Penurunan tarif pajak sebesar 5 % bagi perusahaan publik cukup menarik dengan syarat kepemilikan publik sebesar 40% dan kepemilikan publik oleh 300 pihak dimana masing-masing pihak hanya memiliki kurang dari 5% kepemilikan saham, berita ini disambut dengan tanggapan positif seperti di artikel ini
Penurunan yang didasarkan pada :
- Peraturan Pemerintah No.81 tahun 2007,
- Peraturan Menteri Keuangan No.238/PMK.03/2008 serta
- SE Dirjen Pajak No. 42/PJ/2009 yang berisi penegasan atas pelaksanaan PMK diatas
Pemerintah dengan SE tersebut menegaskan merubah sistem menjadi self assessment dari ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya permohonan terlebih dahulu
Perubahan ini menggembirakan namun ada beberapa hal yang perlu dicermati :
- Pengawasan seperti "diserahkan" pada Bapepam LK untuk mengetahui kebenaran kepemilikan saham sebagai syarat penurunan tarif PPh Badan
- Sanksi administrasi yang dapat diterapkan diantaranya adalah bunga sebesar 2% per bulan atas keterlambatan kurang bayar dari pajak yang harus dibayar dalam SPT Tahunan PPh Badan jika perusahaan menggunakan tarif pajak lebih rendah tapi ternyata tidak memenuhi syarat kepemilikan saham seperti dipersyaratkan
Thursday, April 30, 2009
Monday, April 20, 2009
Perubahan dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengumumkan Rencana penarikan atas PSAK 32: Akuntansi Kehutanan, PSAK 35: Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi, dan PSAK 37: Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol.
Alasan penarikan tersebut adalah:
1. Program konvergensi ke IFRS yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2012.
2. Pengaturan akuntansi dalam PSAK 32, PSAK 35, dan PSAK 37 telah diatur dalam PSAK-PSAK lain.
3. PSAK akan mengatur perlakuan akuntansi atas transaksi bukan didasarkan pada jenis industri dan bersifat principle-based.
IAI masih mengharapkan masukan dan tanggapan publik atas rencana penarikan PSAK tersebut. Dalam hal perpajakan, hal ini mungkin perlu dicermati bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha kehutanan, telekomunikasi dan jalan tol. Tentunya bagi fiskus, hal ini juga perlu dicermati akan pengaruhnya bagi pelaporan pajak perusahaan terkait
Mungkin dapat juga dilihat akan perbedaan antara standar akuntansi di Indonesia (PSAK) dan IFRS di sini atau di web ini
Sumber : Berita dari Website IAI
Alasan penarikan tersebut adalah:
1. Program konvergensi ke IFRS yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2012.
2. Pengaturan akuntansi dalam PSAK 32, PSAK 35, dan PSAK 37 telah diatur dalam PSAK-PSAK lain.
3. PSAK akan mengatur perlakuan akuntansi atas transaksi bukan didasarkan pada jenis industri dan bersifat principle-based.
IAI masih mengharapkan masukan dan tanggapan publik atas rencana penarikan PSAK tersebut. Dalam hal perpajakan, hal ini mungkin perlu dicermati bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha kehutanan, telekomunikasi dan jalan tol. Tentunya bagi fiskus, hal ini juga perlu dicermati akan pengaruhnya bagi pelaporan pajak perusahaan terkait
Mungkin dapat juga dilihat akan perbedaan antara standar akuntansi di Indonesia (PSAK) dan IFRS di sini atau di web ini
Sumber : Berita dari Website IAI
Labels:
accountancy,
corporate tax,
standar akuntansi
Friday, April 17, 2009
Tax Treaty Indonesia - Swiss
Indonesia akhirnya meratifikasi Tax Treaty dengan Swiss dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2009 tanggal 5 Maret 2009
Perpres ini meratifikasi Protokol Perubahan Persetujuan dan Protokol antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss mengenai Penghindaran Pajak Berganda yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas penghasilan yang telah ditandatangani pada tanggal 8 Februari 2007 di Jakarta sebagai hasil perundingan antara Delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Konfederasi Swiss.
