Showing posts with label exchange of information. Show all posts
Showing posts with label exchange of information. Show all posts

Thursday, April 2, 2015

Pajak, NIK dan Kerahasiaan Perbankan





 Harian Kontan, 12 April 2015, halaman 23 
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana agar pelaporan pajak perbankan untuk bunga atas deposito, tabungan atau jasa giro  menyertakan informasi perbankan nasabah seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari nasabah yang bersangkutan disertai rincian pembayaran bunga lewat bukti potong setiap nasabah. Hal ini dinyatakan dalam Peraturan DJP No. PER-01/PJ/2015 (PER 01) tentang bentuk formulir Surat Pemberitahuan Masa PPh,  namun karena adanya  penolakan terutama pihak perbankan dengan alasan diantaranya pelanggaran kerahasiaan perbankan dan kemungkinan kepindahan uang nasabah ke luar negeri, PER 01 tersebut dibatalkan oleh PER-14/PJ/2015.  

Salah satu alasan terbitnya aturan PER 01 tersebut adalah karena DJP bermaksud menguji kebenaran pelaporan pajak terutama untuk wajib pajak orang pribadi.  Namun benarkah kerahasiaan perbankan dilanggar dengan pelaporan pajak atas nasabah perbankan dengan menggunakan NIK dan rincian penerimaan bunga mereka? 

Penggunaan NIK
NIK sebenarnya telah digunakan dalam database Wajib Pajak di  DJP sehingga sekarang database tersebut juga memiliki informasi NPWP dan NIK dari Wajib Pajak.  Penggunaan NIK  sejalan dengan rencana pemerintah atas Single Identity Number (SIN) dan akan digunakan dalam berbagai dokumen dari KTP, NPWP, SIM, rekening bank atau sertifikat kepemilikan. Sejatinya, hal ini akan memudahkan DJP untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak dengan menggunakan NIK dan bukannya NPWP.

Di negara lain yang menjadi percontohan SIN seperti Malaysia, SIN  dapat digunakan juga dalam pelaporan pajak selain menggunakan Tax Identification Number (TIN) atau NPWP contohnya dalam SPT Tahunan. 

Kerahasiaan Perbankan
Berdasarkan pasal 35 UU Ketentuan Umum Perpajakan, kewajiban untuk merahasiakan dalam  perbankan dapat ditiadakan apabila DJP memerlukan keterangan atau bukti dari Wajib Pajak untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dengan permintaan tertulis yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan  Menteri Keuangan No. 87/PMK.03/2013. 

Pembukaan kerahasiaan perbankan juga didukung oleh pasal 41 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menjelaskan bahwa kerahasiaan perbankan dapat diterobos untuk kepentingan pajak berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, kemudian  Bank Indonesia (OJK) memberikan perintah kepada bank untuk memberikan keterangan yang diperlukan.  Namun untuk perbankan syariah, pasal 42 UU No. 21 tahun 2008 tentang  Perbankan Syariah  menjelaskan bahwa pembukaan rahasia bank dapat dilakukan terbatas untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan. 

Pada prakteknya, pembukaan rahasia perbankan tidak mudah karena DJP dapat diminta juga untuk menyebutkan nama nasabah dan nama kantor bank tempat penyimpanan dari Wajib Pajak yang dimintakan keterangan sesuai Peraturan BI No.2/19/PBI/2000.  NIK yang menjadi identitas tunggal belum diatur dalam pembukaan rahasia bank. 

