Thursday, October 20, 2011
Biaya Pengurang Pajak untuk Pajak Penghasilan yang kontroversial
1. Biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense)
Hal ini didasarkan atas Pasal 6 UU PPh yang mengatakan...Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan .....
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan (non deductible expense)Hal ini berdasarkan Pasal 9 UU PPh
Meski Undang-Undang telah menjelaskan adanya biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang namun tetap saja ada permasalahan tentang penggolongan biaya tersebut karena peraturan atau UU Pajak tidak merinci secara jelas dan hal utama yang dipakai adalah 3m yakni mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Permasalahan atas biaya pengurang pajak dapat kita lihat dalam kasus perpajakan di negara lain seperti :
a.Penghasilan Pajak dan Biaya pengurang pajak dari transaksi narkoba
Ada satu kasus di Belanda tentang seorang pelaku kriminal yang tertangkap basah melakukan pengedaran obat terlarang. Cerita bertambah rumit waktu kantor pajak Belanda menyatakan kalau orang tersebut belum membayar pajak dari penjualan narkoba.Memang, pajak tidak mengenal penghasilan haram atau halal, jadi si pelaku harus membayar pajak atas penghasilan yang melanggar hukum sekalipun.Ternyata, terdakwa menyatakan bahwa ia berhak dikenakan pajak atas penghasilan bersihnya, sehingga semua biaya termasuk harga pokok dapat dijadikan pengurang penghasilan pajak. Hasilnya, kantor pajak harus menerima bahwa penghasilan kena pajak dari penjualan narkoba harus memperhitungkan harga beli narkoba serta biaya lain untuk memperoleh penjualan narkoba.
Solusinya, menurut info yang saya dapat, pemerintah belanda merubah peraturan sehingga pajak atas penghasilan dari kejahatan tidak dapat memperhitungkan biaya-biaya lainnya.Sayang di Indonesia, belum ada pelaku kejahatan seperti bandar narkoba atau koruptor yang dipaksa bayar pajak serta peraturan dan penegakan aturan pajak yang belum mendukung
b. Biaya operasi plastik bagi Pekerja Seks Komersial
Di beberapa negara Eropa, Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pekerjaan legal dan mereka juga harus membayar pajak. Nah dalam satu kasus PSK menyatakan bahwa biaya operasi plastik yang ia lakukan dapat dipakai sebagai pengurang pajak penghasilan yang harus ia bayar. Logikanya? Tanpa operasi plastik sukar bagi dia mendapatkan pelanggan.Keputusannya, PSK tersebut dapat menggunakan biaya operasi plastik sebagai biaya pengurang PPh OP
Di luar negeri, termasuk di Singapura dan Malaysia, PPh Orang Pribadi (OP) dapat menggunakan berbagai biaya pengurangan pajak atau terkadang disebut allowance yang tidak semata hanya PTKP seperti di Indonesia yang pernah digugat karena tidak adil.
c. Pembayaran tebusan sebagai pengurang pajak
Hal ini terjadi di India, satu perusahaan harus membayar uang tebusan atas karyawan mereka yang diculik. Saat menghitung PPh Badan, mereka menyatakan bahwa biaya uang tebusan adalah biaya pengurang pajak. Kantor pajak tidak menyetujuinya.Kasus berlanjut sampai ke Pengadilan Pajak yang kemudian memutuskan kalau biaya tebusan seharusnya dapat menjadi pengurang pajak.
d. Biaya sogok atau korupsi dalam bisnis
Sudah menjadi rahasia umum kalau sogok atau korupsi adalah hal yang menjadi kewajiban jika ingin berbisnis terutama dengan pemerintah. Nah bagi pajak, apakah sogokan dan pembayaran korupsi merupakan biaya pengurang pajak.
Seharusnya, menurut penulis, korupsi atau sogokan dapat menjadi biaya pengurang pajak karena tanpa membayarnya sukar mendapatkan proyek pemerintah di Indonesia.
=====
Di dunia ada beberapa cerita aneh tentang Tax Deduction teraneh seperti dimuat laman berikut. Di Amerika Serikat, pemerintah membuat peraturan yang jelas atas pengurang pajak seperti bisa dilihat di sini dan disini.
Jelas peraturan pajak di Indonesia, tidak hanya atas UU namun secara keseluruhan tidak mengatur dengan jelas tentang biaya pengurang pajak.
Thursday, October 13, 2011
Sensus Pajak Nasional -Satu Analisa
Pemerintah menjalan Sensus Pajak Nasional (SPN) untuk menggali data dari masyarakat khususnya Wajib Pajak. SPN dijalankan untuk menghimpun data atau basis perpajakan yang lebih baik dan akan dilakukan di seluruh pelosok negeri secara serentak dan secara resmi akan dimulai tanggal 30 September berdasarkan siaran pers dari Dirjen Pajak.
