Tuesday, March 31, 2009

Humor : Pelaporan aktiva di SPT PPh OP




Seperti inikah juga cara pandang petugas pajak di Indonesia melihat aktiva yang baru dilaporkan dalam SPT Tahunan?

Belum lama ini WP di Indonesia sibuk melaporkan hartanya di SPT Tahunan PPh OP...
banyak yang baru pertama kali melaporkan hartanya di SPT

Silakan merenung... :-P

Humor diambil dari web ini
Silakan lihat juga artikel pelaporan aktiva

Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Masalah Keadilan

Sudah anda merasa Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) memberi keadilan? Apa saja permasalahan keadilan? Bagaimana pemecahannya?


Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) adalah potensi besar untuk penerimaan negara yang belum banyak tersentuh. Di negara lain bahkan penerimaan pajak terbesar berasal dari penerimaan pajak orang pribadi, satu hal yang belum terwujud di Indonesia karena potensi penerimaan pajak orang pribadi yang belum digali. Perlu diingat, pemerintah telah terus berusaha meningkatkan jumlah WP OP


Namun apakah penggalian potensi oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak akan menimbulkan masalah keadilan di kemudian hari adalah satu masalah yang perlu segera dipecahkan bagi pembayar pajak agar tidak menimbulkan permasalahan lain di kemudian hari dengan contoh nyata dalam penerapan PTKP serta wajib pajak dengan keadaan khusus.


Apa saja masalah penerapan keadilan dalam PPh OP yang sedang dan dapat terjadi? Serta bagaimana pemecahan permasalahan keadilan itu? Bagaimana dengan penerapan keadilan di negara lain?


Keadilan bagi Wajib Pajak

Perlu diingat adanya prinsip atau teori gaya pikul . Teori ini menjelaskan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang dan untuk mengukurnya selain dapat mempergunakan penghasilan dan kekayaan, juga dapat menggunakan pengeluaran dan pembelanjaan seseorang.


Permasalahan Keadilan

Peraturan perpajakan tentang PPh OP yang ada sangat terbatas, hal ini karena adanya keadaan yang sangat beragam antara WP OP. Contoh yang ada yakni beban istimewa bagi WP, hal ini juga menyatakan bahwa adanya perbedaan karena beban istimewa itu, R. Santoso Brotodihardjo, SH dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak yang telah menjadi buku klasik karena merupakan buku pertama yang mengkaji hukum pajak dalam bahasa Indonesia (diterbitkan tahun 1958) menjelaskan salah satu contoh ketidakadilan yang mungkin terjadi dalam pengeluaran WP atas biaya kesehatan karena penyakit. Hal ini meski sudah bisa dilakukan sejak puluhan tahun lalu di Belanda, sampai saat ini belum bisa dilakukan di Indonesia


Contoh lainnya dapat dilihat dari WP OP yang harus mengeluarkan biaya pendidikan lanjutan, biaya pengasuhan anak dll. Biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan. Kita juga dapat melihat bahwa penyandang cacat tidak dapat mengurangkan biaya-biaya tertentu sebagai penyandang cacat


Negara Lain

Disaat negara lain seperti Singapura dan Malaysia telah memberikan personal relief atau allowance yang lengkap, seperti personal relief yang membedakan umur pembayar pajak, tidak seperti PTKP yang menyamaratakan WP, relief untuk penyandang cacat, alllowance untuk pendidikan profesi.


Jika masalah ini tidak dipecahkan, dapat terjadi masalah ini akan menjadi sengketa pajak di masa mendatang. Perlu diingat bahwa prinsip keadilan yang lebih baik dapat meningkatkan partisipasi WP dalam membayar pajak.


Catatan :

Tulisan ini telah dimuat di majalah Inside Tax, Oktober 2008. Tulisan lengkap dapat dilihat di majalah tersebut. Saat ini di tahun 2009 jumlah WP OP meningkat tajam sehingga peraturan yang lebih baik dan menerapkan prinsip keadilan bagi PPh OP sangat diperlukan,

Thursday, February 26, 2009

Pelaporan Harta dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

Sehubungan gencarnya gaung sunset policy yang dikampanyekan Wajib Pajak, banyak Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) melaporkan asset yang mereka miliki dan berharap adanya “pemutihan pajak” akan asset yang dilaporkan dalam SPT mereka baik dalam SPT yang baru mereka masukkan atau SPT Pembetulan. Benarkah pemutihan itu dan bagaimana peraturan pajak sehubungan dengan kepemilikan asset tersebut? Tulisan ini akan menyorot baik dari Sunset yang berakhir February 2009 ini dan peraturan perpajakan secara umum terutama perlakuan pajak atas asset yang telah dilaporkan tersebut.

