Bentuk Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD) yang baru dalam Peraturan Dirjen Pajak No.61/PJ.2009 dijadikan menjadi satu bentuk yang baku.
Beberapa pihak menjadi kuatir apakah kantor pajak di negara lain mau menerima bentuk baku SKD yang diminta pemerintah Indonesia.
Untuk itu perlu kita melihat bentuk SKD yang dibuat oleh otoritas pajak di negara lain dan membandingkan dengan bentuk SKD yang diminta oleh Dirjen Pajak.
1. Inggris
Bentuk baku SKD yang diminta HM Revenue & Customs di Inggris tampak serupa dengan bentuk SKD di Indonesia.
SKD di Inggris memiliki kolom untuk tax adviser. Bahkan juga terdapat bagian nomor telepon Wajib Pajak
Bagian B dari SKD di Inggris juga memiliki pertanyaan yang serupa dengan SKD di Indonesia
2. Irlandia
SKD Irlandia tampak lebih sederhana tidak ada pertanyaan yang rinci seperti bagian IV dari Form DGT-1 namun secara umum serupa dengan SKD di Indonesia.
3. Amerika Serikat
Formulir SKD menggunakan pengertian beneficial owner dan tidak memerlukan otorisasi pajak dari negara Treaty Partner namun meminta NPWP dari beneficial owner di negara asal, alamat tidak dimungkinkan berupa kotak pos. Formulir SKD juga menjelaskan klaim dari Tax Treaty bagi Wajib Pajak bersangkutan
Secara singkat, Formulir SKD di Indonesia tampak mirip dengan Formulir SKD di negara lain. Ini satu kemajuan, dan seharusnya otoritas pajak di negara lain dapat dengan mudah mengesahkan SKD yang diminta Dirjen Pajak.
Thursday, November 26, 2009
Monday, November 16, 2009
Tax Treaty Abuse (Part 2) – Penyalahgunaan P3B dan Special Purpose Vehicle
Melanjutkan posting sebelumnya, PER 62 ternyata dapat berpengaruh pada beberapa badan yang didirikan semata-mata untuk mengambil keuntungan dari Tax Treaty atau P3B diantaranya :
a. Special Purpose Vehicle (SPV) yang didirikan untuk penerbitan obligasi
SPV yang didirikan untuk mendukung penerbitan obligasi atau surat hutang ke luar negeri. SPV didirikan untuk mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah dari 20% menjadi 10% atau bahkan hingga 0%.
Negara yang paling umum digunakan sebagai lokasi SPV adalah Belanda yang, berdasarkan Tax Treaty, memungkinkan tarif pajak sebesar 0%.
Dengan adanya pasal 4(5) dari PER 62, Dirjen Pajak dapat menolak keuntungan Tax Treaty yakni tarif pajak sebesar 0% atas SPV di Belanda. Dapat saja terjadi bahkan tarif pajak sebesar 10% sesuai Tax Treaty Indonesia – Belanda tidak dapat diterapkan karena ketentuan pasal 4(5) tersebut yang berbunyi bahwa perusahaan yang memenuhi persyaratan atas memenuhi persyaratan P3B adalah :
- tidak didirikan semata-mata untuk pemanfaatan P3B
- dikelola oleh manajemen sendiri
- mempunyai pegawai
- penghasilan yang terutang di Indonesia terkena pajak di negara penerima penghasilan
- tidak menggunakan lebih dari 50% dari penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk bunga, royalty atau imbalan lainnya.
Salah satu contoh terkenal tentang SPV dan beneficial owner adalah kasus Indofood yang menerbitkan obligasi lewat SPV di Mauritius dan kemudian lewat SPV di Belanda setelah Tax Treaty dengan Mauritius dibatalkan pemerintah Indonesia.
b. Holding Company
Pemerintah dapat saja menggunakan PER 62 untuk menolak keuntungan Tax Treaty atas Holding Company yang didirikan semata-mata untuk berinvestasi di Indonesia terutama holding company yang hanya berupa perusahaan perantara.
Contohnya adalah investor asal negara yang tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia namun mendirikan perusahaan perantara di negara Treaty Partner untuk berinvestasi di Indonesia. Demikian juga halnya dengan investor asal Indonesia yang mendirikan perusahaan perantara untuk berinvestasi di Indonesia.
