Harian Kontan, Kamis 18 September 2014, halaman 23
Visi misi perpajakan seringkali diabaikan atau tidak dipahami oleh pejabat negara, termasuk pemimpin daerah. Dalam pemilu presiden kemarin diungkapkan rencana menaikkan tax ratio menjadi 16% dan kabarnya pemerintah merencanakan terbentuknya badan penerimaan negara untuk menggantikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tulisan ini akan membahas visi misi perpajakan pejabat negara untuk meningkatkan tax ratio dan penerimaan pajak sebagai sumber dana pembangunan.
Tax ratio
Manajemen
perpajakan diperlukan untuk meningkatkan tax ratio yang menurut laporan OECD
tentang Revenue Statistic (2014) adalah sebesar 12.9% di Indonesia di tahun 2012, lebih rendah
dibanding Malaysia 16,7% , Jepang dan
Korea sebesar 26-28% atau bahkan negara
OECD rerata sekitar 34%. Kenaikan tax
ratio, perbandingan antara pajak yang
diterima dengan produk domestik bruto, tentunya dapat meningkatkan penerimaan
pajak.
Dalam laporan Economic Survey tahun 2012, OECD
memberikan rekomendasi perpajakan, diantaranya, meningkatkan jumlah wajib pajak
(WP) dari para pengusaha, meningkatkan sumber daya audit dan peningkatan
penggunaan informasi pihak ketiga untuk melakukan penaksiran kewajiban
perpajakan. Laporan tersebut juga
menjelaskan bahwa penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dari
keseluruhan penerimaan pajak Indonesia adalah sebesar 12% dibandingkan negara
OECD sebesar 52% yang dapat diartikan
bahwa tingkat kepatuhan WP OP masih rendah dimana dilaporkan banyak penghasilan
yang belum dikenakan pajak disimpan di luar negeri.
Informasi
Perpajakan
Dari saran OECD
diatas, sepertinya penggunaan informasi pihak ketiga merupakan hal yang paling
memungkinkan untuk segera dilaksanakan. Pemerintah sebenarnya telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 31
tahun 2012 (PP 31) tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi
Perpajakan yang diterbitkan atas dasar pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan
(KUP) yang menetapkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan
pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara kepada DJP.
Sesuai PP 31
tersebut, pimpinan berbagai asosiasi, menteri dan pejabat di lembaga atau
instansi negara, gubernur, bupati seharusnya sadar akan kewajiban memberikan
informasi perpajakan secara elektronik
kepada DJP. Namun kesadaran tersebut belum ada, dari keterangan KPK, lebih dari 50% perusahaan tambang tidak
membayar pajak sebagaimana seharusnya.
Apabila kewajiban
pemberian data dan Informasi perpajakan tersebut dengan sengaja tidak dipenuhi,
berlaku ketentuan pengenaan sanksi pidana berupa penjara maksimal setahun
berdasarkan pasal 41C UU KUP namun sanksi untuk tidak memenuhi kewajiban
pemberian informasi bagi pejabat negara tidak diatur secara jelas di PP 31.
Informasi
perpajakan untuk DJP berhubungan erat dengan pajak daerah yang didasarkan pada
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah meski pasal 172 UU tersebut tidak mengatur tentang
pemberian informasi perpajakan kepada DJP dan bahkan dapat membatasi pemberian
informasi perpajakan kepada DJP.
Pajak Daerah
Pajak pusat
seperti PPh juga berkaitan dengan kepala
daerah karena PPh terutama PPh OP akan diberikan kepada daerah lewat Dana Bagi
Hasil sesuai UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sehingga seharusnya kepala daerah,
tidak hanya karena PP 31, berkepentingan mendukung pemberian informasi
perpajakan bagi DJP selain karena adanya pemberlakuan Single Identity Number.
Kepala Daerah seperti
gubernur juga berkepentingan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah seperti
pajak kendaraan bermotor hingga pajak rokok atau bupati terhadap pajak hotel ,
pajak hiburan hingga PBB pedesaan perkotaan dan BPHTB dengan informasi
perpajakan.
