Mulai tahun 2013 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty Indonesia Hong Kong mulai berlaku efektif dan membuat Hong Kong dapat menjadi satu lokasi menarik untuk holding company untuk berinvestasi di Indonesia karena holding company yang memiliki lebih dari 25% saham perusahaan Indonesia dapat dikenakan pajak sebesar 5%.
Namun apakah hal ini dapat terjadi?
Dalam prakteknya, akan sukar bagi residen di Hong Kong untuk memperoleh treaty benefit berdasarkan tax treaty antara Indonesia dan Hong Kong dengan alasan sebagai berikut:
- Sesuai Peraturan Dirjen Pajak No. 61/PJ/2009 tentang tata cara penerapan P3B menetapkan bahwa Certificate of Domicile (COD) harus dilengkapi untuk mendapatkan keuntungan tax treaty dengan tarif pajak yang lebih rendah
- Dalam COD terdapat pertanyaan yang harus dijawab seperti penghasilan yang diterima di Indonesia akan dikenakan pajak di negara tempat kedudukan, seperti tertulis dalam Form DGT 1, Part V, point 11. DJP hanya akan memberikan treaty benefit jika pertanyaan dijawab "Ya" dan berarti dividen harus dikenakan pajak di negara tempat kedudukan.
- Dividen merupakan penghasilan yang tidak dikenakan pajak di Hong Kong.
Berdasarkan alasan diatas, maka dapat disimpulkan kemungkinan besar Wajib Pajak asal Hong Kong tidak akan memperoleh keuntungan dari Tax Treaty Indonesia – Hong Kong berupa penurunan tarif pajak atas dividen sehingga penghasilan dividen dari Indonesia kemungkinan besar akan tetap dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%.
Apa yang akan dilakukan Indonesia dalam Tax Treaty Indonesia – Hong Kong dapat digolongkan treaty override yang diperkirakan beberapa pihak sebelum Tax Treaty tersebut berlaku efektif tahun 2013 ini.
Sebagian besar treaty antara Indonesia dengan negara lain tidak mempunyai LOB clause (limitation of benefit) untuk mencegah penghindaran pajak menggunakan tax treaty namun PER-61 dijadikan dasar untuk mencegah treaty shopping dan persyaratan administrasi untuk mendapatkan keuntungan treaty. Salah satu treaty yang memiliki LOB adalah treaty Indonesia dan Luxembourg serta Indonesia dan Russia.
Ada beberapa masalah yang dapat terjadi:
- Pacta sunt servanda, agreement must be kept, yang menjadi dasar tax treaty seharusnya diterapkan. Atau lebih jauh bagaimana dengan Vienna Convention on the Law of Treaties?
- Anti avoidance yang dibuat setelah atau sebelum ratifikasi tax treaty. Bagaimana pendekatan yang tepat? Bagaimana jika kemudian Direktorat Jenderal Pajak membuat pemahaman tersendiri dalam hal beneficial ownership atau re-characterization dari penghasilan tertentu?
Hal ini juga dapat terjadi tidak hanya atas tax treaty Indonesia dan Hong Kong namun juga dengan negara lainnya serta juga tidak hanya dividen namun juga penghasilan lainnya. Bagaimana dengan perusahaan perantara atau holding company yang berlokasi di negara lain seperti Singapura serta holding company yang digunakan untuk menghindari pajak seperti dijelaskan di tulisan sebelumnya?
Treaty override tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat yang mempunyai alasan untuk melakukan itu bahkan Afrika Selatan. Bagaimana dengan Indonesia, apa alasan yang dapat diberikan dalam tax treaty Indonesia dan Hong Kong?
Catatan: Penulis berkesempatan memberi workshop di akhir tahun 2012 kepada Direkorat Jenderal Pajak dan dapat dikatakan semua peserta menolak untuk memberikan treaty benefit untuk dividen asal Indonesia kepada Wajib Pajak asal Hong Kong karena mereka beralasan menurut PER-61 dan Form DGT 1, dividen tidak dikenakan pajak di Hong Kong. Dapat disimpulkan wajib pajak Hong Kongt akan mengalami treaty override dalam hal penerimaan dividen dari Indonesia.