Monday, December 29, 2014

Sudah Bukan Waktunya Mentolerir Kerahasiaan di Negara Suaka Pajak - Opini Pemburu Koruptor

Apa kata para pemburu koruptor tentang tax haven? Pendapat mereka yang dapat dilihat dari tulisan ini, menjelaskan bahwa sudah bukan waktunya mentolerir kerahasiaan di tax haven. 

Tax haven atau negara pemberi suaka pajak seperti dijelaskan dalam postingan sebelumnya dapat digambarkan sebagai tempat yang dapat digunakan oleh pihak-pihak lain yang berkedudukan di negara lain untuk menghindari dan bahkan menggelapkan pajak.

Tulisan ini yang didasarkan pada wawancara dengan pertemuan dua tahunan Aliansi Pemburu Koruptor Internasional (ICHA) di Washington D.C., Amerika Serikat pada 8-10 Desember 2014.
 ICHA adalah forum yang mempertemukan lebih dari 300 Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemberantasan Korupsi, dan pimpinan lembaga penegak hukum lainnya dari 120 negara. Forum ini menjadi ajang berbagi pengalaman dan mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalah seputar pemberantasan korupsi.

Pendapat  menarik diberikan oleh Stephen Zimmerman, tuan rumah sekaligus orang yang paling sibuk menyiapkan konferensi ICHA. Bekas Jaksa Federal AS, diantaranya :
-Upaya kreatif untuk menangkap koruptor dan delik non pidana
Ini pendapatnya :
" Pertama....korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi...." 

"Yang saya maksud adalah mengajak untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Contoh yang bisa dipelajari di Amerika Serikat adalah ketika penegak hukum berhadapan dengan mafia dan gangster puluhan tahun silam. Ketika itu, kami kesulitan menuntut mereka dengan delik sederhana seperti pembunuhan atau perampokan bank. Kemudian muncul ide menggunakan Undang-Undang Perpajakan dan terbukti efektif. Jadi, inovasi-inovasi semacam ini yang diharapkan di-sharing di pertemuan ICHA."

korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
korupsi sudah menjadi masalah global. Uang mengalir ke berbagai negara, sejumlah perusahaan beroperasi melampaui batas negara. Kedua, para penyelidik dan jaksa penuntut, dalam melaksanakan tugasnya, sangat fokus di wilayah hukum mereka. Tantangan kita adalah membuat para penyelidik dan penuntut ini berpikir global, bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran dari penegakan hukum di negara lain untuk diterapkan di daerah mereka sendiri. Ketiga, kita ingin mendorong orang-orang yang punya komitmen dengan pemberantasan korupsi untuk berpikir out of the box. Kita harus inovatif dan kreatif untuk mengatasi segala hambatan dalam memerangi korupsi. - See more at: http://katadata.co.id/opini/2014/12/09/%E2%80%9Cada-tekanan-untuk-membuka-kerahasiaan%E2%80%9D#sthash.gN3FJuz5.dpuf
-kerjasama antar negara
 "Tentu dalam hal ini kita tak bisa menggunakan cara-cara formal. Yang perlu dilakukan adalah pendekatan informal dengan otoritas di negara tersebut. Dengan adanya komunikasi informal, maka ada peluang membahas kesepakatan formal. Tanpa ada hubungan informal, apalagi tanpa ada kesepatan antara dua negara, tak mungkin kita mengangkat telepon dan meminta penegak hukum di suatu negara untuk mengekstradisi penjahat yang bersembunyi itu. Inilah pentingnya menjalin jaringan dan ini yang dilakukan dalam pertemuan ICHA."
 
tentang beneficial owner
"Persoalan ini menjadi salah satu fokus pertemuan ICHA kali ini. Ada tekanan yang menguat untuk mendorong negara-negara suaka pajak itu agar membuka informasi kerahasiaan tentang beneficial owner tersebut. Kini sudah bukan waktunya untuk mentolerir kerahasiaan macam itu. Persoalan ini juga akan saya bawa ke forum G20."

Pendapatnya menjelaskan tentang pentingnya peraturan pajak dalam hal pemberantasan korupsi seperti pernah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang pajak dan hubungannya dengan korupsi dan pencucian uang yang bahkan perlu dipahami oleh pejabat negara.

Saturday, December 20, 2014

Wajib Pajak Orang Pribadi dan Pelaporan PPh yang masih rendah

Masalah terbesar untuk PPh OP sepertinya adalah tingkat kepatuhan yang rendah di Indonesia.

Belum lama ini Menteri Keuangan mengatakan bahwa setoran PPh orang pribadi masih sangat rendah bahkan setoran PPh OP di perumahan mewah masih rendah seperti diungkapkandalam berita dibawah ini:
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan keheranannya atas para wajib pajak yang berdomisili di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Karena ternyata pajak yang disetorkan hanya berkisar Rp 50-60 juta/tahun.

Menurut Bambang, kalangan masyarakat yang berdomisili di PIK berpendapatan tinggi. Bahkan seharusnya membayar pajak di atas Rp 100 juta atau lebih tinggi.

"Saya dikasih daftar nama alamat yang tinggal di PIK. Pastinya yang tinggal di PIK kan bukan pembayar pajak rendah. Harusnya lebih tinggi dari saya," kata Bambang di depan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (19/12/2014).

"Saya lihat daftarnya, saya kaget sendiri. Di antara nama-nama yang seperti itu tidak ada SPT yang di atas Rp 100 juta, kebanyakan Rp 50-60 juta. Saya jawab, kok saya lebih kaya dari mereka ya?" ungkap Bambang.