Akhir kerahasiaan perbankan
Pada tahun 2009, negara-negara G20 dimana Indonesia termasuk didalamnya, membuat pernyataan bahwa kerahasiaan perbankan telah berakhir  yang terutama ditujukan untuk mengatasi penggelapan pajak lewat tax haven

Sikap G20  didukung oleh OECD dengan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes yang bertujuan memastikan penerapan standar yang diakui secara internasional atas transparansi dan pertukaran informasi untuk pajak dimana  standar dibagi dalam tiga elemen pokok yakni ketersediaan informasi, akses atas informasi dan pertukaran informasi.
Dengan peer review, forum ini melihat apakah negara anggota telah sepenuhnya menerapkan standar tersebut sebagai bagian dari komitmen anggota.  Review dibuat dalam dua tahap, tahap pertama mencakup analisa atas kerangka peraturan dan perundang-undangan yang dilanjutkan dengan tahap kedua berupa penerapan peraturan tersebut dalam prakteknya.

Hasil peer review  akan menggolongkan apakah satu negara anggota sebagai non compliant, partially compliant, largely compliant dan compliant.  Berdasarkan hasil peer review  tahun  2014 atas 71 negara anggota forum yang telah melewati dua tahap dimaksud diatas, sebagaimana dijelaskan dalam Tax Transparency 2014 - Report on Progress, Indonesia digolongkan sebagai partially compliant sama seperti Andorra, Barbados, Israel, Saint Lucia dan Turkey. 

Negara yang mendapat peringkat compliant diantaranya adalah Australia, Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Korea, Afrika Selatan hingga Swedia.  Peringkat Indonesia bahkan lebih rendah daripada Cayman Islands, Singapura, Hong Kong dan Mauritius yang sering disebut sebagai tax haven karena mereka mendapat peringkat largely compliant.  Perlu dicatat, World Bank dapat menggunakan hasil peer review suatu negara untuk melakukan evaluasi atas kelayakan investasi di negara tersebut.  

Hasil peer review dapat menjelaskan bahwa akses DJP atas kerahasiaan perbankan untuk kepentingan pajak  belum sepenuhnya memenuhi standar internasional bahkan tidak lebih baik dari Singapura dan Hong Kong.  

Pertukaran informasi
Negara-negara G20  di bulan September 2013 telah mengesahkan rencana OECD atas  standar tunggal pertukaran otomatis atas informasi keuangan atau Common Reporting Standard untuk mengatasi penggelapan pajak dan memastikan kepatuhan perpajakan.  

Standar ini, yang disebut sebagai versi global dari FATCA atau bahkan EU Saving Directive, akan meminta negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan informasi dari lembaga keuangan dan secara otomatis melakukan pertukaran informasi dengan negara lain secara tahunan.  

Kesimpulan
Pemerintah wajib memperbaiki aturan hukum atas akses pajak terhadap informasi perbankan baik perbankan umum dan syariah, terutama untuk kepentingan pemeriksaan, penagihan dan penyidikan pajak. Hal  ini  tidak hanya karena keperluan DJP berdasarkan UU Pajak namun juga karena komitmen yang telah dibuat Indonesia dalam G20 dan Global Forum OECD untuk menerapkan standar yang diakui internasional atas akses pajak terhadap kerahasiaan perbankan

Catatan : 
-Tulisan ini adalah versi asli sebelum disunting oleh redaksi Kontan 
-Sebagian bahan dari tulisan ini pernah dijadikan bahan Kuliah Umum di FISIP UI

-Referensi untuk kali ini disertakan di bagian berikut ini untuk mendukung pemahaman yang lebih baik dari aspek hukum atas masalah diatas

Referensi :
-Wajib Cantumkan NIK di SPT Pajak, Harian Kontan, 7 Februari 2015

- Soal Ditjen Pajak Bisa 'Intip' Deposito, Menkeu Bambang: Ditunda

-Ada 66.567 Nasabah Bank di RI Punya Simpanan di Atas Rp 5 Miliar

-London Summit, Leader’s Statement (G20)
Dalam pernyataan ini dijelaskan komitmen untuk mengakhiri kerahasiaan perbankan, lihat point 15, halaman 6 dari pernyataan tersebut. 

-The Era of Banking Secrecy is Over  (OECD  Report)

-Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes

-  Progress Report : Transparency Report - Global Forum (2014)
Dalam laporan ini dijelaskan hasil peer review terhadap negara anggota termasuk Indonesia yang memuat peringkat atas hasil peer review untuk tahap pertama dan kedua.

