Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Asian Agriterbukti bersalah menarik perhatian banyak orang di akhir tahun 2012 dan sampai
sekarang, permasalahannya belum terbukti karena masalah penggelapan pajak belum
selesai. Bahkan di bulan Januari 2013
ini Kejaksaan Agung dan juga Direktorat Jenderal Pajak berusaha menagihpembayaran denda.
Tulisan ini akan melihat putusan Mahkamah Agung No. 2239
K/PID.SUS/2012 yang selama ini belum banyak diperhatikan untuk melihat
pertimbangan yang dipakai hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan tersebut.
1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari
Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur yang sudah menjalani penahanan sejak Desember
2010.
2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan
pajak di beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya
tax planning meeting yang membahas perencanaan untuk mengecilkan pajak.
(Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat karena tax planning tidak
sama dengan tax evasion).
3. Berikut adalah hal
yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 :
A. Rekayasa keuangan internasional disebutkan sebagai
berikut, sebagaimana dikutip dibawah ini:
Rekayasa penjualan
tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung
ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan
dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat
seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd.,
Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever
Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan
di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian
Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer. Padahal perusahaan
di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special
Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi
mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga
jual.
Rekayasa penjualan
produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang
seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing)
ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit)
menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan
baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di
Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi
penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang
dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya
sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang
seharusnya ;
B. Rekayasa keuangan dalam negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan
biaya management fee. Disebutkan lebih
lanjut, dalam halaman :
BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat
dengan MEMO VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini
tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung
pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai
ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata
Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra
Jakarta.
BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan
rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss".
Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude
Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan
beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan
pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG
dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga beli kembali dengan harga jual
dibebankan sebagai Biaya hedging loss.
BIAYA MANAJEMEN FEE,
adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang
pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan
dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada
pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk
penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini
merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil
penghasilan kena pajak
C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan
SPT Tahunan bukan laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Hal ini menimbulkan kerugian yang dijelaskan
dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.
Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun
2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian
pada pendapatan negara berupa sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau
pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
4. Pajak Internasional
Penulis tidak dapat berkomentar tentang pembuktian atas
pelaporan keuangan yang tidak seharusnya karena itu merupakan pembuktian di persidangan
di hadapan para hakim, sebagai contoh dalam hal biaya jakarta dengan memo
voucher. Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang
mengapa sanksi pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi,
juga dalam hal pembuktian dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000
dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam kasus ini.
Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi
internasional yang berhubungan dengan pajak internasional dan dianggap sebagai
pendukung penggelapan pajak seperti berikut:
-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah
perusahaan di luar negeri seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune
Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Begitu juga dengan perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta
perusahaan di British Virgin Island yakni Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak
dijelaskan apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa
sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat diperkirakan merupakan
perusahaan terkait karena nama Asian Agri.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan
SPV dan melakukan under invoicing.
-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait
apakah hal sebaiknya peraturan yang diterapkan seharusnya merupakan peraturan
transfer pricing sebagaimana diatur misalnya dengan Per DJP No. PER -
32/PJ/2011 tentang penerapan Arm's Length
Principle dalam related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer
pricing dan tax evasion yang sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat
putusan seperti ini.
-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah
sesuai dengan standar akuntansi atau merupakan satu financial engineering yang
merupakan satu penggelapan pajak.
Penentuan harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa
yang dipakai dalam ekspor komoditas.
Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman
Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam
hal harga pasar produk komoditas oleh pihak independen. Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, dijelaskan
bahwa yang telah terjadi adalah hedging fiktif.
-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan
menurut Surat Edaran DJP tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta
secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa
berupa imbalan manajemen ("management fee"). Umumnya hal ini menjadi
bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya merupakan related
party transaction.
Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management
fee termasuk management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh,
dokumen nomor 6962 halaman 198). Tidak
dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan hubungan
istimewa.
Mungkin diperlukan peraturan yang lebih jelas mana yang
dapat digolongkan tax evasion dan mana tax avoidance dimana transfer pricing
seharusnya merupakan bagian dari tax avoidance dan bukan tax evasion. Hal ini
mungkin dapat dilihat dalam kasus Dolce Gabana seperti diberitakan disini dan
disini sehingga wajib pajak dapat
memiliki kepastian hukum lebih besar lagi.