Versi lengkap dari Perpres tersebut dapat dilihat di sini.
Perpres ini meratifikasi Protokol Perubahan Persetujuan dan Protokol antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss mengenai Penghindaran Pajak Berganda yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas penghasilan yang telah ditandatangani pada tanggal 8 Februari 2007 di Jakarta sebagai hasil perundingan antara Delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Konfederasi Swiss.
Versi lengkap dari Perpres tersebut dapat dilihat di sini.
Tuesday, April 14, 2009
Mesin pencari peraturan pajak Indonesia yang gratis di Internet
Bagaimana rasanya mencari peraturan pajak yang jumlahnya tak terhitung? Mesin pencari atau database peraturan pajak sangat diperlukan.
Jika database peraturan pajak yang diperlukan tentu diperlukan biaya, ditambah lagi dengan biaya update peraturan secara berkala.
Lalu adakah peraturan pajak Indonesia yang gratis di Indonesia?
Ternyata ada database peraturan pajak yang gratis dari
a. Dirjen Pajak berupa fasilitas pencarian peraturan perpajakan Indonesia, dan
b. Ortax, berupa database untuk pencarian peraturan perpajakan Indonesia
Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan :
a. Dirjen Pajak
Kelebihannya adalah database yang lengkap termasuk surat-surat Dirjen Pajak (private ruling) serta namun ada kekurangannya, pencarian tidak bisa dibedakan berdasarkan jenis pajak seperti PPN, PPh, PBB atau BPHTB. Kekurangan lain adalah tidak adanya link untuk peraturan yang terkait serta tidak ada status apakah peraturan tersebut sudah diperbaharui atau diganti
b. Ortax
Kekurangannya adalah tidak adanya surat-surat berupa ruling Dirjen Pajak namun kelebihannya adalah kemampuan pencarian yang memisahkan jenis pajak dan tanggal penerbitan peraturan. Disini juga ada link untuk peraturan terkait serta status apakah peraturan tersebut sudah diganti atau telah diperbaharui.
Sebenarnya dengan memanfaatkan kedua jenis database ini kita dapat mencari peraturan pajak yang cukup lengkap.
Selamat mencari ....
Jika database peraturan pajak yang diperlukan tentu diperlukan biaya, ditambah lagi dengan biaya update peraturan secara berkala.
Lalu adakah peraturan pajak Indonesia yang gratis di Indonesia?
Ternyata ada database peraturan pajak yang gratis dari
a. Dirjen Pajak berupa fasilitas pencarian peraturan perpajakan Indonesia, dan
b. Ortax, berupa database untuk pencarian peraturan perpajakan Indonesia
Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan :
a. Dirjen Pajak
Kelebihannya adalah database yang lengkap termasuk surat-surat Dirjen Pajak (private ruling) serta namun ada kekurangannya, pencarian tidak bisa dibedakan berdasarkan jenis pajak seperti PPN, PPh, PBB atau BPHTB. Kekurangan lain adalah tidak adanya link untuk peraturan yang terkait serta tidak ada status apakah peraturan tersebut sudah diperbaharui atau diganti
b. Ortax
Kekurangannya adalah tidak adanya surat-surat berupa ruling Dirjen Pajak namun kelebihannya adalah kemampuan pencarian yang memisahkan jenis pajak dan tanggal penerbitan peraturan. Disini juga ada link untuk peraturan terkait serta status apakah peraturan tersebut sudah diganti atau telah diperbaharui.
Sebenarnya dengan memanfaatkan kedua jenis database ini kita dapat mencari peraturan pajak yang cukup lengkap.
Selamat mencari ....
Labels:
database,
iklan pajak,
peraturan,
rules,
search engine
Monday, April 6, 2009
PTKP dan Masalah Ketidakadilan Pajak dari gugatan hingga putusan MK
Berita tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dipermasalahkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) di Indonesia, sudahkah PTKP memberikan keadilan bagi Wajib Pajak? Menkeu sendiri dalam tanggapannya menyatakan bahwa PTKP sudah memberikan keadilan.