Menurut Bambang, kejadian seperti ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah. Wajib pajak dari kalangan atas dan tinggal di pusat kota pun masih sulit terdekteksi.

"Jadi WP orang pribadi itu rendah sekali. Itu adalah contoh, kok seperti ini profil pajaknya," tukasnya.


Berita tersebut juga menambahkan
Bambang menuturkan pajak orang pribadi di luar individu yang sudah dipotong secara langsung, hanya sebesar Rp 4 triliun. Sangat rendah dibandingkan total target Pajak Penghasilan (PPH) yang mencapai Rp 11.00 triliun.

"PPh itu di luar WP yang dipotong karena gaji itu cuma Rp 4 triliun dari total Rp 1.100 triliun," kata Bambang
.

Dapat dikatakan dengan melihat kenyataan tersebut, tingkat kepatuhan pajak masih rendah, namun apa dasar hukum dan cara  untuk meningkatkan kepatuhan PPh OP? 

Dasar Hukum untuk PPh yang belum dilaporkan
Jika memang ada PPh yang belum dilaporkan, apa yang dapat menjadi dasar hukum agar wajib pajak mau melaporkan penghasilan yang PPh-nya belum dilaporkan tersebut.

Pada dasarnya semua penghasilan dikenakan pajak kecuali UU mengatakan lain seperti pasal 4(3) UU PPh. Selanjutnya dalam pasal 4(1)(p) UU PPh menjelaskan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang termasuk didalamnya adalah tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa :
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak
dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.


Cara pengawasan
Seperti pernah dijelaskan dalam tulisansebelumnya tentang pentingnya informasi perpajakan untuk mengetahui kepatuhan pajak dari wajib pajak orang pribadi seperti data pembelian dan penjualan barang tertentu terutama yang bersifat mewah bahkan telah muncul rencana agar mulai 2015 semua transaksi diatas 100 jutarupiah, terutama barang mewah, wajib mencantumkan NPWP.

Dirjen Pajak (DJP) juga pernah menerapkan biaya hidup sebagai patokan kepatuhan dan ketepatan pelaporan PPh OP seperti dijelaskan dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor tahun 1999 yang menjelaskan tentang biaya hidup dengan asumsi bahwa penghasilan neto wajib pajak setelah dikurangi dengan pembayaran PPh dengan memperhatikan PTKP serta sumber penerimaan lainnya minimal adalah sama dengan pengeluaran biaya hidup. Sayangnya dalam putusan tersebut, DJP tidak dapat menyebutkan alasan/dasar koreksinya sehingga biaya hidup rata-rata yang dibuat oleh Pemohon harus dikoreksi sesuai kewajaran. Juga, DJP juga tidak dapat memberi keterangan mengenai pedoman biaya hidup menurut kewajaran. Cara ini sebenarnya dapat dilakukan jika ada aturan hukum yang lebih jelas.

Dapat dipastikan pemerintah lewat DJP akan melakukan penegakan hukum untuk meningkatkan penerimaan negara dalam PPh OP di masa mendatang. Sepertinya pengawasan yang paling akan segera dilakukan adalah dengan informasi perpajakan dalam transaksi seperti pembelian atau pembayaran termasuk upaya DJP untuk menembus kerahasiaan perbankan dan pertukaran informasi dengan luar negeri seperti Singapura

Sunday, December 14, 2014

Kementerian Keuangan dan Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan Singapura

Menteri Keuangan membuat berita dengan rencana Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan Singapura seperti dijelaskan dalam laporan di jejaring berita :

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro rencananya akan berangkat ke Singapura, Senin (15/12/2014) besok. Agenda Bambang adalah untuk membahas kesepakatan Tax Information Exchange Agreement (TIEA) antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian ini juga bisa membuka data seputar uang yang disimpan oleh warga negara Indonesia di Singapura.

Laporan berita tersebut juga menjelaskan kemungkinan TIEA untuk menarik ribuan trilyun rupiah uang wajib pajak Indonesia yang tersimpan di Singapura agar kembali ke Indonesia, tentunya Direktorat Jenderal Pajak berkepentingan dalam hal pajak atas uang tersebut. 

TIEA sebenarnya sudah dimiliki Indonesia seperti pernah dijelaskan dalam tulisan di blog ini sebelumnya dimana Indonesia telah memiliki TIEA dengan Guernsey, Bermuda atau Isle of Man. TIEA yang pada dasarnya dikembangkan berdasarkan model yang dikembangkan oleh OECD untuk meningkatkan transparansi. Informasi yang dapat diminta termasuk informasi keuangan perbankan dan institusi keuangan lainnya.

Ada beberapa pertanyaan mendasar seperti :
- peraturan perbankan di Singapura yang dapat membatasi penerapan pertukaran informasi khususnya automatic exchange of information
- apakah TIEA merupakan perjanjian tersendiri yang terpisah dari tax treaty antara Singapura dan Indonesia dimana pasal 26 dari treaty tersebut mengatur pertukaran informasi atau merupakan bagian dari tax treaty? 
- berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi keuangan yang diminta serta apakah pertukaran informasi merupakan automatic exchange of information seperti dijelaskan disini.

Penulis berharap rencana TIEA diatas dapat memberi kemajuan atas banking secrecy yang menjadi masalah bagi otoritas pajak selama ini.

Sebagai catatan, OECD sebelumnya pernah menerbitkan laporan Improving Access to Bank Information for Tax Purposes di tahun 2009 yang mengungkapkan permasalahan dalam informasi perbankan bagi otoritas perpajakan.