Pemotongan / Pemungutan PPh atau disebut sebagai Withholding Tax di Indonesia mempunyai banyak jenis dan tarif yang berbeda. Apakah permasalahan yang ada hanya sekedar menghapal jenis PPh Potput yang ada serta tarif yang tepat? Ternyata tidak hanya seperti itu, tulisan berikut menjelaskan permasalahan yang ada
Banyaknya jenis PPh Potput di Indonesia
PPh Potput harus diterapkan dengan benar terutama oleh pihak yang memberikan penghasilan atau seharusnya memotong karena kesalahan pemotongan PPh dapat menimbulkan sanksi perpajakan.
Adalah wajar jika seseorang, bahkan mungkin juga fiskus, tidak hapal tarif pajak PPh Potput. Dari PPh 21 yang perhitungannya panjang dan cara perhitungannya beda hingga PPh Pasal 26. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. PPh Pasal 21
b. PPh Pasal 22
c. PPh Pasal 23
d. PPh Pasal 26
e. PPh Pasal 4(2)
f. PPh Pasal 15
Untuk PPh Pasal 21, perhitungan dibedakan diantaranya dengan pegawai tetap dan tidak tetap serta penghasilan yang berkesinambungan dan tidak.
PPh 21 dibedakan antara barang impor dan produk tertentu.
PPh 23 diterapkan atas pembayaran royalti, dividen, bunga, sewa hingga jasa. Berdasarkan UU PPh terbaru sesungguhnya tariff PPh Pasal 23 sudah disederhanakan sehingga dapat dikatakan jika tarif PPh 23 untuk jasa adalah sebesar 2%
PPh 26 diterapkan terutama atas pembayaran atau pemberian penghasilan kepada pihak di luar negeri dengan tarif sebesar 20% kecuali atas pembayaran asuransi atau reasuransi di luar negeri.
PPh Pasal 4 (2) yang sering disebut PPh final pada dasarnya dibuat untuk memudahkan pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun bisa menimbulkan permasalahan keadilan karena Wajib Pajak tidak dapat memperhitungkan kerugian yang ia peroleh.
PPh Pasal 15 juga mempermudah pembayaran PPh bagi Wajib Pajak namun dapat menimbulkan pertanyaan tentang dasar perhitungan tarif sebesar 1,2%, 1,8%, 2,64%, 0,44% yang juga tidak memungkinkan Wajib Pajak untuk memperhitungkan kerugian yang diterima.
Sukarnya Klasifikasi atas PPh Potput
Sulitnya penggolongan jenis PPh Potput dapat membuat Wajib Pajak salah menerapkan tarif PPh yang membuat Wajib Pajak terancam terkena sanksi perpajakan berupa kenaikan hingga denda. Sebagai contoh :
- Adanya perbedaan tarif PPh final Pasal 4(2) antara pelaksanaan konstruksi dan pemberian jasa konstruksi dapat menimbulkan kesalahan dan perbedaan pendapat. Yang manakah yang merupakan jasa konstruksi dan yang mana merupakan pelaksanaan konstruksi. Salah satu solusi yang dapat dipakai Wajib Pajak adalah membuat rincian pembayaran yang membedakan antara jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultasi atas konstruksi.
- Perbedaan klasifikasi antara PPh Final antara PPh Jasa Pelayaran sesuai PPh Pasal 23 dengan jasa penujang migas sesuai PPh Pasal 4(2) jika satu perusahaan memberikan jasanya kepada perusahaan migas.
PPh Potput dan PPN
PPh Potput juga dapat menjadi acuan ekualisasi bagi PPN karena adanya transaksi yang merupakan objek PPh Potput dan juga objek PPN contohnya seperti jasa konstruksi.
Perlu diperhatikan juga antara bagi penerimaan apakah sudah termasuk PPh Potput dan PPN karena kesalahan perhitungan dapat membuat sanksi pajak dapat diterapkan pada pihak yang seharusnya memotong PPh.
Kesimpulan
Indonesia dibandingkan dengan negara lain mempunyai lebih banyak jenis pajak sehingga Wajib Pajak Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan kewajiban perpajakannya seperti dapat dilihat di laporan berikut dari World Bank.
Karena itulah Wajib Pajak harus berhati-hati dalam melakukan perencanaan atas PPh Potput dan mungkin bagi Pemerintah diperlukan peraturan yang lebih jelas untuk menghindari perbedaan pendapat atau bahkan mengurangi jenis pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk menolong Wajib Pajak seperti dilihat di laporan World Bank tersebut
No comments:
Post a Comment