Uji materi tersebut diajukan karena pasal 7 ayat (1) dari UU Pajak Penghasilan (PPh) tentang PTKP, selain karena pasal 9 ayat (1), dirasa memberatkan beban hidup pemohon dengan menyatakan adanya pasal tersebut menyebabkan beban hidup pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup minimum.
PTKP di Indonesia
UU PPh menetapkan PTKP bagi WP OP untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sehingga WP OP mengurangi penghasilan netonya dengan PTKP yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya untuk menghitung pajak yang harus dibayar, penghasilan kotor WP OP dapat dikurangi biaya-biaya yang ia keluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan hingga Wajib Pajak mendapatkan penghasilan neto. Setelah itu, WP OP dapat mengurangkan PTKP untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Namun apakah jumlah PTKP tersebut telah memberikan keadilan? Ternyata ada beberapa permasalahan.
Pertama-tama, meski salah satu teori yang dianut dalam pemungutan pajak adalah teori gaya pikul yang menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang sehingga pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, PTKP pada dasarnya menyamaratakan semua WP OP kecuali status pernikahan dan jumlah tanggungan. Contoh perbedaan biaya hidup bisa dilihat dari penyamaan WP OP yang sakit dan yang sehat walau WP OP yang sakit-sakitan akan merasakan ketidakadilan bila PTKP yang ia dapatkan disamakan dengan PTKP orang yang sehat karena ia membutuhkan biaya besar untuk perawatan kesehatan.
Kedua, PTKP juga seakan-akan menganggap semua orang tidak memerlukan biaya untuk pendidikan. Seorang Wajib Pajak yang bekerja secara profesional seperti programmer, dosen atau pengacara membutuhkan pendidikan berkelanjutan untuk menambah ilmunya dan dengan peraturan PTKP, mereka tidak dapat mengurangi biaya pendidikan mereka untuk mengurangi pajak. Bagi Wajib Pajak yang berkeluarga, biaya pendidikan yang jauh lebih besar dibutuhkan untuk anak mereka yang sedang kuliah sedangkan dalam PTKP tidak ada perbedaan demikian.
Ketiga, penyesuaian jumlah PTKP berdasarkan UU PPh dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PTKP harus selalu sesuai dengan keadaan contohnya dengan tingkat inflasi. Penyesuaian jumlah PTKP yang tidak tepat waktu dapat menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.
Keempat, PTKP tidak membedakan Wajib Pajak berdasarkan lokasi tempat tinggal. Dirjen Pajak dalam peraturan tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto secara tidak langsung mengakui adanya perbedaan biaya hidup antara Wajib Pajak yang tinggal di 10 ibu kota propinsi, kota propinsi dan tempat lainnya, sehingga Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Jakarta akan menanggung biaya usaha lebih besar dan membuat penghasilan netonya akan lebih kecil dibandingkan Wajib Pajak dengan usaha sama di Papua misalnya. Pembedaan ini ternyata tidak ada dalam PTKP sehingga tidak ada pembedaan PTKP antara Wajib Pajak di Jawa dan luar Jawa misalnya.
Perbandingan dengan negara lain
Di negara lain, PTKP dapat dibandingkan dengan allowance atau personal deduction atau personal relief kepada Wajib Pajak. Peraturan Pajak di Amerika Serikat memungkinkan Wajib Pajak mengurangkan biaya sekolah anak, biaya perawatan kesehatan, biaya bunga atas pinjaman rumah hingga pembayaran tunjangan istri (alimony payment). Hal yang sama juga dapat ditemukan di Eropa. Belanda, misalnya, mengijinkan adanya personal deduction bagi WP OP atas bunga pinjaman rumah yang ditempati Wajib Pajak serta biaya medis bagi masalah cacat tubuh.
Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memberikan hal yang sama bagi Wajib Pajak, bahkan kedua negara tersebut sama-sama memberikan personal relief yang cukup lengkap sebagai pengurang pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki anak dengan cacat tubuh. Singapura bahkan mengijinkan Wajib Pajak menerima personal relief khusus bagi Wajib Pajak yang merawat orang tua yang cacat. Jumlah personal relief di Singapura juga dibedakan berdasarkan umur. Malaysia selain memberikan hal-hal yang tersebut diatas, juga memberikan personal relief khusus bagi anak kandung yang cacat dan melanjutkan pendidikan tinggi serta beragam personal relief lainnya termasuk relief atas pendidikan lanjutan bagi Wajib Pajak biasa.
Dapat kita simpulkan bahwa peraturan pajak, khususnya dalam hal PTKP, sudah jauh tertinggal dibanding negara lain serta memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Peraturan yang lebih baik dalam hal PTKP akan sanggup menambah kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal inilah yang perlu dipahami tidak hanya bagi Wajib Pajak tapi juga bagi pemerintah dan hakim di mahkamah konstitusi yang akan memberikan putusannya.
Putusan MK
MK akhirnya mengeluarkan putusan dan menolak gugatan atas PTKP dimana majelis hakim MK menolak uji materi terhadap UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi itu diajukan oleh DR Gustian Djuanda yang berprofesi sebagai dosen STEKPI.
Ketua Majelas Hakim M. Mahfud MD mengatakan permohonan uji materi tersebut tidak dapat dikabulkan karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut.
"Dalil pemohon bahwa pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pasal 9 ayat 1 huruf g UU PPh 2008 bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28B ayat 1, dan pasal 28H ayat 1 UUD 1945 tidak terbukti sehingga oleh sebab itu permohonan tidak beralasan," katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno di gedung MK hari ini.
MK berpendapat bahwa pengaturan PTKP merupakan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang diwajibkan kepada setiap WN tanpa dikaitkan dengan upah minimum.
Kesimpulan
Penulis sendiri tetap berpendapat, seperti yang pernah penulis tulis di postingan sebelumnya bahwa dapat terjadi masalah ketidakadilan dalam PPh OP dan PTKP hanyalah salah satu permasalahan ketidakadilan selain beban istimewa lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa peraturan PPh OP di Indonesia sangat kurang dan berakibat kurangnya penerapan prinsip keadilan bagi WP OP.
Catatan :
Ternyata penulis tidak sendirian dalam hal masalah keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, gugatan ini menunjukkan ada yang menganggap bahwa PPh OP mempunyai masalah ketidakadilan Silahkan liat di posting sebelumnya tentang PPh OP dan ketidakadilan pajak
Referensi :
- Besaran PTKP dipermasalahkan, gugatan atas PTKP di mahkamah konstitusi
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00573169/besaran.ptkp.dipermasalahkan
- Ada peluang PTKP dinaikkan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03480286/ada.peluang.ptkp.dinaikkan
- Membayar Pajak tidak perlu kaya dulu serta putusan MK atas uji materi bagi PTKP
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/20/1412240/Dirjen.Pajak.Bayar.Pajak.Tak.Perlu.Kaya.Dulu
- MK tolak uji materi UU PPh
http://news.antara.co.id/arc/2009/3/20/mk-tolak-uji-materi-uu-pph/
- MK tolak permohonan uji materi soal PPh
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id109370.html
Uji materi tersebut diajukan karena pasal 7 ayat (1) dari UU Pajak Penghasilan (PPh) tentang PTKP, selain karena pasal 9 ayat (1), dirasa memberatkan beban hidup pemohon dengan menyatakan adanya pasal tersebut menyebabkan beban hidup pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup minimum.
PTKP di Indonesia
UU PPh menetapkan PTKP bagi WP OP untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sehingga WP OP mengurangi penghasilan netonya dengan PTKP yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya untuk menghitung pajak yang harus dibayar, penghasilan kotor WP OP dapat dikurangi biaya-biaya yang ia keluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan hingga Wajib Pajak mendapatkan penghasilan neto. Setelah itu, WP OP dapat mengurangkan PTKP untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Namun apakah jumlah PTKP tersebut telah memberikan keadilan? Ternyata ada beberapa permasalahan.