-       Hasil dari peer review untuk Indonesia tahap pertama
Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes  : Peer Review Report Phase 1 – Legal and Regulatory Framework  - Indonesia

-Use of Offshore Financial Centers in World Bank Group Private Sector Operations
Dalam laporan ini terdapat pernyataan bahwa perusahaan perantara dapat didirikan di satu negara tergantung atas hasil penilain peer review dari negara tersebut.

Monday, December 29, 2014

Sudah Bukan Waktunya Mentolerir Kerahasiaan di Negara Suaka Pajak - Opini Pemburu Koruptor

Apa kata para pemburu koruptor tentang tax haven? Pendapat mereka yang dapat dilihat dari tulisan ini, menjelaskan bahwa sudah bukan waktunya mentolerir kerahasiaan di tax haven. 

Tax haven atau negara pemberi suaka pajak seperti dijelaskan dalam postingan sebelumnya dapat digambarkan sebagai tempat yang dapat digunakan oleh pihak-pihak lain yang berkedudukan di negara lain untuk menghindari dan bahkan menggelapkan pajak.

Tulisan ini yang didasarkan pada wawancara dengan pertemuan dua tahunan Aliansi Pemburu Koruptor Internasional (ICHA) di Washington D.C., Amerika Serikat pada 8-10 Desember 2014.
 ICHA adalah forum yang mempertemukan lebih dari 300 Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemberantasan Korupsi, dan pimpinan lembaga penegak hukum lainnya dari 120 negara. Forum ini menjadi ajang berbagi pengalaman dan mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalah seputar pemberantasan korupsi.

Pendapat  menarik diberikan oleh Stephen Zimmerman, tuan rumah sekaligus orang yang paling sibuk menyiapkan konferensi ICHA. Bekas Jaksa Federal AS, diantaranya :
-Upaya kreatif untuk menangkap koruptor dan delik non pidana
Ini pendapatnya :
" Pertama....korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi...." 

"Yang saya maksud adalah mengajak untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Contoh yang bisa dipelajari di Amerika Serikat adalah ketika penegak hukum berhadapan dengan mafia dan gangster puluhan tahun silam. Ketika itu, kami kesulitan menuntut mereka dengan delik sederhana seperti pembunuhan atau perampokan bank. Kemudian muncul ide menggunakan Undang-Undang Perpajakan dan terbukti efektif. Jadi, inovasi-inovasi semacam ini yang diharapkan di-sharing di pertemuan ICHA."

korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
-kerjasama antar negara
 "Tentu dalam hal ini kita tak bisa menggunakan cara-cara formal. Yang perlu dilakukan adalah pendekatan informal dengan otoritas di negara tersebut. Dengan adanya komunikasi informal, maka ada peluang membahas kesepakatan formal. Tanpa ada hubungan informal, apalagi tanpa ada kesepatan antara dua negara, tak mungkin kita mengangkat telepon dan meminta penegak hukum di suatu negara untuk mengekstradisi penjahat yang bersembunyi itu. Inilah pentingnya menjalin jaringan dan ini yang dilakukan dalam pertemuan ICHA."
 
tentang beneficial owner
"Persoalan ini menjadi salah satu fokus pertemuan ICHA kali ini. Ada tekanan yang menguat untuk mendorong negara-negara suaka pajak itu agar membuka informasi kerahasiaan tentang beneficial owner tersebut. Kini sudah bukan waktunya untuk mentolerir kerahasiaan macam itu. Persoalan ini juga akan saya bawa ke forum G20."

Pendapatnya menjelaskan tentang pentingnya peraturan pajak dalam hal pemberantasan korupsi seperti pernah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang pajak dan hubungannya dengan korupsi dan pencucian uang yang bahkan perlu dipahami oleh pejabat negara.