Jelas tingkat pembayaran pajak di Indonesia rendah berdasarkan kenyataan berikut :
- Di negara maju, persentase penerimaan terbesar adalah dari pajak penghasilan orang pribadi. Di Indonesia, penerimaan PPh OP kalah jauh dari PPh Badan
- Data perpajakan di Indonesia belum bagus karena data kependudukan belum jelas, di negara lain dengan nomor jaminan sosial atau single identity number, sukar sekali menghidari pajak.
- Data terintegrasi antara kantor pajak dengan kantor catatan sipil atau pemerintah daerah belum terlaksana.
Dasar hukum
Pemerintah berdasarkan UU KUP, Pasal 35A, Dirjen Pajak diberikan kuasa untuk menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara. Bahkan pihak yang tidak memberikan informasi yang diminta dapat dikenakan sanksi pidana, menurut Pasal 41C, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan hingga satu tahun dan denda maksimal satu milyar rupiah.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Semoga ini dasar hukum yang digunakan pemerintah dan benar-benar diterapkan karena mungkin banyak orang yang tidak menyadari wewenang Dirjen Pajak mengumpulkan data dan keterangan. Juga karena selama ini banyak yang belum menjadi Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 35A tersebut, wewenang Dirjen Pajak juga sangat besar meski dibatasi oleh UU untuk merahasiakan data tersebut.
Untuk mendukung SPN, pemerintah menerbitkan PMK No. 149/PMK.03/2011 tentang Sensus Pajak Nasional yang menjelaskan bahwa alasan SPN diantaranya adalah untuk dalam rangka pendataan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan guna memperluas basis pajak, perlu dilakukan pengumpulan data berbasis objek pajak. Jadi seakan alasan SPN yang utama adalah PBB dan bukan PPh OP.
Jika penekanan data SPN adalah PPh OP, pemerintah dapat menggunakan data tersebut untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak atau orang pribadi yang belum mempunyai NPWP tapi seharusnya sudah membayar pajak.
Berdasarkan Pasal 4(1)(p) UU PPh, tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak termasuk penghasilan kena pajak. Jadi jika WP atau orang yang belum ber-NPWP berdasarkan data SPN mempunyai rumah mewah dan mobil mewah namun belum bayar pajak bisa saja pemerintah menerbitkan ketetapan pajak kurang bayar atas penghasilan yang belum dilaporkan.
Data yang diminta
Dalam satu situs pajak, bahkan dijelaskan dengan satu contoh file, apa saja data yang diminta dan dikumpulkan. Ternyata datanya serupa atau mirip dengan data dari Formulir Pendaftaran NPWP.
SPN sangat baik untuk mengumpulkan data Wajib Pajak namun usaha lain tetap diperlukan seperti membangun koneksi database kependudukan dengan database perpajakan sehingga pendaftaran NPWP tidak diperlukan lagi secara formal karena digunakannya data kependudukan berupa single identity number.
Dalam tulisan terdahulu pernah dijelaskan bagaimana residen di Belanda bisa langsung menerima surat dari kantor pajak tanpa melapor ke kantor pajak sama sekali.
Belajar Transfer Pricing
Banyak orang yang belum paham Transfer Pricing, artikel berikut menjelaskan secara sederhana bagaimana satu perusahaan pisang melakukan Transfer Pricing.
Dari ilustrasi menarik ini kita dapat melihat bagaimana Transfer Pricing digunakan oleh perusahaan pisang di Inggris untuk menghindari pajak, penentuan harga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, royalty, trademark hingga intra –group services.
Berdasarkan sejarah, transfer pricing mulai dibuat dalam ketentuan perpajakan di Inggris yang digunakan untuk mengamankan penerimaan pajak, jadi penggambaran perusahaan pisang di atas bisa jadi satu gambaran nyata.
Dari gambaran perusahaan pisang tersebut, pemerintah, lewat Dirjen Pajak dapat menerapkan harga wajar atas harga beli, harga jual hingga pembayaran atas intra-group service.
Di Indonesia?
Mungkin kalau di Indonesia bisa digambarkan seperti telepon pintar yang diproduksi oleh perusahaan di Cina sana, namun barang dijual oleh perusahaan dagang berkedudukan di Hong Kong sedang server berlokasi di Amerika serta layanan pendukung seperti marketing dan customer service ada di Singapura. Selain itu holding company juga berada di beberapa negara, dari Belanda, Luxembourg hingga Swiss. Kepemilikan atas merek, teknologi dapat saja berada di beberapa negara yang menawarkan insentif pajak tertentu atau juga financial offshore center. Hal ini hanyalah contoh sederhana dari permasalahan transfer pricing.