Pertama-tama, meski salah satu teori yang dianut dalam pemungutan pajak adalah teori gaya pikul yang menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang sehingga pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, PTKP pada dasarnya menyamaratakan semua WP OP kecuali status pernikahan dan jumlah tanggungan. Contoh perbedaan biaya hidup bisa dilihat dari penyamaan WP OP yang sakit dan yang sehat walau WP OP yang sakit-sakitan akan merasakan ketidakadilan bila PTKP yang ia dapatkan disamakan dengan PTKP orang yang sehat karena ia membutuhkan biaya besar untuk perawatan kesehatan.
Kedua, PTKP juga seakan-akan menganggap semua orang tidak memerlukan biaya untuk pendidikan. Seorang Wajib Pajak yang bekerja secara profesional seperti programmer, dosen atau pengacara membutuhkan pendidikan berkelanjutan untuk menambah ilmunya dan dengan peraturan PTKP, mereka tidak dapat mengurangi biaya pendidikan mereka untuk mengurangi pajak. Bagi Wajib Pajak yang berkeluarga, biaya pendidikan yang jauh lebih besar dibutuhkan untuk anak mereka yang sedang kuliah sedangkan dalam PTKP tidak ada perbedaan demikian.
Ketiga, penyesuaian jumlah PTKP berdasarkan UU PPh dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PTKP harus selalu sesuai dengan keadaan contohnya dengan tingkat inflasi. Penyesuaian jumlah PTKP yang tidak tepat waktu dapat menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.
Keempat, PTKP tidak membedakan Wajib Pajak berdasarkan lokasi tempat tinggal. Dirjen Pajak dalam peraturan tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto secara tidak langsung mengakui adanya perbedaan biaya hidup antara Wajib Pajak yang tinggal di 10 ibu kota propinsi, kota propinsi dan tempat lainnya, sehingga Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Jakarta akan menanggung biaya usaha lebih besar dan membuat penghasilan netonya akan lebih kecil dibandingkan Wajib Pajak dengan usaha sama di Papua misalnya. Pembedaan ini ternyata tidak ada dalam PTKP sehingga tidak ada pembedaan PTKP antara Wajib Pajak di Jawa dan luar Jawa misalnya.
Perbandingan dengan negara lain
Di negara lain, PTKP dapat dibandingkan dengan allowance atau personal deduction atau personal relief kepada Wajib Pajak. Peraturan Pajak di Amerika Serikat memungkinkan Wajib Pajak mengurangkan biaya sekolah anak, biaya perawatan kesehatan, biaya bunga atas pinjaman rumah hingga pembayaran tunjangan istri (alimony payment). Hal yang sama juga dapat ditemukan di Eropa. Belanda, misalnya, mengijinkan adanya personal deduction bagi WP OP atas bunga pinjaman rumah yang ditempati Wajib Pajak serta biaya medis bagi masalah cacat tubuh.
Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memberikan hal yang sama bagi Wajib Pajak, bahkan kedua negara tersebut sama-sama memberikan personal relief yang cukup lengkap sebagai pengurang pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki anak dengan cacat tubuh. Singapura bahkan mengijinkan Wajib Pajak menerima personal relief khusus bagi Wajib Pajak yang merawat orang tua yang cacat. Jumlah personal relief di Singapura juga dibedakan berdasarkan umur. Malaysia selain memberikan hal-hal yang tersebut diatas, juga memberikan personal relief khusus bagi anak kandung yang cacat dan melanjutkan pendidikan tinggi serta beragam personal relief lainnya termasuk relief atas pendidikan lanjutan bagi Wajib Pajak biasa.
