Harian Kontan, 10 Maret 2014
Benarkah simpanan uang di luar negeri dapat dilakukan agar penghasilan kita tidak terlacak? Terdakwa kasus korupsi dari KPK, terungkap dalam penyadapan, berbicara tentang rekening bank di British Virgin Islands (BVI) yang menurutnya tempat orang Indonesia menyimpan dan mencuci uang.
Di BVI, selain
beberapa negara lain yang dikenal sebagai financial
center, banyak perusahaan perantara didirikan untuk menghindari pajak dan menjadi
salah satu pendorong OECD membuat studi atas base erosion dan profit shifting
dari perusahaan multinasional.
Direktorat
Jenderal Pajak berkeinginan memperoleh akses atas rekening perbankan di Indonesia terutama
180.000 rekening orang kaya untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak namun rencana ini dikabarkan dapat memicu
nasabah Indonesia untuk memindahkan uang mereka terutama ke Singapura dimana
diperkirakan lebih dari 1.500 trilyun rupiah tersimpan (Kompas, 27 Februari
2014).
Jika demikian, benarkah
data rekening bank dan keuangan di negara-negara pusat keuangan dapat dan perlu
dibuka serta permasalahan apa yang terjadi?
Offshore bank, seperti yang terdapat di negara pusat keuangan
di Singapura, Hong Kong, Swiss hingga BVI, adalah cara yang dapat dipakai untuk
menyembunyikan uang atau penghasilan tidak hanya dari penegak hukum atas kasus
korupsi dan pencucian uang namun juga dari otoritas pajak agar penghasilan
tersebut tidak dikenakan pajak. Setali tiga uang, uang yang disembunyikan harus
tidak dapat dilacak oleh otoritas pajak dan penegak hukum. Bagi otoritas pajak,
penghasilan dari tindak kejahatan, termasuk korupsi, adalah penghasilan kena
pajak yang bila tidak dilaporkan dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal
selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan.
Pelaporan Pajak
Setelah kasus UBS
Bank di Swiss dimana banyak nasabah warga
Amerika Serikat (AS) menyembunyikan
penghasilan agar tidak membayarkan pajak, di tahun 2010, AS mengesahkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)
yang mewajibkan warga AS termasuk permanent
resident untuk melaporkan rekening bank atau keuangan serta aset yang
mereka miliki di luar negeri dengan sanksi atas mereka yang tidak
melaporkannya. FATCA juga berusaha meminta pelaporan dari institusi keuangan
luar AS untuk melaporkan informasi keuangan dari warga AS. FATCA, yang direncanakan akan diikuti juga oleh
Singapura, dikabarkan membuat institusi keuangan di Swiss berusaha tidak
berurusan dengan warga AS karena akan merepotkan mereka dalam pelaporan informasi
pajak..
Di Inggris, wajib
pajak berkewajiban melaporkan penghasilan mereka di luar negeri dalam lampiran khusus pelaporan pajak tahunan, termasuk
bunga, dividen atau capital gain dan sewa hingga penghasilan yang tidak dapat
dikirimkan kembali ke Inggris. Hal ini sebenarnya juga dapat diterapkan untuk
wajib pajak kaya (High Net Worth
Individual) di Indonesia yang bahkan memiliki kantor pajak tersendiri.
Pada February
2014, OECD menerbitkan satu laporan tentang standar atas Automatic Exchange of Financial Account Information antar negara
untuk melakukan pertukaran secara otomatis tidak berdasar “on request” yang
dapat digunakan untuk mengatasi penggelapan pajak dari harta di luar negeri
karena standar ini mendukung pertukaran informasi keuangan dari institusi
keuangan, apa saja yang perlu dilaporkan, jenis account dan pembayar pajak yang dicakup serta due dilligence yang perlu dilakukan oleh institusi keuangan. Kekurangan
standar yang juga didukung G20 ini tidak mencakup data pengguna safe deposit box atau sanksi yang jelas
untuk yang tidak mematuhinya.
Indonesia telah
menandatangani Tax Information Exchange
Agreement (TIEA) dengan negara-negara pusat keuangan yakni Bermuda,
Guernsey, Isle of Man, Jersey dan San Marino[1]
untuk bertukar informasi perpajakan walau belum berlaku efektif. TIEA yang
tidak sama dengan tax treaty dibuat oleh negara-negara yang sering disebut
sebagai tax haven dan berisi
perjanjian pertukaran informasi keuangan, seperti data perbankan dan institusi
keuangan serta data kepemilikan perusahaan, partnership,
trust, yayasan hingga collective investment schemes.
