Base Erosion and Profit Shifting, apa pengaruhnya
bagi Indonesia?
Oleh : Andreas
Adoe[1]
Perusahaan
multinasional seperti Google, Amazon, Starbucks, Microsoft dalam dua tahun
terakhir menjadi sorotan karena
penghindaran pajak.[2] Sorotan
terjadi karena masalah ketidakadilan dan etika karena mereka tidak melanggar
hukum. Yang menjadi pertanyaaan, apakah hal yang turut dibahas para pemimpin
negara-negara G20 menjadi relevan di Indonesia atau negara berkembang lainnya
serta permasalahan apa yang harus dihadapi.
Google yang mendirikan
anak perusahaan di Irlandia,[3]
Amazon yang mendirikan perusahaan perantara di Luxembourg untuk pasar Eropa dan
penjualan e-commerce hingga Starbucks
yang menyalurkan bahan baku lewat perusahaan perantara di Swiss[4] adalah contoh salah satu contoh struktur yang banyak
dibuat untuk menghindari pajak. Di Indonesia, banyak investasi dilakukan dengan
mendirikan holding company di Belanda, Singapura hingga Mauritius.[5]
Dalam beberapa contoh, perusahaan multinasional mampu meminimalkan atau bahkan
menihilkan, atau double non taxation,
dalam hal penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, capital gain, jasa atau penghasilan lainnya.
Laporan BEPS
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), seperti contoh diatas, menjadi permasalahan
karena base erosion berarti berkurangnya pendapatan pajak yang mengancam kewenangan perpajakan dan
keadilan perpajakan di banyak negara dengan cara profit shifting.[6]
Masalah BEPS menunjukkan adanya kekurangan dalam peraturan perpajakan antar
negara yang banyak bersandar pada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B),
atau juga dikenal sebagai tax treaty, yang mengatur hak pemajakan antar negara
dan banyak mengacu pada model atas tax treaty yang dikeluarkan oleh OECD
(Organisation for Economic Co-operation and Development).[7]
BEPS juga menunjukkan kekurangan atas peraturan pajak dalam negeri yang
mengatur tentang perpajakan internasional termasuk peraturan atas penghindaran
pajak (anti-avoidance rule) dan
peraturan transfer pricing.
Laporan BEPS dari
OECD menunjukkan adanya permasalahan kunci BEPS yakni:[8]
-
international mismatches dalam hal penentuan karakter entitas dan
instrumen,
-
penerapan
konsep tax treaty atas laba dari penyerahan barang dan jasa secara digital;
-
perlakuan
pajak atas transaksi keuangan seperti pemberian hutang antar perusahaan;
-
transfer
pricing terutama atas pemindahan resiko dan barang tak berwujud, pemecahan secara artifisial dalam kepemilikan
aset atau transaksi yang jarang terjadi atas perusahaan yang independen;
-
keefektifan
atas aturan penghindaran pajak seperti anti
avoidance rule, controlled foreign corporation, thin capitalisation untuk
mencegah penyalahgunaan tax treaty (treaty
abuse), dan
-
Tersedianya
harmful preferential regimes,
Dengan melihat
permasalah kunci diatas, OECD telah menerbitkan laporan lanjutan tentang
rencana aksi atas BEPS,[9]
yang berisi 15 aksi seperti, sebagai contoh,
aksi untuk mengatasi masalah ekonomi digital, permasalahan pajak atas
aktiva tak berwujud (intangibles),
metodologi untuk pengumpulan data serta analisa atas BEPS, pengungkapan
perencanaan pajak yang agresif (aggressive
tax planning) atau peraturan baru atas transfer
pricing documentation,
Untuk negara
berkembang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga melalukan penelitian atas
permasalahan BEPS khususnya untuk negara berkembang agar dapat mendukung negara
berkembang atas permasalahan tersebut yang sejalan dengan pandangan PBB atas
pajak internasional.[10] Permasalahan umum bagi negara berkembang dalam BEPS
adalah karena sebagian besar negara berkembang lebih mengutamakan masalah
sumber pajak dalam negeri dan bukan pengalihan penghasilan perusahaan dalam
negeri ke yuridiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, pajak perusahaan
banyak berasal dari investasi asing yang masuk, juga karena keterbatasan kapasitas
dari otoritas perpajakan di negara berkembang.[11]
Penggeseran laba
Penggeseran laba
atau profit shifting tidak dapat dilepaskan dari offshore financial center atau negara-negara yang disebut tax haven
yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan rendah, tidak
mempunyai transparansi atau pertukaran informasi perpajakan seperti dijelaskan
dalam laporan OECD Harmful Tax Competition.[12]
Undang- Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juga menjelaskan tentang tax haven di
pasal 18(3c) tentang penjualan saham meski belum ada definisi jelas tentang tax
haven.