A. Penambahan Aktiva (Harta)
- Penambahan aktiva dapat dihitung sebagai penghasilan yang belum dilaporkan pajak,
Misal : Tuan Hartono mempunyai penambahan harta di tahun 2007 berupa tanah sebesar 100 juta sedang penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP hanya 50 juta, Hal ini dapat dijadikan dasar penghasilan yang belum dilaporkan. Dasar hokumnya contohnya adalah pasal 4(1)(p) UU Pajak Penghasilan.

- Penambahan aktiva yang tidak dihitung sebagai penghasilan yang belum dilaporkan pajak
a. Dapat terjadi seseorang menerima warisan dari orang tuanya, yang berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak, namun syaratnya adalah berasal dari orang tua kandung, lihat pasal 4(3)(a)(1) dari UU Pajak Penghasilan

b. Bila akumulasi penghasilan dari tahun sebelumnya masih memungkinkan untuk menambah aktiva tersebut
Misal : Cynthia Sumuk melaporkan penghasilan dalam SPT Tahunan PPh OP dari tahun 2000 hingga 2005 sebesar 500 juta, sehingga adalah normal jika Cynthia yang penyanyi ini membeli rumah seharga 150 juta di tahun 2005.

B. Penurunan Jumlah Aktiva (Harta)
- Aktiva berkurang karena dijual
a. Tanah dan atau bangunan
Untuk aktiva tanah dan atau bangunan, penghasilan berupa PPh Final jadi sudah dikenakan dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lainnya

b. Aktiva bergerak seperti kendaraan
Untuk penjualan aktiva ini, dapat terutang pajak atas laba dari penjualan aktiva, meski sangat jarang kendaraan dijual lebih tinggi dari harga perolehannya karena sangat besar kemungkinan harganya akan menurun setelah pembelian

C. Bebas Pajak sepenuhnya karena daluarsa
Sebenarnya jika aktiva diperoleh lebih dari 10 tahun, pihak pajak tidak berwenang lagi menagih pajak yang terutang, jika ada penghasilan yang belum dilaporkan. Inilah yang dimaksud daluarsa pajak, lihat pasal 22 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Oleh karenanya jika ada WP yang melaporkan aktiva yang ia peroleh tahun 1990 atau bahkan tahun 1980-an ia sudah bebas pajak atas aktiva yang ia laporkan tersebut.

Semoga memberi pencerahan, ah melapor pajak, siapa takut???
Catatan :
Tulisan ini dibuat karena beberapa orang bertanya kepada penulis tentang pelaporan aktiva dalam SPT Tahunan OP

Tuesday, January 27, 2009

Pentingnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Orang Pribadi

NPWP telah menjadi satu bahan omongan yang popular setelah munculnya program Sunset Policy oleh Dirjen Pajak. Seberapa pentingkah NPWP tersebut?
Dalam Undang-Undang KUP, di pasal 1, NPWP dijelaskan sebagai berikut:
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Wajib Pajak (WP), berdasarkan pasal 2 UU KUP, yang telah memenuhi persyaratan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Dalam UU PPh yang baru malah terdapat tarif pajak yang lebih tinggi, dalam pasal 21, untuk WP yang tidak mempunyai NPWP.

Keuntungan memiliki NPWP
Selain tarif pajak yang lebih rendah sepertinya disebut diatas, sejak tahun 2009 WP dibebaskan dari kewajiban membayar fiskal pada saat ia berangkat keluar negeri. Kartu NPWP dalam prakteknya menjadi satu identitas yang penting yang dapat memberi begitu banyak kemudahan bagi WP

Pentingnya NPWP
Sepenting itukah NPWP? Bagaimana dengan fungsi NPWP di negara lain? Ternyata di negara lain, NPWP tidak diperlukan. Seorang yang memiliki kewajiban pajak tidak perlu memiliki NPWP. Ini dikarenakan adanya sistem kependudukan terintegrasi. Disinilah terlihat perlunya Single Identification Number (SIN) yang serupa dengan social security number. Meski dahulu pernah ada inisiatif dari Dirjen Pajak untuk proyek SIN, sekarang kita hanya bisa berharap agar Depdagri dapat segera menyelesaikan sistem kependudukan yang baik.