Penghindaran vs
Penggelapan
Yang dilakukan
wajib pajak di negara-negara pusat keuangan tidak hanya penggelapan namun juga
penghindaran pajak dengan pendirian perusahaan perantara hingga pendirian trust, satu entitas yang didasarkan common law seperti di Inggris. Margaret
Thatcher dikabarkan menggunakan offshore trust di BVI untuk kepemilikan
properti senilai 12 juta poundsterling di London untuk menghindari pajak. Warga
Indonesia bahkan dapat menggunakan Business
Trust di Singapura untuk mengelola kekayaan di Indonesia serta bagian dari perencanaan
pajak.
Dalam kasus penggelapan
pajak Asian Agri, putusan Mahkamah Agung
No. 2239 K/PID.SUS/2012 menjelaskan
penggunaan special purpose vehicle company
di Hong Kong, Macau dan BVI yang melakukan under
invoicing untuk barang yang dijual Asian Agri sehingga merugikan penerimaan
pajak. Di Italia, terdapat kasus Dolce &
Gabbana yang dituduh melakukan penggelapan pajak dengan penjualan merek Dolce
& Gabbana dengan harga yang tidak wajar (arm’s length) ke perusahaan perantara di Luxembourg sehingga mereka
dituduh tidak melaporkan penghasilan lebih dari 1 milyar euro.
Kesimpulan
Penggelapan dan penghindaran pajak, yang diduga erat terkait
dengan kejahatan lainnya, dapat dilakukan di negara yang menjadi pusat keuangan
serta offshore bank. Dirjen Pajak perlu
dan dapat menggunakan pertukaran informasi keuangan, termasuk rekening bank dan
data perusahaan di luar negeri, dengan otoritas pajak luar negeri untuk
mengatasi masalah tersebut dan perlu mewajibkan pelaporan penghasilan dan aset
di luar negeri bagi wajib pajak secara khusus dalam pelaporan pajak.
Catatan:
Tulisan ini adalah versi asli sebelum diedit oleh redaksi Harian Kontan dan diterbitkan dalam rubrik opini pada Senin, 10 Maret 2014
Beberapa bagian penting dari tulisan ini tidak ada dalam tulisan di Harian Kontan karena hasil edit dari redaktur.
2 comments:
Padahal Indonesia sudah menjadi tempat selevel BVI karena tidak mudahnya mengakses informasi perbankan di Indonesia. Aturan kerahasiaan perbankan bos yang bikin djp ga berkutik..karena pasal 41 uu perbankan bilang kalau mau akses informasi perbankan harus menyebutkan nama wajib pajak...artinya nasabah yang bukan wajib pajak tidak akan tersentuh selamanya..sudah terlalu lama Indonesia jadi surga para pengemplang pajak domestik dan internasional karena tidak dapat diakses informasinya kecuali kita tahu siapa nama nasabahnya dan nasabah tersebut harus wajib pajak.
memang benar, informasi perbankan di Indonesia masih tertutup untuk otoritas pajak meski di negara lain sudah dapat dibuka dengan pertukaran informasi secara otomatis untuk otoritas perpajakan.
Mungkin pihak lain masih bisa berpendapat kalau penggelapan pajak juga terkait dengan pencucian uang yang diawasi oleh PPATK tapi hal ini biasanya jika ada transaksi yang mencurigakan.
Kemungkinan besar DJP akan menggunakan pasal tambahan kekayaan yang belum dikenakan pajak penghasilan 4(1)(p) UU PPh
Sedikit tambahan, ada beberapa kasus banding untuk PPh OP yang menggunakan tambahan kekayaan penghasilan yang belum dikenakan pajak sesuai pasal 4(1)(p) UU PPh tersebut tapi DJP kalah dalam perkara banding tersebut.
Jadi kalau akses dapat diperjuangkan untuk dibuka oleh DJP, seharusnya juga ada usaha DJP untuk membuka akses perbankan di Singapura seperti Amerika lewat IRS mendapat akses perbankan di Singapura, kenapa Indonesia tidak bisa?
Post a Comment