Sunday, December 14, 2014

Kementerian Keuangan dan Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan Singapura

Menteri Keuangan membuat berita dengan rencana Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan Singapura seperti dijelaskan dalam laporan di jejaring berita :

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro rencananya akan berangkat ke Singapura, Senin (15/12/2014) besok. Agenda Bambang adalah untuk membahas kesepakatan Tax Information Exchange Agreement (TIEA) antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian ini juga bisa membuka data seputar uang yang disimpan oleh warga negara Indonesia di Singapura.

Laporan berita tersebut juga menjelaskan kemungkinan TIEA untuk menarik ribuan trilyun rupiah uang wajib pajak Indonesia yang tersimpan di Singapura agar kembali ke Indonesia, tentunya Direktorat Jenderal Pajak berkepentingan dalam hal pajak atas uang tersebut. 

TIEA sebenarnya sudah dimiliki Indonesia seperti pernah dijelaskan dalam tulisan di blog ini sebelumnya dimana Indonesia telah memiliki TIEA dengan Guernsey, Bermuda atau Isle of Man. TIEA yang pada dasarnya dikembangkan berdasarkan model yang dikembangkan oleh OECD untuk meningkatkan transparansi. Informasi yang dapat diminta termasuk informasi keuangan perbankan dan institusi keuangan lainnya.

Ada beberapa pertanyaan mendasar seperti :
- peraturan perbankan di Singapura yang dapat membatasi penerapan pertukaran informasi khususnya automatic exchange of information
- apakah TIEA merupakan perjanjian tersendiri yang terpisah dari tax treaty antara Singapura dan Indonesia dimana pasal 26 dari treaty tersebut mengatur pertukaran informasi atau merupakan bagian dari tax treaty? 
- berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi keuangan yang diminta serta apakah pertukaran informasi merupakan automatic exchange of information seperti dijelaskan disini.

Penulis berharap rencana TIEA diatas dapat memberi kemajuan atas banking secrecy yang menjadi masalah bagi otoritas pajak selama ini.

Sebagai catatan, OECD sebelumnya pernah menerbitkan laporan Improving Access to Bank Information for Tax Purposes di tahun 2009 yang mengungkapkan permasalahan dalam informasi perbankan bagi otoritas perpajakan.

Wednesday, November 26, 2014

Base Erosion and Profit Shifting, apa pengaruhnya bagi Indonesia?

Tulisan ini didasarkan atas tulisan yang telah dimuat di ortax ,

Base Erosion and Profit Shifting, apa pengaruhnya bagi Indonesia? 

Oleh : Andreas Adoe[1]

Perusahaan multinasional seperti Google, Amazon, Starbucks, Microsoft dalam dua tahun terakhir  menjadi sorotan karena penghindaran pajak.[2] Sorotan terjadi karena masalah ketidakadilan dan etika karena mereka tidak melanggar hukum. Yang menjadi pertanyaaan, apakah hal yang turut dibahas para pemimpin negara-negara G20 menjadi relevan di Indonesia atau negara berkembang lainnya serta permasalahan apa yang harus dihadapi.

Google yang mendirikan anak perusahaan di Irlandia,[3] Amazon yang mendirikan perusahaan perantara di Luxembourg untuk pasar Eropa dan penjualan e-commerce hingga Starbucks yang menyalurkan bahan baku lewat perusahaan perantara di Swiss[4] adalah contoh salah satu contoh struktur yang banyak dibuat untuk menghindari pajak. Di Indonesia, banyak investasi dilakukan dengan mendirikan holding company di Belanda, Singapura hingga Mauritius.[5] Dalam beberapa contoh, perusahaan multinasional mampu meminimalkan atau bahkan menihilkan, atau double non taxation, dalam hal penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, capital gain, jasa atau penghasilan lainnya. 