Seandainya sistem telah tercipta baik, seorang WP tidak perlu lagi bersusah payah untuk memperoleh NPWP karena data WP berupa nomor kependudukan tunggal dapat langsung dilihat oleh pihak otoritas pajak sehingga WP juga makin sulit melakukan penggelapan pajak meski di sisi lain bahkan termasuk dapat meredam kebingungan sebagian WP yang ingin mendapatkan bebas fiskal namun kuatir tidak bisa mendapatkannya karena merasa NPWP yang dimilikinya adalah NPWP karyawan walaupun dalam ketentuan pajak tidak terdapat istilah NPWP karyawan.

Sepertinya dalam beberapa tahun mendatang NPWP tidak akan lagi mempunyai nilai yang sepenting sekarang karena akan adanya penerapan SIN oleh pemerintah yang menugaskan departemen dalam negeri untuk membuat database kependudukan. Hal ini tentu akan sangat memudahkan pemerintah untuk menguji kepatuhan WP sehingga dengan database yang nanti ada akan sangat sukar bagi WP untuk menyembunyikan kekayaannya. Dengan memasukkan nomor identitas tunggal kependudukan, Dirjen Pajak dapat dengan mudah mengetahui kekayaan WP seperti rumah dan kendaraan bahkan mungkin hingga frekuensi kunjungan keluar negeri sehingga sukar bagi WP untuk menghindari pajak. Namun sampai saat ini, NPWP dapat dipastikan akan memegang peranan penting bagi WP karena data kependudukan beridentitas tunggal belum dapat diselesaikan pemerintah.

Wednesday, November 26, 2008

Transfer Pricing in Indonesia after 2008

In the latest amendment of Income Tax Law this year, eventually the government, as we could see in article 18, acknowledges transfer pricing methods: (i)comparable uncontrolled price method, (ii)resale price method), (iii)cost plus method, (iv)profit split method, and (v)transactional net margin method. Previously, these methods were mentioned in ‘outdated’ circular letter that predates the Income Tax Law 1994 and it could also be questioned since circular letter is binding merely for the tax authority.

The amendment also explains the Advance Pricing Arrangement, purchase through special purpose company (SPV), and the use of conduit company. Nevertheless, further details would be regulated by a decree of Finance Minister. It should be noted that a decree might need review and receive feedback before it could be applicable for the taxpayers. Furthermore, we need to see whether the government, after the amendment, would be more strict in transfer pricing practice for multinational companies since the transfer pricing practice in Indonesia is commonly accused as a means for transferring profit to low tax jurisdiction out of Indonesia

Saturday, October 25, 2008

New Income Tax Act 2008 and its impact on companies

After the government revised the Income Tax Act in 2008, we might need to think of the tax consequences of the change found in this newly published Act. Companies would obviously need to consider how the revision affects their tax obligation. The impact would indeed be more than just the tax rate that is surprisingly flat for the companies namely 28 % but also other changes in the new Income Tax Act

Permanent Establishment (PE), or translated as Bentuk Usaha Tetap (BUT), now has different criterias as we could see in article 2. The new classification could make the meaning of PE have different interpretation than other countries such as the last part of the definition of PE about computer.

The change of deductible expenses, as we could see in article 6, allows the company to deduct a few kinds of expenses which were previously non deductible as we see in the deductible donation though the government regulation is needed as the elucidation for that matter.

As a matter of fact, the revision is too general and some articles require further regulation of certain matters by either the government or the finance minister by publishing the governmental decree or a decree from the finance minister. Thus, we might need to take wait-and-see attitude after the revision of this Income Tax Act and, at the same time. hope that the further regulation would be introduced before that decree becomes legally applicable.

This posting is aimed to give general idea about the revision of Income Tax Act recently, hence broad details are in need to define the tax consequences for the companies after the revision. In other words, specific business sectors could have specific tax consequences though we might need government’s regulation on specific subject in the revision.