Tax haven terkait
dengan offshore financial center yang
memberikan pelayanan bisnis bagi pihak-pihak yang berada di luar negeri dan
bukan residen di negara tersebut,[13] meski tidak berarti satu negara akan selalu berada dua
kategori tersebut namun ciri utamanya adalah hukum dan peraturan di negara
tersebut dapat digunakan untuk melalukan penggelapan atau penghindaran pajak di
negara lain.[14]
Karena
penghindaran pajak dengan tax treaty, beberapa negara merubah atau membatalkan
tax treaty seperti Inggris, Indonesia serta Jepang yang merubah tax treaty
dengan Malaysia karena permasalahan Labuan dengan adanya Labuan Offshore Business Activity Tax Act,[15]
Indonesia yang membatalkan tax treaty dengan Mauritius atau bahkan Mongolia
yang membatalkan tax treaty dengan Belanda,[16]
dimana semua ini disebabkan pendapat adanya penyalahgunaan tax treaty.
Permasalahan bagi
Indonesia
Untuk mengatasi
masalah penghindaran pajak diperlukan peraturan atas penghindaran pajak (anti avoidance rule) yang di Indonesia
dapat ditemukan dalam pasal 18 UU PPh tentang transfer pricing, controlled foreign corporation atau special purpose vehicle yang dijelaskan
lebih lanjut dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang tata cara
penerapan P3B, PER-62/PJ/2009 tentang pencegahan penyalahgunaan P3B dan PER-
43/PJ/2010 tentang transfer pricing.
PER-61 dan PER-62
tersebut merupakan satu kemajuan karena menolak pemberian keuntungan tax treaty
seperti penurunan tarif pajak dan pembebasan pajak dalam hal penyalahgunaan tax
treaty seperti adanya penggunaan struktur perusahaan yang tidak mempunyai substansi
ekonomi dan penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
Persyaratan
tambahan untuk perusahaan luar negeri untuk mendapat keuntungan tax treaty,
seperti tertera dalam Certificate of Domicile (COD), sebenarnya memiliki
beberapa permasalahan yang perlu dijawab seperti:
-
memiliki
manajemen tersendiri untuk menjalankan usaha
Bagi perusahaan multinasional, substansi
usaha dapat dilakukan dengan membuat alihdaya (outsource) atas kegiatan manajemen seperti halnya trust office yang
banyak terdapat di Belanda yang menyediakan jasa substansi usaha bagi
perusahaan perantara.[17]
-
memiliki
jumlah personel yang cukup dan berkualifikasi.
Tidak ada kejelasan tentang berapa jumlah
yang harus dipenuhi
-
penghasilan
yang diperoleh dikenakan pajak di negara tempat kedudukan perusahaan asing.
Perusahaan asing dapat berargumen bahwa
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif nol persen dan bukan dibebaskan pajak
agar mendapatkan keuntungan tax treaty
-
tidak
lebih dari 50% penghasilan yang diterima diberikan kepada pihak lain.
Dalam beberapa struktur perusahaan
multinasional terdapat fiscal unity atau tax grouping atas beberapa perusahaan yang dapat digunakan untuk
memenuhi persyaratan ini karena penghasilan tidak diberikan kepada pihak lain. Demikian
juga bentuk badan usaha di luar negeri tidak hanya berupa limited liability company tapi juga badan lain seperti partnership, yayasan hingga trust
yang dapat digunakan juga untuk penghindaran pajak.
Dalam laporan
BEPS juga diberikan berbagai contoh struktur yang dapat digunakan perusahan
multinasional untuk penghindaran pajak untuk e-commerce, kegiatan manufaktur
atau penggunaan holding company,[18]
dimana struktur perusahaan dapat dipakai untuk menguji apakah peraturan PER-61
dan PER-62 diatas dapat diterapkan untuk menghentikan penyalahgunaan P3B.