Kesimpulan :
Pendirian SPV untuk pendirian obligasi dapat mengalami permasalahan karena Dirjen Pajak dapat menolak penerapan Tax Treaty berdasarkan PER 62. Demikian juga dengan perusahaan perantara yang didirikan semata-mata untuk berinvestasi di Indonesia. Permasalahan akan bertambah jika pemerintah dapat menggunakan ketentuan pertukaran informasi berdasarkan Tax Treaty.
a. Special Purpose Vehicle (SPV) yang didirikan untuk penerbitan obligasi
SPV yang didirikan untuk mendukung penerbitan obligasi atau surat hutang ke luar negeri. SPV didirikan untuk mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah dari 20% menjadi 10% atau bahkan hingga 0%.
Negara yang paling umum digunakan sebagai lokasi SPV adalah Belanda yang, berdasarkan Tax Treaty, memungkinkan tarif pajak sebesar 0%.
Dengan adanya pasal 4(5) dari PER 62, Dirjen Pajak dapat menolak keuntungan Tax Treaty yakni tarif pajak sebesar 0% atas SPV di Belanda. Dapat saja terjadi bahkan tarif pajak sebesar 10% sesuai Tax Treaty Indonesia – Belanda tidak dapat diterapkan karena ketentuan pasal 4(5) tersebut yang berbunyi bahwa perusahaan yang memenuhi persyaratan atas memenuhi persyaratan P3B adalah :
- tidak didirikan semata-mata untuk pemanfaatan P3B
- dikelola oleh manajemen sendiri
- mempunyai pegawai
- penghasilan yang terutang di Indonesia terkena pajak di negara penerima penghasilan
- tidak menggunakan lebih dari 50% dari penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk bunga, royalty atau imbalan lainnya.
Salah satu contoh terkenal tentang SPV dan beneficial owner adalah kasus Indofood yang menerbitkan obligasi lewat SPV di Mauritius dan kemudian lewat SPV di Belanda setelah Tax Treaty dengan Mauritius dibatalkan pemerintah Indonesia.
b. Holding Company
Pemerintah dapat saja menggunakan PER 62 untuk menolak keuntungan Tax Treaty atas Holding Company yang didirikan semata-mata untuk berinvestasi di Indonesia terutama holding company yang hanya berupa perusahaan perantara.
Contohnya adalah investor asal negara yang tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia namun mendirikan perusahaan perantara di negara Treaty Partner untuk berinvestasi di Indonesia. Demikian juga halnya dengan investor asal Indonesia yang mendirikan perusahaan perantara untuk berinvestasi di Indonesia.
Kesimpulan :
Pendirian SPV untuk pendirian obligasi dapat mengalami permasalahan karena Dirjen Pajak dapat menolak penerapan Tax Treaty berdasarkan PER 62. Demikian juga dengan perusahaan perantara yang didirikan semata-mata untuk berinvestasi di Indonesia. Permasalahan akan bertambah jika pemerintah dapat menggunakan ketentuan pertukaran informasi berdasarkan Tax Treaty.
Labels:
SPV,
tax avoidance,
tax planning,
tax treaty
Friday, November 13, 2009
Tax Treaty, Penerapan P3B dan Pencegahan Penyalahgunaan P3B
Bagaimana cara penerapan Tax Treaty bagi Wajib Pajak Indonesia serta cara penerapan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD). Apakah yang dimaksud dengan Conduit Company, Beneficial Owner, Substance over form dalam Tax Treaty?
Pemerintah dalam peraturan terbaru, Peraturan Dirjen Pajak No.61/PJ.2009 dan Peraturan Dirjen Pajak No.62/PJ.2009 menjelaskan tentang hal-hal tersebut
Peraturan Dirjen Pajak No.61/PJ.2009 (PER 61)
PER 61 mengatur cara penerapan SKD saat pemotong pajak, Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) menyerahkan penghasilan ke WP LN.
Ada hal yang baru seperti Kustodian di pasal 4 yang berurusan dengan transaksi efek (sekuritas). PER 61 mengatur tentang SKD atas penghasilan dari Kustodian
PER 61 menetapkan bentuk formal SKD yang dibedakan antara
(1) Bentuk Umum yang terdiri dari 6 bagian
(2) SKD untuk perbankan dan Kustodian di Bursa Efek
PER-61 secara tidak langsung menggantikan SE - 03/PJ.101/1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda P3B meski sebenarnya tidak berhubungan langsung karena SE 03 bukanlah satu produk hukum
Yang perlu dikritisi adalah :
1. Lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh SKD, jika SKD disampaikan melewati batas waktu penyampaian SPT Masa maka SKD tersebut tidak diterima
2. SKD tidak dibuat khusus untuk satu Wajib Pajak tapi dibuat terpisah berdasarkan pemberi penghasilan di Indonesia sehingga satu pemberi penghasilan mempunyai satu SKD untuk satu tahun pajak. Jadi pertanyaan juga apakah Competent Authority di negara lain sudah familiar dengan formulir baku ini?
