Holding Company atau perusahaan induk biasa dipakai perusahaan multinasional dalam berinvestasi untuk memegang saham anak perusahaan. Bagi investor, baik asing atau asal Indonesia, holding company dapat digunakan untuk berinvestasi di Indonesia. Selain karena alasan bisnis, penghindaran pajak dapat dilakukan dengan memilih holding company di lokasi yang tepat, di Indonesia atau negara lain. Bank Indonesia belum ini bahkan merencanakan kewajiban holding company di Indonesia untuk bank asing. Lantas, permasalahan dan penghindaran pajak apa yang dapat terjadi serta dimanakah lokasi holding company yang paling menguntungkan dalam hal pajak?
Tax Treaty dan Holding Company
Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat mempermudah dan mendorong investasi asing di Indonesia dengan menghilangkan perpajakan berganda (double taxation) dan membagi hak pemajakan untuk jenis penghasilan tertentu antara dua negara. Namun Tax Treaty juga memberi kesempatan bagi investor untuk menggunakan holding company di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia dan memperoleh keuntungan pajak.
Data BKPM beberapa kali menunjukkan bahwa investor terbesar di Indonesia berasal dari Singapura, Belanda hingga British Virgin Islands. Negara tersebut sebagai offshore financial center biasa menjadi lokasi holding company. Hong Kong bahkan akan menjadi lokasi menarik bagi holding company untuk Indonesia karena Tax Treaty Indonesia dan Hong Kong telah diratifikasi.
Double Non Taxation
Holding company di negara mitra P3B dapat digunakan untuk memiliki saham perusahaan di Indonesia dan menurut Tax Treaty, pajak penghasilan atas penjualan saham berupa capital gain atas pengalihan saham dapat tidak terutang di Indonesia dan terutang di negara mitra P3B. Namun beberapa negara mitra P3B, yang menjadi lokasi holding company, tidak mengenakan pajak atas penghasilan capital gain dari penjualan saham sehingga capital gain tersebut sama sekali tidak dikenakan pajak (double non taxation). Hal ini dapat dilakukan perusahan multinasional dengan beberapa lapisan holding company.
Permasalahan double non taxation ini menjadi sorotan di India pada kasus Vodafone dimana atas penjualan saham perusahaan India, pemegang saham dengan menggunakan holding company di Mauritius berusaha mendapatkan keuntungan dari Tax Treaty yang berujung pada double non taxation. Berdasarkan Tax Treaty India dan Mauritius, hak pemajakan atas capital gain dari penjualan saham tersebut berada di Mauritius sedangkan Mauritius tidak mengenakan pajak atas capital gain. Holding company di Mauritius sendiri merupakan holding company lapisan kedua dibawah holding company lapisan pertama yang berada di negara lain.
Otoritas pajak India berusaha mengenakan pajak atas capital gain tersebut dan beralasan bahwa India mempunyai hak pemajakan atas penjualan saham tersebut. Kasus Vodafone berujung pada sengketa pajak yang akhirnya dimenangkan oleh wajib pajak namun menyadarkan pemerintah India akan permasalahan double non taxation dan berusaha memperkuat peraturan atas penghindaran pajak (anti avoidance rule). Struktur serupa kasus Vodafone tentunya juga dapat terjadi di Indonesia.
Keuntungan tambahan dari holding company adalah adanya participation exemption di negara mitra P3B sehingga dividen yang diterima holding company hanya dikenakan di Indonesia sesuai Tax Treaty dan tidak lagi dikenakan di negara mitra P3B, lokasi holding company.
Holding company dalam perusahaan multinasional juga dapat berfungsi sebagai shared service center yang memberikan intra-group services seperti jasa manajemen, treasury atau jasa pendukung lainnya. Berdasarkan Tax Treaty, dengan syarat tertentu, Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan jasa tersebut karena negara mitra P3B mempunyai hak pemajakan atas penghasilan jasa tersebut. Kenyataannya, negara mitra P3B yang menjadi lokasi holding company dapat memberikan pembebasan pajak atas penghasilan dari jasa tersebut sehingga penghasilan dari jasa tersebut tidak dikenakan pajak dimanapun (double non taxation).
Anti Avoidance Rule di Indonesia
Indonesia sudah memiliki peraturan untuk mengatasi penghindaran pajak seperti terdapat dalam pasal 18 UU PPh. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 61 dan 62 Tahun 2009 untuk memperketat pemberian keuntungan Tax Treaty kepada pihak yang berhak mendapatkannya (beneficial owner) namun tidak mengatur rinci atas persyaratan seperti dalam hal penghasilan yang dikenakan pajak di negara mitra P3B dengan tarif 0%, jumlah pegawai serta outsourced management dari holding company.
Beberapa negara memasukkan klausa tentang anti avoidance rule dalam Tax Treaty untuk mencegah penyalahgunaan Tax Treaty. Hal ini dapat diterapkan oleh Indonesia terutama dalam renegosiasi Tax Treaty.
Meskipun pemerintah memasukkan ketentuan tentang tax haven dalam hal SPV sebagai holding company untuk memperoleh saham perusahaan di Indonesia seperti dijelaskan dalam Pasal 18(3c) UU PPh dan PMK No. 258/PMK.03/2008 namun sampai sekarang tidak ada kejelasan definisi tax haven.
Holding Company di Indonesia Berbeda dengan negara lain seperti Singapura, Hong Kong atau Belanda, holding company di Indonesia, tetap dikenakan pajak atas pengalihan saham. PPh atas deviden tidak dikenakan atas holding company jika memiliki saham lebih dari 25 persen namun terdapat permasalahan lain dalam hal merger dan akuisisi selain PPh penjualan saham yaitu PPN atas pengalihan asset dan BPHTB.
Kesimpulan
Akan lebih menguntungkan untuk mendirikan holding company di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia karena keuntungan pajak dari pembebasan pajak hingga double non-taxation. Pemerintah perlu membuat peraturan anti avoidance rule yang lebih kuat dalam perpajakan internasional namun perlu juga membuat peraturan yang lebih baik bagi holding company di Indonesia.
Catatan :
Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum diedit redaksi harian kontan. Hasil edit redaksi menghilangkan beberapa bagian dari tulisan asli yang juga dapat dilihat di epaper kontan.