Dukungan politik
Dukungan politik
dari pejabat negara sangat diperlukan DJP karena pertukaran informasi perpajakan
dari pemda dan badan pemerintah dapat mengungkap perilaku korupsi hingga
pencucian uang sebab dapat dipastikan pelaku tidak akan melaporkan penghasilan
korupsi atau pencucian uang sebagai penghasilan terutang pajak. Belum lama ini
otoritas pajak Jepang menemukan dugaan korupsi
di Indonesia, Uzbekistan dan Vietnam setelah melakukan pemeriksaan pajak
atas perusahaan Jepang dan menemukan pembayaran
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang patut diduga sebagai
uang pelicin. OECD bahkan telah
menerbitkan satu laporan tentang Bribery and Corruption Awareness Handbook
for Tax Examiners and Tax Auditors yang berisi panduan atas permasalahan
korupsi dalam pemeriksaan pajak.
DJP seharusnya dapat
melakukan sinergi atas informasi perpajakan dengan pemda seperti di Belanda
dimana setiap orang asing yang mendapat ijin tinggal di Belanda, akan otomatis
mendapatkan surat himbauan pelaporan pajak yang dikirim ke alamat terdaftar. Di
Belanda pula, para pedagang kaki lima dapat mendapat fasilitas berjualan dari
pemda (gementee) asalkan mereka
membayar PPh dengan benar, dimana hal sama dapat diterapkan di Indonesia untuk
PPh final 1% untuk UKM berupa kerjasama antara pemda dan DJP sehingga para
pedagang mendapat ijin berjualan di pusat perdagangan atau pasar hanya jika mereka membayar PPh dengan benar
dan bila ini terjadi maka Sensus Pajak Nasional tidak diperlukan lagi. DJP dan
Pemda DKI sepertinya dapat memperluas kerjasama pertukaran informasi perpajakan
yang belum lama dibuat tahun ini.
Kerjasama
manajemen informasi perpajakan dapat digunakan untuk mengenakan PPh atas
tambahan kekayaan neto yang belum dilaporkan sebagai penghasilan sesuai pasal
4(1)(p) UU PPh. Di negara lain seperti Amerika Serikat, sistem whistle blower digunakan untuk menerima
laporan penggelapan pajak.
Kesimpulan
Pejabat negara
memerlukan visi misi perpajakan tidak
hanya untuk pajak pusat namun juga pajak
daerah dimana sinergi diperlukan untuk manajemen perpajakan tidak hanya atas
informasi perpajakan tapi juga dukungan politik untuk penegakan aturan pajak dengan hasil akhir
pertambahan penerimaan pajak.
Catatan:
-Tulisan diatas adalah tulisan asli sebelum edit dari redaksi Harian Kontan
-Yang menarik, redaksi tertarik dengan kutipan yang mengatakan bahwa pertukaran informasi antara Pemda dan pemerintah dapat mengungkap korupsi seperti diungkap dalam pojok kiri atas halaman opini
2 comments:
Yang kurang adalah aturan kerahasiaan perbankan bos yang bikin djp ga berkutik..karena pasal 41 uu perbankan bilang kalau mau akses informasi perbankan harus menyebutkan nama wajib pajak...artinya nasabah yang bukan wajib pajak tidak akan tersentuh selamanya..sudah terlalu lama Indonesia jadi surga para pengemplang pajak domestik dan internasional karena tidak dapat diakses informasinya kecuali kita tahu siapa nama nasabahnya dan nasabah tersebut harus wajib pajak.
Untuk kerahasiaan perbankan sudah pernah dibahas di tulisan terdaulu, silakan liat disiji
http://taxationindonesia.blogspot.com/2014/03/offshore-bank-financial-center-dan.html
http://taxationindonesia.blogspot.com/2009/10/offshore-bank-dan-wajib-pajak-indonesia.html
Intinya di negara lain, otoritas pajak diberi kewenangan membuka rekening perbankan bahkana FATCA dan offshore accpount menunjukkan bahwa aturan kerahasiaan perbankan di negara (lain) dapat dibuka untuk pajak
Post a Comment