Here’s the Indonesian version that is originally made by Google Translate though it has been edited due to some grammatical errors
============================
Setelah pemerintah merevisi Undang-Undang PPh di tahun 2008, kita mungkin perlu berpikir tentang konsekuensi pajak dari perubahan yang ditemukan dalam Undang-undang baru tersebut. Perusahaan akan jelas perlu mempertimbangkan bagaimana revisi mempengaruhi kewajiban pajak mereka. Dampaknya akan menjadi lebih dari hanya tarif pajak yang flat untuk perusahaan yaitu sebesar 28% tetapi juga perubahan lain dalam Undang-undang PPh yang baru.

Permanent Establishment (PE), atau diterjemahkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), sekarang memiliki berbagai kriteria seperti yang kita dapat lihat dalam pasal 2. Klasifikasi baru dapat membuat pengertian dari PE memiliki interpretasi yang berbeda dibandingkan negara lain seperti bagian terakhir definisi PE tentang komputer.

Perubahan dalam pengertian biaya-biaya yang dapat dikurangkan, seperti yang kita dapat lihat dalam pasal 6, memungkinkan perusahaan untuk mengurangkan beberapa jenis pengeluaran yang sebelumnya tidak dapat dikurangi tidak dapat dibiayakan seperti yang kita lihat dalam sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan walaupun peraturan pemerintah diperlukan sebagai penjelasan untuk hal tersebut.

Sebagai kenyataan, revisi dalam UU PPh terlalu umum dan beberapa artikel memerlukan peraturan lebih lanjut dari hal-hal tertentu oleh pemerintah atau menteri keuangan melalui penerbitan peraturan pemerintah atau peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, kita mungkin perlu mengambil sikap menunggu setelah revisi UU PPh ini. Diharapkan agar peraturan lebih lanjut akan diperkenalkan sebelum peraturan tersebut diberlakukan.

Posting ini ditujukan untuk memberikan ide umum mengenai revisi Undang-undang PPh baru-baru ini, oleh karenya rincian yang luas diperlukan untuk mendefinisikan konsekuensi pajak bagi perusahaan setelah revisi. Dengan kata lain, sektor usaha tertentu dapat memiliki konsekuensi pajak tertentu walaupun kita mungkin perlu menunggu regulasi pemerintah pada subjek tertentu yang diatur dalam revisi.

Thursday, October 2, 2008

Hedging Transaction dan Perlakuan Pajak di Indonesia



Paper for Financial Instruments

Beberapa bulan yang lalu, beberapa pihak mempermasalahkan transaksi hedging yang dilakukan oleh Indosat, satu perusahaan telekomunikasi ternama di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan antara Indosat dengan pihak induk perusahaan di Singapura. Permasalahan menjadi rumit karena beberapa pihak membawanya menjadi semacam permasalahan politik sejak pihak parlemen turut berkomentar


Banyak pihak bertanya-tanya tentang transaksi hedging, apakah benar transaksi hedging yang dilakuan tersebut benar-benar satu penghindaran pajak, pengertian dari hedging menurut pajak dan sejauh mana hedging dapat dilakukan sehingga dapat diakui oleh pihak pajak. Inilah satu alasan yang mendorong penulisan “hedging transaction and tax treatment”. Tulisan yang telah diterbitkan di majalah Inside Tax ini menjelaskan pemahaman dari transaksi hedging


Paper for Financial Instruments

Untuk memahami transaksi hedging, kita dapat melihat IAS (International Accounting Standard) 32 dan 39 yang saling berhubungan dan paling sering menjadi referensi dalam hedge accounting. Hedging sendiri dibagi oleh IAS menjadi Fair Value Hedge, Cash Flow Hedge, dan Hedges of a net investment in a foreign entity. IAS juga menjelaskan persyaratan agar satu transaksi dapat diklasifikasikan sebagai hedging.

Perlakuan pajak terutama akan menyoroti apakah transaksi hedging akan menghasilkan laba atau kerugian. Satu hal yang menjadi sorotan adalah kemungkinan hedging dilakukan sebagai satu bentuk spekulasi sehingga pihak pajak mungkin menolak kerugian yang dilaporkan dari wajib pajak atas transaksi hedging.

Dengan semakin diterima IAS sebagai satu standard di seluruh dunia termasuk di Indonesia, pemahaman akan IAS sebagai pedoman untuk memahami transaksi hedging akan menjadi semakin penting.

Catatan : artikel lengkap bisa dilihat di majalah Inside Tax edisi Juni 2008