Tuesday, June 9, 2015

Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak (English and Indonesian version)

Harian Kontan, Selasa, 9 Juni 2015




(Versi Indonesia) 
Debt to Equity Ratio dan pembatasan hutang menurut pajak  

Pemerintah akan menerbitkan aturan Debt to Equity Ratio (DER) dengan rasio 4:1 yang akan membatasi hutang luar negeri sehingga hutang dibatasi sebesar 4 kali modal dengan perkecualian sektor tertentu seperti perbankan serta pertambangan dan direncanakan berlaku mulai tahun 2016, dikatakan bahwa salah satu alasan terbitnya DER adalah karena kekuatiran atas pinjaman luar negeri yang terus meningkat (Kontan, 1 Juni 2015). Di tahun 1984, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan serupa dengan rasio sebesar 3:1 lewat KMK No. 1002/KMK.04/1984 untuk kepentingan pajak namun dicabut 5 bulan kemudian karena adanya berbagai penolakan dari pelaku usaha.  Apa sebenarnya permasalahan atas aturan DER ini di Indonesia ?   

Penghindaran pajak
Aturan DER dibuat di banyak negara karena otoritas pajak menemukan penghindaran pajak dengan  beban bunga yang berlebihan  atas hutang dari pihak  terafiliasi, khususnya yang berada di luar negeri dan bukan dibuat karena kekuatiran atas hutang luar negeri. 

Selain aturan DER, untuk mengatasi penghindaran pajak lewat beban bunga yang berlebihan, penerapan aturan transfer pricing dengan pendekatan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) atas kelayakan dari pemberian pinjaman juga dapat digunakan. 

Beban bunga atas pinjaman dari pihak terafiliasi yang melebihi rasio yang ditetapkan lewat aturan DER, atau sering disebut aturan thin capitalization,  tidak dapat menjadi beban pengurang pajak penghasilan (PPh) namun beban bunga tersebut dapat tetap sepenuhnya terutang withholding tax. 

Tiap negara dapat memiliki rasio berbeda untuk DER, contohnya rasio DER sebesar 1,5: 1 untuk perusahaan umum dan 15:1 untuk jasa keuangan di Australia hingga rasio 2:1 untuk perusahaan umum dan 5:1 untuk lembaga keuangan di Tiongkok.  Aturan DER di negara lain diterapkan atas pinjaman dari pihak terafiliasi, terutama pemegang saham,  serta berada  di luar negara yang bersangkutan.  Ada pertimbangan khusus jika satu perusahaan mempunyai jasa keuangan dan bukan kegiatan usaha non keuangan maka rasio DER atas atas usaha umum mungkin dapat digunakan. 

Aturan DER ini dapat berpengaruh, contohnya, pada struktur permodalan anak perusahaan dari perusahaan asing dalam investasi di satu negara., penilaian hutang hingga transaksi merger dan akuisisi.

Untuk memenuhi aturan DER, perusahaan dapat merubah hutang menjadi modal untuk memenuhi aturan tersebut dimana ada beberapa permasalahan yang harus dipertimbangkan, contohnya,  waktu dan bentuk rekapitalisasi atau perubahan modal, withholding tax, peraturan transfer pricing hingga perhitungan penghasilan atau rugi selisih kurs menurut PPh.

Peraturan transfer pricing
Cara lain untuk menguji kewajaran tingkat pinjaman dari pihak terafiliasi di luar negeri, khususnya pemegang saham, adalah dengan aturan transfer pricing yang akan menguji  penerapan prinsip kewajaran usaha  dari beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham. 

Dalam praktek, Dirjen Pajak dapat mengujinya lewat pemeriksaan transfer pricing dengan tidak mengakui beban bunga atas pinjaman dari pemegang saham jika masih ada modal yang belum disetor dari pemegang saham  sesuai akta pendirian perusahaan berdasarkan UU Perseroan Terbatas karena pinjaman tersebut dianggap sebagai modal yang belum disetor.  Selain itu, dapat juga diuji kewajaran tingkat bunga dan kewajaran pemberian pinjaman dengan menggunakan rasio DER wajib pajak.

Intinya adalah perolehan  hutang dari pihak terafiliasi di luar negeri harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kewajaran. Pertanyaannya adalah bagaimana jika prinsip kewajaran telah sepenuhnya diterapkan namun rasio perbandingan modal dan hutang lebih besar dari aturan  DER?

Permasalahan lain dapat terjadi jika perusahaan membayar guarantee fee  karena jaminan yang diberikan pemegang saham atas pinjaman yang diberikan kepada anak perusahaan. Ini menimbulkan pertanyaan,  dapatkah ini  juga  masuk dalam aturan DER atau cukup dengan aturan transfer pricing lewat prinsip kewajaran usaha. 

Peraturan di Indonesia
Peraturan DER didasarkan pada pasal 18(1) UU PPh yang menjelaskan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan PPh. Pasal tersebut, termasuk penjelasan pasal tersebut, tidak menerangkan bahwa rasio DER  diterapkan hanya atas pinjaman dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, seperti dijelaskan pasal 18(4), di luar negeri sehingga  berbeda dengan aturan DER di negara lain yang hanya diterapkan untuk pembatasan bunga pinjaman dari pihak terafiliasi khususnya di luar negeri. Jika demikian, hal ini dapat menimbulkan interpretasi bahwa pasal 18(1) tersebut mengatur pembatasan pinjaman diantaranya karena alasan ekonomi.