Untuk masalah
transfer pricing, kemajuan terjadi setelah persyaratan untuk penerapan arm’s length principle dalam hubungan
istimewa diterapkan sesuai PER-43 diatas. Peraturan
transfer pricing yang lebih banyak mengacu pada OECD Transfer Pricing Guidelines,[19]
perlu juga untuk memperhatikan permasalahan yang diungkapkan United Nations Practical Manual on Transfer
Pricing for Developing Countries bahwa negara berkembang mempunyai
permasalahan dan cara pandang yang berbeda dalam hal transfer pricing seperti
dalam hal pembayaran royalti, jasa maklon hingga masalah intangibles.[20]
Pertukaran
informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak, meski
sepertinya lebih berkaitan erat dengan permasalahan penggelapan pajak dan
Indonesia dapat menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan pertukaran
data perpajakan seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data
kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes.[21]
Kesimpulan
BEPS merupakan
satu permasalahan yang juga dihadapi Indonesia dan merugikan Indonesia dalam
hal perpajakan. Diperlukan peraturan yang lebih baik untuk mengatasi
penghindaran pajak di Indonesia karena masih adanya kelemahan peraturan
perpajakan yang perlu diperbaiki. Kelemahan peraturan peraturan dapat berarti berkurangnya
atau menghilangnya pendapatan pajak terutama berkaitan dengan penghasilan
perusahaan multinasional di Indonesia.
[1] Penulis adalah alumni Universitas
Indonesia dan European Tax College,
Tilburg University, Netherlands.
Tulisan ini didasarkan atas seminar dengan topik sama di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
[2] “Factbox: Apple, Amazon, Google and tax avoidance schemes”,
Reuters, http://www.reuters.com/article/2013/05/22/us-eu-tax-avoidance-idUSBRE94L0GW20130522
[3] “Man Making Ireland Tax Avoidance Hub Proves Local Hero”,
Bloomberg, http://www.bloomberg.com/news/2013-10-28/man-making-ireland-tax-avoidance-hub-globally-proves-local-hero.html
[4] Special Report: How Starbucks avoids UK taxes, Reuters, http://www.reuters.com/article/2012/10/15/us-britain-starbucks-tax-idUSBRE89E0EX20121015
[5] Sebagai contoh dapat dilihat dari laporan BKPM
tentang negara asal investor untuk investasi di Indonesia; http://www.bkpm.go.id/img/Press%20Release%20TW%20I%202014%20-%20ind%20-%2024%20April.pdf
[6] OECD Report, Addressing Base
Erosion and Profit Shifting, 2013.
[7] Istilah OECD (www.oecd.org) menunjuk pada organisasi ekonomi internasional
beranggotakan 34 negara yang umumnya negara-negara maju yang memiliki misi
untuk mendukung kebijakan yang akan meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial.
Indonesia bersama-sama dengan Tiongkok, Brazil, India, Rusia,Afrika Selatan
telah menjadi “key partner” bagi OECD (http://www.oecd.org/about/membersandpartners/#d.en.194378)
[8] Id, lihat Chapter 5, Addressing
concerns related to base erosion and profit shifting, terutama atas key pressure areas.
[9] Lihat OECD
Report, Action Plan on Base Erosion and
Profit Shifting, 2013. Pada bagian ketiga dari laporan itu dijelaskan
tentang Action Plan secara rinci.
[10] Subcommittee on Base Erosion and Profit
Shifting Issues for Developing Countries, UN, http://www.un.org/esa/ffd/tax/BEPS_note.pdf.
[11] “Protecting the Tax Base of
Developing Countries: An Overview”’ Hugh J. Ault, Brian J. Arnold;
Papers on Selected Topics in
Protecting the Tax Base of Developing Countries, Mei 2013
[12] OECD Report,
Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue, http://www.oecd.org/tax/transparency/44430243.pdf;
laporan ini sering digunakan untuk menjelaskan tentang tax haven.
[13] Concept of Offshore Financial
Centers: In Search of an Operational Definition, IMF Working Paper, 2007
[14] Identifying Tax Haven and Financial Offshore
Centers, Tax Justice
Network. http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Identifying_Tax_Havens_Jul_07.pdf
[15] Ada sekitar 11 negara yang mengecualikan Labuan dalam tax treaty dengan
Malaysia, http://www.lowtax.net/information/labuan/labuan-tax-treaty-introduction.html
[16] Should the Netherlands sign
tax treaties with developing countries?, SOMO, Netherlands (Centre for
Research on Multinational Corporations), 2013.
[17] The Netherlands,
A Tax Haven?, SOMO, 2006. Dalam laporan ini dijelaskan adanya trust office di
Belanda yang memberi penjelasan tentang perusahaan Belanda yang diatur oleh
trust office yang jumlahnya ribuan dan juga menyebut adanya perusahaan
Indonesia yang mempunyai perusahaan perantara di Belanda
[18] Lihat Annex C : Examples of MNEs’ tax planning structures dari OECD
Report, Addressing Base Erosion and Profit Shifting.
[19] OECD Transfer Pricing
Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations. banyak
digunakan sebagai rujukan dalam sengketa transfer pricing di Indonesia.
[21] Offshore Bank, Financial Center dan Penggelapan
Pajak di Indonesia, Andreas Adoe, Harian Kontan, 10 Maret 2014.