Laporan BEPS
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), seperti contoh diatas, menjadi permasalahan karena  base erosion berarti berkurangnya pendapatan pajak  yang mengancam kewenangan perpajakan dan keadilan perpajakan di banyak negara dengan cara profit shifting.[6] Masalah BEPS menunjukkan adanya kekurangan dalam peraturan perpajakan antar negara yang banyak bersandar pada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), atau juga dikenal sebagai tax treaty, yang mengatur hak pemajakan antar negara dan banyak mengacu pada model atas tax treaty yang dikeluarkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).[7] BEPS juga menunjukkan kekurangan atas peraturan pajak dalam negeri yang mengatur tentang perpajakan internasional termasuk peraturan atas penghindaran pajak (anti-avoidance rule) dan peraturan transfer pricing. 

Laporan BEPS dari OECD menunjukkan adanya permasalahan kunci BEPS yakni:[8]
-          international mismatches dalam hal penentuan karakter entitas dan instrumen,
-          penerapan konsep tax treaty atas laba dari penyerahan barang dan jasa secara digital;
-          perlakuan pajak atas transaksi keuangan seperti pemberian hutang antar perusahaan;
-          transfer pricing terutama atas pemindahan resiko dan barang tak berwujud,  pemecahan secara artifisial dalam kepemilikan aset atau transaksi yang jarang terjadi atas perusahaan yang independen;
-          keefektifan atas aturan penghindaran pajak seperti anti avoidance rule, controlled foreign corporation, thin capitalisation untuk mencegah penyalahgunaan tax treaty (treaty abuse), dan
-          Tersedianya harmful preferential regimes,

Dengan melihat permasalah kunci diatas, OECD telah menerbitkan laporan lanjutan tentang rencana aksi atas BEPS,[9] yang berisi 15 aksi seperti, sebagai contoh,  aksi untuk mengatasi masalah ekonomi digital, permasalahan pajak atas aktiva tak berwujud (intangibles), metodologi untuk pengumpulan data serta analisa atas BEPS, pengungkapan perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning) atau peraturan baru atas transfer pricing documentation,
  
Untuk negara berkembang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga melalukan penelitian atas permasalahan BEPS khususnya untuk negara berkembang agar dapat mendukung negara berkembang atas permasalahan tersebut yang sejalan dengan pandangan PBB atas pajak internasional.[10] Permasalahan umum bagi negara berkembang dalam BEPS adalah karena sebagian besar negara berkembang lebih mengutamakan masalah sumber pajak dalam negeri dan bukan pengalihan penghasilan perusahaan dalam negeri ke yuridiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, pajak perusahaan banyak berasal dari investasi asing yang masuk, juga karena keterbatasan kapasitas dari otoritas perpajakan di negara berkembang.[11]

Penggeseran laba
Penggeseran laba atau profit shifting tidak dapat dilepaskan dari offshore financial center atau negara-negara yang disebut tax haven yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan rendah, tidak mempunyai transparansi atau pertukaran informasi perpajakan seperti dijelaskan dalam laporan OECD Harmful Tax Competition.[12] Undang- Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juga menjelaskan tentang tax haven di pasal 18(3c) tentang penjualan saham meski belum ada definisi jelas tentang tax haven.

Tax haven terkait dengan offshore financial center yang memberikan pelayanan bisnis bagi pihak-pihak yang berada di luar negeri dan bukan residen di negara tersebut,[13] meski tidak berarti satu negara akan selalu berada dua kategori tersebut namun ciri utamanya adalah hukum dan peraturan di negara tersebut dapat digunakan untuk melalukan penggelapan atau penghindaran pajak di negara lain.[14]

Karena penghindaran pajak dengan tax treaty, beberapa negara merubah atau membatalkan tax treaty seperti Inggris, Indonesia serta Jepang yang merubah tax treaty dengan Malaysia karena permasalahan Labuan dengan adanya Labuan Offshore Business Activity Tax Act,[15] Indonesia yang membatalkan tax treaty dengan Mauritius atau bahkan Mongolia yang membatalkan tax treaty dengan Belanda,[16] dimana semua ini disebabkan pendapat adanya penyalahgunaan tax treaty.