KMK No. 1002/KMK.04/1984 yang telah dicabut menjelaskan definisi hutang untuk perhitungan DER sebagai saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua hutang baik hutang jangka panjang maupun hutang jangka pendek, selain hutang dagang. Definisi modal untuk perhitungan DER, berdasarkan KMK tersebut, dijelaskan sebagai jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan.

KMK tersebut, seperti pasal 18(1) UU PPh, juga tidak menjelaskan bahwa penerapan rasio DER diterapkan hanya untuk pinjaman dari pihak terafiliasi sehingga penerapan aturan DER dapat disalahartikan sebagai pembatasan pinjaman luar negeri.

Kesimpulan
Aturan DER diperlukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak melalui beban bunga yang berlebihan atas pinjaman dari pihak terafiliasi di luar negeri  sesuai UU PPh dan bukan untuk membatasi  pinjaman luar negeri yang dilakukan wajib pajak. Perbaikan pasal 18(1)di UU PPh dapat dilakukan demi kejelasan dan kepastian hukum serta mencegah kesalahpahaman atas aturan DER. 

(English Version) 
 The Government will issue a rule for Debt to Equity Ratio (DER) with a ratio of 4: 1 which would limit foreign debt so that the debt is capped at four times the capital with the exclusion of certain sectors such as banking and mining, and planned to take effect in 2016. It is said that one of the reasons for the issuance of DER is due to concerns over foreign debt which continues to increase (Kontan Daily Newspaper, June 1, 2015). In 1984, the government in fact has issued a similar rule with a ratio of 3: 1 through KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 for tax purposes but revoked 5 months later due to a variety of refusal of businesses. What exactly is the problem on this DER rule in Indonesia?

Tax avoidance 

DER rules are made in many countries since the tax authorities find tax avoidance with excessive interest charges on loans from affiliated parties, especially those residing abroad and not made because of concerns over foreign debt.

In addition to DER rules, to address tax avoidance through excessive interest charges, the application of transfer pricing rules with the approach of the principles of fairness and the predominance of business (arm's length principle) on the feasibility of granting loans can also be used.

Interest expenses on loans from affiliated parties that exceed specified ratios through DER rules, or often called thin capitalization rules, can not be the deductible expense for income tax purpose but the interest charges can remain fully payable for withholding tax.

Each country may have different ratios for DER, for example DER ratio of 1.5: 1 for  general companies and 15: 1 for financial services in Australia up to a ratio of 2: 1 for general companies and 5: 1 for financial institutions in China. DER rules in other countries are applied for loans from affiliated parties, especially shareholders, and are outside the country concerned. There are special considerations if a company has the financial and non-financial business activities, in this situation the ratio of DER for general companies may be used.

DER rules could affect, for example, the capital structure of the subsidiaries of foreign companies for investment  in particular country, valuation of debt until various issues for mergers and acquisitions transactions.To meet DER rules, the company can change the debt into capital to meet the rules where there are several issues that must be considered, for example, time and form of recapitalization or changes in capital, withholding tax, transfer pricing rules to the calculation of earnings or losses in income tax. 

Transfer pricing regulations
Another way to test the reasonableness of the level of loans from affiliated parties abroad, especially shareholders, is the transfer pricing rules that will test the application of arm's length principles on interest expenses on loans from shareholders.

In practice, the Director General of Taxation can test through transfer pricing audit by not recognizing interest expense on loans from shareholders if they have not paid-up capital from shareholders in accordance to incorporation documents, or corporate deed,  based  on Limited Liability Company Act because the loan is considered as capital which has not been paid. In addition, it can also be tested on arm's length principle on the interest rate and the reasonableness of  the lending by using the ratio of DER taxpayer.

The point is the acquisition of loans from affiliated parties abroad should be done by applying the arm's length principle. The question is what if the principle of fairness has been fully implemented yet and debt capital ratio greater than DER rules?

Another problem can occur if the company paying the guarantee fee for the guarantees given by shareholders for loans granted to subsidiaries. It raises the question, can we use the DER rules or simply use transfer pricing rules based on arm's length principle.

Regulations in Indonesia

DER regulation is based on Article 18 (1) Income Tax Law which explains that the Minister of Finance is authorized to issue a decision regarding the ratio between debt and capital companies for the purposes of income tax calculation. The article, including elucidation of the article, did not explain that the ratio of DER is  applied only on loan from a related party, as defined by Article 18 (4), from  overseas hence it is so different from DER rules in other countries which is only applied to the loan  lending from affiliated parties, especially overseas. If so, this could lead to the interpretation that Article 18 (1) has set restrictions on such loans for economic reasons.

KMK No. 1002 / KMK.04 / 1984 which has been repealed explained the definition of debt for the DER calculation as the average balance at the end of each month is calculated from all good debt long-term debt and short-term debt, other than trade payables. Definition of capital for DER calculation, based on the KMK, is described as the amount of paid-up capital at the end of the tax year including non-profit and / or have not been distributed.

KMK, such as Article 18 (1) of Income Tax Act, is also not clear that the application of DER ratio is applied only to loans from affiliated parties so that the application of the rules DER can be misconstrued as a restriction of foreign loans.

Conclusion

DER rules are needed to tackle the problem of tax avoidance through excessive interest expenses on loans from affiliated parties abroad according to the Income Tax Act and not to limit foreign borrowing undertaken taxpayer. Amendment of  Article 18 (1) in the Income Tax Act can be done for the sake of clarity and legal certainty and prevent misunderstandings on DER rules.


Catatan:
-Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum (sedikit) diedit oleh redaksi Harian Kontan
-The English version is translated from the Indonesian version, I am really sorry that several terms may not be translated properly.