Dapat kita simpulkan bahwa peraturan pajak, khususnya dalam hal PTKP, sudah jauh tertinggal dibanding negara lain serta memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Peraturan yang lebih baik dalam hal PTKP akan sanggup menambah kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal inilah yang perlu dipahami tidak hanya bagi Wajib Pajak tapi juga bagi pemerintah dan hakim di mahkamah konstitusi yang akan memberikan putusannya.
Putusan MK
MK akhirnya mengeluarkan putusan dan menolak gugatan atas PTKP dimana majelis hakim MK menolak uji materi terhadap UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi itu diajukan oleh DR Gustian Djuanda yang berprofesi sebagai dosen STEKPI.
Ketua Majelas Hakim M. Mahfud MD mengatakan permohonan uji materi tersebut tidak dapat dikabulkan karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut.
"Dalil pemohon bahwa pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pasal 9 ayat 1 huruf g UU PPh 2008 bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28B ayat 1, dan pasal 28H ayat 1 UUD 1945 tidak terbukti sehingga oleh sebab itu permohonan tidak beralasan," katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno di gedung MK hari ini.
MK berpendapat bahwa pengaturan PTKP merupakan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang diwajibkan kepada setiap WN tanpa dikaitkan dengan upah minimum.
Kesimpulan
Penulis sendiri tetap berpendapat, seperti yang pernah penulis tulis di postingan sebelumnya bahwa dapat terjadi masalah ketidakadilan dalam PPh OP dan PTKP hanyalah salah satu permasalahan ketidakadilan selain beban istimewa lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa peraturan PPh OP di Indonesia sangat kurang dan berakibat kurangnya penerapan prinsip keadilan bagi WP OP.
Catatan :
Ternyata penulis tidak sendirian dalam hal masalah keadilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, gugatan ini menunjukkan ada yang menganggap bahwa PPh OP mempunyai masalah ketidakadilan Silahkan liat di posting sebelumnya tentang PPh OP dan ketidakadilan pajak
Referensi :
- Besaran PTKP dipermasalahkan, gugatan atas PTKP di mahkamah konstitusi
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00573169/besaran.ptkp.dipermasalahkan
- Ada peluang PTKP dinaikkan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03480286/ada.peluang.ptkp.dinaikkan
- Membayar Pajak tidak perlu kaya dulu serta putusan MK atas uji materi bagi PTKP
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/20/1412240/Dirjen.Pajak.Bayar.Pajak.Tak.Perlu.Kaya.Dulu
- MK tolak uji materi UU PPh
http://news.antara.co.id/arc/2009/3/20/mk-tolak-uji-materi-uu-pph/
- MK tolak permohonan uji materi soal PPh
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id109370.html
Labels:
masalah keadilan,
Orang Pribadi,
PPh,
PPh OP,
WP OP
Wednesday, April 1, 2009
Iklan pajak versi Indonesia dan Luar Negeri
Ternyata You tube menyimpan iklan pajak dari berbagai negara
dari Indonesia
iklan diatas berisi tentang ajakan memiliki NPWP bagi wajib pajak
juga dari negara lain
Uniknya iklan pajak dari Amerika ini menggunakan Donald Duck dengan latar belakang perang dunia ke-2 yang mempunyai nuansa propaganda yang kuat
Sudahkah iklan pajak di Indonesia efektif?
Penulis sendiri berpendapat bahwa iklan pajak telah cukup efektif dengan program sunset policy yang cukup berhasil menjaring WP baru sehingga terjadi peningkatan jumlah WP yang signifikan
dari Indonesia
iklan diatas berisi tentang ajakan memiliki NPWP bagi wajib pajak
juga dari negara lain
Uniknya iklan pajak dari Amerika ini menggunakan Donald Duck dengan latar belakang perang dunia ke-2 yang mempunyai nuansa propaganda yang kuat
Sudahkah iklan pajak di Indonesia efektif?
Penulis sendiri berpendapat bahwa iklan pajak telah cukup efektif dengan program sunset policy yang cukup berhasil menjaring WP baru sehingga terjadi peningkatan jumlah WP yang signifikan
Subscribe to:
Posts (Atom)