Permasalahan bagi Indonesia
Untuk mengatasi masalah penghindaran pajak diperlukan peraturan atas penghindaran pajak (anti avoidance rule) yang di Indonesia dapat ditemukan dalam pasal 18 UU PPh tentang transfer pricing, controlled foreign corporation atau special purpose vehicle yang dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang tata cara penerapan P3B, PER-62/PJ/2009 tentang pencegahan penyalahgunaan P3B dan PER- 43/PJ/2010 tentang transfer pricing.
PER-61 dan PER-62 tersebut merupakan satu kemajuan karena menolak pemberian keuntungan tax treaty seperti penurunan tarif pajak dan pembebasan pajak dalam hal penyalahgunaan tax treaty seperti adanya penggunaan struktur perusahaan yang tidak mempunyai substansi ekonomi dan penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

Persyaratan tambahan untuk perusahaan luar negeri untuk mendapat keuntungan tax treaty, seperti tertera dalam Certificate of Domicile (COD), sebenarnya memiliki beberapa permasalahan yang perlu dijawab seperti:
-          memiliki manajemen tersendiri untuk menjalankan usaha
Bagi perusahaan multinasional, substansi usaha dapat dilakukan dengan membuat alihdaya (outsource) atas kegiatan manajemen seperti halnya trust office yang banyak terdapat di Belanda yang menyediakan jasa substansi usaha bagi perusahaan perantara.[17]

-          memiliki jumlah personel yang cukup dan berkualifikasi.
Tidak ada kejelasan tentang berapa jumlah yang harus dipenuhi

-          penghasilan yang diperoleh dikenakan pajak di negara tempat kedudukan perusahaan asing.
Perusahaan asing dapat berargumen bahwa penghasilan dikenakan pajak dengan tarif nol persen dan bukan dibebaskan pajak agar mendapatkan keuntungan tax treaty

-          tidak lebih dari 50% penghasilan yang diterima diberikan kepada pihak lain.
Dalam beberapa struktur perusahaan multinasional terdapat fiscal unity atau tax grouping  atas beberapa perusahaan yang dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan ini karena penghasilan tidak diberikan kepada pihak lain. Demikian juga bentuk badan usaha di luar negeri tidak hanya berupa limited liability company tapi juga badan lain seperti partnership, yayasan hingga trust  yang dapat digunakan juga untuk penghindaran pajak.

Dalam laporan BEPS juga diberikan berbagai contoh struktur yang dapat digunakan perusahan multinasional untuk penghindaran pajak untuk e-commerce, kegiatan manufaktur atau penggunaan holding company,[18] dimana struktur perusahaan dapat dipakai untuk menguji apakah peraturan PER-61 dan PER-62 diatas dapat diterapkan untuk menghentikan penyalahgunaan P3B.

Untuk masalah transfer pricing, kemajuan terjadi setelah persyaratan untuk penerapan arm’s length principle dalam hubungan istimewa diterapkan sesuai PER-43 diatas. Peraturan transfer pricing yang lebih banyak mengacu pada OECD Transfer Pricing Guidelines,[19] perlu juga untuk memperhatikan permasalahan yang diungkapkan United Nations Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries bahwa negara berkembang mempunyai permasalahan dan cara pandang yang berbeda dalam hal transfer pricing seperti dalam hal pembayaran royalti, jasa maklon hingga masalah intangibles.[20]

Pertukaran informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak, meski sepertinya lebih berkaitan erat dengan permasalahan penggelapan pajak dan Indonesia dapat menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan pertukaran data perpajakan seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes.[21]

Kesimpulan
BEPS merupakan satu permasalahan yang juga dihadapi Indonesia dan merugikan Indonesia dalam hal perpajakan. Diperlukan peraturan yang lebih baik untuk mengatasi penghindaran pajak di Indonesia karena masih adanya kelemahan peraturan perpajakan yang perlu diperbaiki. Kelemahan peraturan peraturan dapat berarti berkurangnya atau menghilangnya pendapatan pajak terutama berkaitan dengan penghasilan perusahaan multinasional di Indonesia.