Peraturan Dirjen Pajak No.62/PJ.2009 (PER 62)
PER 62 berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan P3B.
Meskipun dijelaskan dalam PER tersebut tentang Agen, Nominee, Conduit Company, Beneficial Owner, Substance over form namun ada pertanyaan kritis :
1. Tidak menyebut adanya prosedur pertukaran informasi untuk mengetahui apakah Wajib Pajak Luar Negeri tersebut benar atau siapa beneficial owner dari perusahaan luar negeri tersebut.
2. Dengan adanya apa yang disebut secrecy jurisdictions, yang secara singkat dapat dikatakan tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan atas perusahaan yang berlokasi di satu negara, adalah satu masalah dan tidak mudah bagi Dirjen Pajak untuk mengetahui penyalahgunaan P3B. Contohnya :
Perusahaan perantara yang dibentuk di Treaty Partner yang didirikan investor dari negara lain atau bahkan oleh investor dari Indonesia sendiri.
Kesimpulannya : peraturan terbaru ini sudah merupakan satu kemajuan namun belum sempurna dalam penerapan Tax Treaty.
Pemerintah dalam peraturan terbaru, Peraturan Dirjen Pajak No.61/PJ.2009 dan Peraturan Dirjen Pajak No.62/PJ.2009 menjelaskan tentang hal-hal tersebut
Peraturan Dirjen Pajak No.61/PJ.2009 (PER 61)
PER 61 mengatur cara penerapan SKD saat pemotong pajak, Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) menyerahkan penghasilan ke WP LN.
Ada hal yang baru seperti Kustodian di pasal 4 yang berurusan dengan transaksi efek (sekuritas). PER 61 mengatur tentang SKD atas penghasilan dari Kustodian
PER 61 menetapkan bentuk formal SKD yang dibedakan antara
(1) Bentuk Umum yang terdiri dari 6 bagian
(2) SKD untuk perbankan dan Kustodian di Bursa Efek
PER-61 secara tidak langsung menggantikan SE - 03/PJ.101/1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda P3B meski sebenarnya tidak berhubungan langsung karena SE 03 bukanlah satu produk hukum
Yang perlu dikritisi adalah :
1. Lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh SKD, jika SKD disampaikan melewati batas waktu penyampaian SPT Masa maka SKD tersebut tidak diterima
2. SKD tidak dibuat khusus untuk satu Wajib Pajak tapi dibuat terpisah berdasarkan pemberi penghasilan di Indonesia sehingga satu pemberi penghasilan mempunyai satu SKD untuk satu tahun pajak. Jadi pertanyaan juga apakah Competent Authority di negara lain sudah familiar dengan formulir baku ini?
Peraturan Dirjen Pajak No.62/PJ.2009 (PER 62)
PER 62 berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan P3B.
Meskipun dijelaskan dalam PER tersebut tentang Agen, Nominee, Conduit Company, Beneficial Owner, Substance over form namun ada pertanyaan kritis :
1. Tidak menyebut adanya prosedur pertukaran informasi untuk mengetahui apakah Wajib Pajak Luar Negeri tersebut benar atau siapa beneficial owner dari perusahaan luar negeri tersebut.
2. Dengan adanya apa yang disebut secrecy jurisdictions, yang secara singkat dapat dikatakan tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan atas perusahaan yang berlokasi di satu negara, adalah satu masalah dan tidak mudah bagi Dirjen Pajak untuk mengetahui penyalahgunaan P3B. Contohnya :
Perusahaan perantara yang dibentuk di Treaty Partner yang didirikan investor dari negara lain atau bahkan oleh investor dari Indonesia sendiri.
Kesimpulannya : peraturan terbaru ini sudah merupakan satu kemajuan namun belum sempurna dalam penerapan Tax Treaty.
Labels:
rules,
tax planning,
tax treaty,
transfer pricing
Subscribe to:
Posts (Atom)