juga jika ia mau menggunakan uang hasil kejahatannya, akan terdapat dilema tentang bagaimana menggunakan sejumlah besar uang tanpa menarik perhatian otoritas pajak. Permasalahan inilah yang mendasari OECD di tahun 2009 menerbitkan laporan “Money Laundering Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors” yang dapat diterapkan di Indonesia.

Karena itulah peraturan pajak dapat mendukung UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan mengetahui kekayaan hasil kejahatan yang disembunyikan dimana kekayaan dari hasil tindak pidana money laundry di Indonesia merupakan penghasilan kena pajak.

Contoh terkenal dari sanksi pajak dan money laundry adalah kasus Al Capone di Amerika Serikat yang dijerat dengan sanksi pidana dari UU Pajak atas penghasilan yang tidak dilaporkan meskipun penegak hukum tidak berhasil menemukan bukti pelanggaran hukum.

Harta dan hasil korupsi
Korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri sehingga menambah kekayaan dari penyelenggara negara sesuai pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terlepas dari sanksi pidana UU Tipikor, UU Pajak sesungguhnya mengatur sanksi atas tindak pidana korupsi.

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan (PPh) semua wajib pajak, termasuk pejabat negara, wajib melaporkan seluruh penghasilan, sesuai pasal 4 UU PPh. Penghasilan yang didapat secara tidak legal seperti korupsi juga harus dilaporkan dan dikenakan PPh. Namun dapat diperkirakan bahwa pelaku korupsi akan tidak melaporkan penghasilan dari korupsi dalam SPT Tahunan PPh OP.

Penghasilan kena pajak yang dengan sengaja tidak dilaporkan merupakan penggelapan pajak. Bahkan dalam kasus Gayus yang dianggap kasus korupsi, ada wacana untuk mengenakan sanksi pidana penggelapan pajak dimana penulis berpendapat seharusnya sanksi tersebut diterapkan pada seluruh kasus korupsi, tanpa terkecuali.

Terhadap wajib pajak orang pribadi (WP OP) sesungguhnya telah diterapkan pemeriksaan pajak yang menganggap adanya penghasilan kena pajak yang tidak atau kurang dilaporkan apabila WP OP memiliki barang mewah atau memiliki gaya hidup yang berada diatas gaya hidup normal sesuai penghasilan yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Pengadilan Pajak bahkan memiliki yurisprudensi atas WP OP  yang dikenakan sanksi pajak karena adanya penghasilan dan harta yang belum dilaporkan tersebut. Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan pada semua WP OP termasuk pada pejabat negara.

Tax Information Exchange Agreement
Penghasilan dan harta wajib pajak dapat disembunyikan di luar negeri dengan menggunakan offshore bank dan kepemilikan aset.

Pemerintah Indonesia bahkan telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) yakni perjanjian perpajakan yang dibuat berbagai negara untuk melakukan pertukaran informasi perpajakan dengan negara lokasi pusat keuangan dimana offshore bank banyak berada. TIEA dapat digunakan sebagai dasar untuk membuka rekening bank tempat wajib pajak menyembunyikan penghasilan. Selain dengan TIEA yang telah dibuat dengan Guernsey, Isle of Man dan Bermuda, pemerintah masih dapat menggunakan menggunakan ketentuan pertukaran informasi pajak pada Tax Treaty untuk menghindari penggelapan pajak.

Kesimpulan
DJP mempunyai kemampuan melacak harta dan penghasilan hasil korupsi dan money laundry yang belum dilaporkan. Peraturan pajak serta informasi perpajakan yang diterapkan dengan benar dapat mencegah, mempersulit dan mengatasi tindak pidana korupsi serta money laundry yang digolongkan penggelapan pajak karena sanksi perpajakan berupa sanksi pidana hingga pajak yang harus dibayar.