[1] Penulis adalah alumni Universitas Indonesia dan European Tax College, Tilburg University, Netherlands. Tulisan ini didasarkan atas seminar dengan topik sama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. 
[2] “Factbox: Apple, Amazon, Google and tax avoidance schemes”, Reuters, http://www.reuters.com/article/2013/05/22/us-eu-tax-avoidance-idUSBRE94L0GW20130522  
[3] “Man Making Ireland Tax Avoidance Hub Proves Local Hero”, Bloomberg, http://www.bloomberg.com/news/2013-10-28/man-making-ireland-tax-avoidance-hub-globally-proves-local-hero.html  
[5] Sebagai contoh dapat dilihat dari laporan BKPM tentang negara asal investor untuk investasi di Indonesia; http://www.bkpm.go.id/img/Press%20Release%20TW%20I%202014%20-%20ind%20-%2024%20April.pdf
[6] OECD Report, Addressing Base Erosion and Profit Shifting, 2013.
[7] Istilah OECD (www.oecd.org) menunjuk pada organisasi ekonomi internasional beranggotakan 34 negara yang umumnya negara-negara maju yang memiliki misi untuk mendukung kebijakan yang akan meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial. Indonesia bersama-sama dengan Tiongkok, Brazil, India, Rusia,Afrika Selatan telah menjadi “key partner” bagi OECD (http://www.oecd.org/about/membersandpartners/#d.en.194378)
[8] Id, lihat Chapter 5, Addressing concerns related to base erosion and profit shifting, terutama atas key pressure areas.
[9] Lihat OECD Report, Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting, 2013. Pada bagian ketiga dari laporan itu dijelaskan tentang Action Plan secara rinci.
[10]  Subcommittee on Base Erosion and Profit Shifting Issues for Developing Countries, UN, http://www.un.org/esa/ffd/tax/BEPS_note.pdf.
[11]Protecting the Tax Base of Developing Countries: An Overview”’ Hugh J. Ault, Brian J. Arnold;
Papers on Selected Topics in Protecting the Tax Base of Developing Countries, Mei 2013
[12] OECD Report, Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue, http://www.oecd.org/tax/transparency/44430243.pdf; laporan ini sering digunakan untuk menjelaskan tentang tax haven.
[13] Concept of Offshore Financial Centers: In Search of an Operational Definition, IMF Working Paper, 2007
[14] Identifying Tax Haven and Financial Offshore Centers, Tax Justice Network. http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Identifying_Tax_Havens_Jul_07.pdf 
[15] Ada sekitar 11 negara yang mengecualikan Labuan dalam tax treaty dengan Malaysia, http://www.lowtax.net/information/labuan/labuan-tax-treaty-introduction.html    
[16] Should the Netherlands sign tax treaties with developing countries?, SOMO, Netherlands (Centre for Research on Multinational Corporations), 2013.
[17] The Netherlands, A Tax Haven?, SOMO, 2006. Dalam laporan ini dijelaskan adanya trust office di Belanda yang memberi penjelasan tentang perusahaan Belanda yang diatur oleh trust office yang jumlahnya ribuan dan juga menyebut adanya perusahaan Indonesia yang mempunyai perusahaan perantara di Belanda
[18] Lihat Annex C : Examples of MNEs’ tax planning structures dari OECD Report, Addressing Base Erosion and Profit Shifting. 
[19] OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations. banyak digunakan sebagai rujukan dalam sengketa transfer pricing di Indonesia. 
[21] Offshore Bank, Financial Center dan Penggelapan Pajak di Indonesia,  Andreas Adoe, Harian Kontan, 10 Maret 2014.